Menuju konten utama
Daffy Al-Jugjawy

Kembali Ke Fitri dan Adakah Dosa yang Tak Terampuni? (1)

Bagaimana kedudukan dosa syirik?

Kembali Ke Fitri dan Adakah Dosa yang Tak Terampuni? (1)
Ilustrasi orang berdoa. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada malam terakhir Ramadan, Tilmidun membantu bersih-bersih lapangan di kompleks madrasah milik Gus Amar. Malam itu, sejumlah pemuda-pemudi terlihat melakukan kerja bakti bersama. Mereka mempersiapkan lapangan madrasah yang akan digunakan untuk salat Idul Fitri.

Masalahnya, sejak kedatangan sampai sudah dimulai bersih-bersih, wajah Tilmidun terlihat suram. Tentu saja Gus Amar heran, mengingat besok pagi sudah lebaran.

“Kenapa kamu, Dun? Kok wajahmu sedih begitu? Besok lebaran lho,” tanya Gus Amar sambil menyapu halaman.

Yang ditanya sedang memasang kabel pengeras suara. Ia diam tak menjawab dan malah garuk-garuk kepala seperti orang bingung. Gus Amar pun melanjutkan menyapu.

“Ee, Gus?” tiba-tiba suara Tilmidun keluar.

“Iya?” balas Gus Amar.

“Apa benar Tuhan akan mengampuni segala dosa hamba-Nya yang bertobat?” tanya Tilmidun sambil memasang kabel.

Gus Amar tersenyum, sejenak berhenti menyapu.

“Lha iya, memang benar. Selagi napas dan kesadaran masih ada, jika seseorang bertobat, Insya Allah, akan diampuni,” kata Gus Amar.

“Bahkan dosa syirik sekalipun?” tanya Tilmidun.

“Insya Allah. Kalau dia benar-benar bertobat dan tidak akan mengulanginya lagi,” kata Gus Amar.

“Lho? Katanya dosa syirik atau dosa menyekutukan Tuhan adalah dosa yang tidak diampuni?” tanya Tilmidun bingung dan kali ini meletakkan kabel-kabel yang baru akan ia pasang.

Gus Amar kembali tersenyum dan memanggil salah satu pemuda desa untuk melanjutkan menyapu. Setelah pekerjaannya digantikan orang lain, Gus Amar mendekat.

“Begini. Agak susah penjelasannya,” kata Gus Amar sambil mengambil dua buah kursi dari dalam madrasah. Setelah meletakkannya berhadap-hadapan, Gus Amar melanjutkan kalimatnya.

“Kamu tahu, kalau ada banyak dosa kita nanti di akhirat yang bisa jadi diampuni meskipun kita tidak bertobat?”

“Maksudnya Gus?” tanya Tilmidun.

“Misalnya, dosa mengambil barang milik orang lain, lalu karena kita punya pahala, maka pahala kita akan dikasih ke orang yang barangnya kita ambil,” jelas Gus Amar.

“Oh iya, Gus. Saya tahu bagian itu,” kata Tilmidun.

“Nah, atau doa seorang anak kepada jenazah bapak atau ibunya agar diampuni dosa-dosanya. Itu bisa membuat dosa seseorang diampuni juga tanpa si mayat pernah bertobat sebelumnya,” terang Gus Amar.

Tilmidun manggut-manggut.

“Lagipula masih ada tiga jalur yang bisa menyelamatkan seseorang yang sudah mati. Yah, paling tidak bisa mengurangi beban dosa-dosanya dengan tambahnya pahala. Salah satunya ya tadi, doa anak yang saleh untuk kedua orang tuanya. Selain itu, masih ada jalur sedekah jariyah dan ilmu bermanfaat yang terus digunakan,” terang Gus Amar.

“Terus bedanya dengan dosa syirik?” tanya Tilmidun penasaran.

“Sayangnya, hal tersebut hanya berlaku untuk segala macam dosa yang bukan berasal dari dosa syirik. Dosa menyekutukan Allah itu tidak akan bisa ditambali dengan hal-hal semacam itu. Kecuali orang yang melakukannya menyesali di dunia sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya. Selain itu, ya seperti yang kita ketahui semua, dosa syirik tidak akan terampuni meskipun ia didoakan oleh anak-anaknya siang-malam,” terang Gus Amar.

Tilmidun terdiam sejenak dan baru mendapati pengetahuan baru soal dosa syirik.

“Tapi, sepertinya bukan itu yang membuat sampeyan berwajah sedih ya, Dun?” tanya Gus Amar menyelidik, “Sepertinya ada yang lain bukan?”

Infografik transfer pahala al jugjawy

Tilmidun kembali bergeming. Ada sesuatu yang memang dari tadi sengaja ditahan di hadapan Gus Amar. Bukan disembunyikan juga sebenarnya, tapi kelihatan Tilmidun mencoba mencari waktu yang tepat untuk mengatakan persoalan yang dipendam.

“Ee, iya Gus. Sebenarnya saya ada sedikit persoalan yang agak sulit,” kata Tilmidun.

Gus Amar memerhatikan.

“Memang masalah apa?” tanya Gus Amar.

“Saya ada seseorang. Beberapa hari lalu datang ke rumah saya. Nah, dia ingin bertobat. Tapi saya tidak yakin dosanya akan bisa diampuni oleh Allah karena mendengarkan ceritanya saja rasanya begitu mengerikan bagi saya,” Tilmidun menghentikan kalimatnya sejenak.

“Cerita yang saya dengar itu sampai bikin saya tidak berani berkata apa-apa untuk sekadar bilang seperti yang Gus Amar bilang barusan ke saya. Saya sampai tidak sampai untuk berkata kalau Allah itu maha pengampun,” kata Tilmidun.

“Memangnya dosa apa? Dosa syirik yang kamu tanyakan tadi?” tanya Gus Amar.

“Bukan.”

“Memang dosanya sebesar apa? Sebesar arsy’ (baca: langit)?” tanya Gus Amar sambil terkekeh karena tidak mungkin ada dosa yang tidak terampuni.

Tilmidun tidak merespons. Matanya kosong.

“Saya takutnya lebih besar dari itu,” kata Tilmidun.

Kali ini senyum di wajah Gus Amar menghilang. Rasa penasaran justru muncul.

“Saya tidak berani cerita Gus. Ada baiknya besok orangnya saya suruh sowan ke Gus Amar saja. Biar Gus Amar tahu sendiri ceritanya,” kata Tilmidun.

Gus Amar sejenak bergeming.

“Baiklah, setelah salat Id besok, saat giliran pemuda-pemuda kampung mengitari kampungku, sampeyan datang saja bersamanya. Saya tunggu,” kata Gus Amar penasaran.

“Memang dosa apa yang melebihi besarnya langit?” Gus Amar berbisik penasaran dan tidak sabar mendengarnya esok hari.

(Nantikan bagian II cerita Tilmidun pada Minggu, 25 Juni 2017)

*) Diadaptasi dari salah satu riwayat dalam kitab Durrotun Nasihin karangan Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi. Sebuah kitab yang beberapa isinya terdapat riwayat hadis daif dan palsu. Meskipun begitu, beberapa riwayat di dalamnya adalah kisah-kisah yang menakjubkan serta bisa dijadikan pelajaran.

Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang memuat kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagian lagi termuat dalam buku/kitab-kitab. Ia dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti