Menuju konten utama

Kematian Petani Poso: Tanpa Tembakan Peringatan, Salah Sasaran

Satgas Tinombala memakan korban warga sipil. Mereka menembaki petani tanpa tembakan peringatan.

Kematian Petani Poso: Tanpa Tembakan Peringatan, Salah Sasaran
Siluet pasukan gabungan Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala. Jumat (9/6). ANTARA FOTO/Basri Marzuki

tirto.id - Muhamad Yusuf bergegas mengendarai pikapnya dari rumah ke Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Sulawesi Tengah pada Selasa 2 Juni 2020 pukul lima sore. Ia baru saja dapat kabar dari warga setempat soal dua petani laki-laki korban salah tembak aparat. Hendak bantu evakuasi, katanya.

Pikap Yusuf hanya bisa melaju sembilan kilometer dari tempat kejadian perkara karena akses yang sulit, hanya bisa ditempuh menggunakan motor jalan kaki. Jenazah dua petani malang itu sampai di rumah duka yang letaknya sekitar 10 sampai 15 kilometer dari tempat kejadian saat matahari sudah terbenam.

Korban bernama Syarifuddin dan Firman. Mereka meregang nyawa diduga ditembak personel Satgas Tinombala, pemburu teroris gabungan Polri dan TNI.

Kepada reporter Tirto, Selasa (9/6/2020), Yusuf bilang ia melihat lubang bekas tembakan di pipi almarhum Firman. “Di sekitar geraham itu, ditembak dari kanan tembus ke pipi kiri,” katanya. Firman diduga keterbelakangan mental. Ia sempat pula melihat jenazah Syarifuddin saat mendatangi rumah almarhum. Menurutnya di dada korban ada bekas tembakan menyerong ke kiri. “Saya sempat pegang [punggung] belakang, ada semacam peluru yang masih ada di dalam.”

Yusuf sempat berbincang dengan Fardil, adik Syarifuddin yang saat penembakan juga ada di lokasi. Yusuf menceritakan kembali kepada saya informasi yang ia dapatkan dari Fardil.

Korban dan Fardil, juga Anhar, bapak Firman bernama Agus, dan Muhajir pergi ke kebun sejak pukul 06.30. 7,5 jam kemudian enam lelaki ini selesai memanen cokelat dan hendak pulang, namun berteduh di sebuah pondok yang berada di Kilo 9 karena hujan. Di sana mereka bersantai dan merokok. “Di situlah penembakan [terjadi]. Mereka kaget, rentetan peluru ke arah mereka.”

Tembakan berhenti. Syarifuddin dan Firman roboh.

Agus melihat anaknya jatuh lalu membawanya ke tempat yang dirasa lebih aman. Anhar dan Muhajir kabur mencari bantuan, sementara Fardil bergeming.

Para penembak lalu mendekat. Di sanalah baru diketahui kalau mereka ternyata polisi. “Mereka mengetahui itu polisi dari senjata lengkap dan pakaiannya,” kata Yusuf. Fardil lalu menelepon Anhar dan Muhajir. Ia meminta mereka kembali ke lokasi penembakan untuk membantu memulangkan korban.

Saksi mata lain bernama Makmur mengatakan terjangan peluru menghancurkan pondok. “Pokoknya dia serang itu, rata pondok itu,” kata dia di Kompas TV. Makmur menduga saat itu penembak adalah delapan orang diduga dari Brimob.

Malam itu juga Syarifuddin dibawa ke Camba, Kabupaten Maros, untuk dimakamkan. Sedangkan Firman dimakamkan di Dusun Sipatuo, Desa Kilo.

Berdasarkan penelusuran LSM yang fokus mengadvokasi isu-isu hak asasi manusia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), para petani ini memang petani sungguhan, tak ada kaitannya dengan jaringan teroris.

Kontras juga menemukan ketika itu satgas langsung memberondong tembakan ke para petani dari jarak 50an meter. Tak ada tembakan peringatan sama sekali. Selain itu, saat empat korban selamat kabur, mereka tetap dihujani peluru. “Sementara jenis senjata belum bisa dipastikan,” kata Kepala Biro Penelitian, Pemantauan dan Dokumentasi Kontras Rivanlee Anandar kepada reporter Tirto.

Rivan bilang berdasarkan keterangan keluarga korban, satu dari delapan personel sempat berteriak “tahan tembakan, kita salah sasaran!” Tak diketahui persis kapan seruan itu dilontarkan, apakah usai Firman dan Syarifuddin terjerembab atau setelah empat korban lain kabur.

Pelaku Harus Dihukum

Sebagai tindak lanjut dari kasus salah tembak ini, pada 6 Juli lalu digelar pertemuan tertutup di Hotel Ancyra Poso yang mempertemukan korban selamat, keluarga korban, tokoh masyarakat, perwakilan Polres Poso, dan terduga pelaku. Yusuf tak datang dalam pertemuan tersebut, namun Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Poso ini diinformasikan oleh koleganya ihwal tatap muka itu.

Dua hari kemudian DPRD Kabupaten Poso menggelar rapat bersama Polres Poso. Salah satu yang disinggung adalah keberlanjutan Operasi Tinombala. Ketika itu kapolres bilang meski ada kasus salah tembak, keberlanjutan operasi ini bukanlah kewenanganya, tapi Kapolda Sulawesi Tengah bahkan Kapolri.

Selain pertemuan informal, Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Didik Supranoto juga mengklaim tengah menyelidiki perkara ini. “Untuk saat ini Polda Sulawesi Tengah telah menurunkan tim investigasi (Propam dan Itwasda) yang dipimpin oleh Irwasda," katanya kepada reporter Tirto, Senin (8/6/2020).

Sementara kasus diklaim terus diselidiki, kritik terhadap kerja-kerja Satgas Tinombala mengalir deras, apalagi ini bukan kali pertama satgas salah tembak. Ada pula kasus serupa yang terjadi tak jauh dari tempat kejadian terakhir pada 9 April lalu. Di kecamatan yang sama tapi beda desa, Desa Tobe, pemuda bernama Qidam Alfarizki Mofance menjadi korban salah tembak. Ia kabur dari rumah, lalu meminta minum di kediaman salah satu warga. Karena curiga, sang pemilik rumah lapor ke polisi. Alih-alih polisi biasa, saat itu yang datang adalah dua regu satgas. Qidam ditemukan, dianiaya dan ditembak.

“Kami mendukung upaya penanganan terorisme, tapi tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Masyarakat jadi korban,” kata Yusuf.

Sementara perwakilan Tim Pengacara Muslim Sulawesi Tengah Andi Akbar mengatakan aparat “tak memberikan rasa aman bagi masyarakat.”

Kepada reporter Tirto, ia menegaskan apa yang dilakukan satgas adalah perbuatan biadab. Kapolda Sulawesi Tengah sebagai penanggung jawab satgas mesti dicopot dari jabatannya bahkan diseret ke pengadilan, selain tentu saja para pelaku. Ia juga mendesak agar “Tinombala harus segera angkat kaki atau dievaluasi.”

Kritik juga disampaikan Ketua Komnas HAM Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah Dedi Askary.

Merujuk pada protokol operasi satgas, masyarakat yang hendak berkebun semestinya melaporkan ke aparat untuk dikawal, katanya. Sementara para petani ini tidak melakukannya. Hal itu diketahui usai Komnas HAM meminta keterangan ke Kabid Propam Polda Sulawesi Tengah dan kerabat korban.

Satgas juga menganggap enam petani ini adalah anggota kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur--yang tidak terbukti berdasarkan penelusuran Kontras.

Meski demikian, ia menegaskan penembakan ini sama sekali tidak dibenarkan. “Atas dasar apa Satgas Tinombala seketika melepaskan tembakan ke petani? Apakah ada gelagat hendak menyerang [aparat]? Apakah protokol wilayah operasi, siapa pun yang tampak langsung diberondong?”

Atas dasar itu semua ia mendesak “kepolisian memeriksa pihak-pihak yang terlibat dalam penembakan.”

Baca juga artikel terkait SATGAS TINOMBALA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino