Menuju konten utama
18 Oktober 2018

Kematian Path dan Nasib Media Sosial yang Sekarat

 

"> Riwayat Path tamat setahun lalu. Media-media sosial lain juga banyak yang sekarat. 
 

Kematian Path dan Nasib Media Sosial yang Sekarat
Ilustrasi akhir riwayat Path. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Media sosial Path ditutup secara resmi pada 18 Oktober 2018, tepat hari ini setahun lalu. Di hari itu para pengguna Path sudah tak bisa lagi mengaksesnya.

Informasi Path akan tutup pertama kali diketahui dari cuitan akun Twitter @wowadit pada Jumat (14/9/2018) pukul 16:53 WIB. Di gambar yang dibagikan oleh akun tersebut, terdapat tulisan: ‘We deeply regret to inform you that Path will be stop running. Please visit this site for more details restore/refund process.’

Kematian Path sempat membuat heboh para netizen di Indonesia. Ini tidak lain lantaran pengguna Path terbanyak di dunia berada di Indonesia, yakni sekitar 4 juta orang. Maka tidak heran jika kabar tersebut membuat mereka merayakan nostalgia ketika masih menjadi pengguna setia Path.

Path: Melesat Cepat dan Terpuruk

Path, media sosial berbasis gawai ini didirikan pada November 2010 oleh Shawn Fanning dan mantan petinggi Facebook, Dave Morin. Konsep Path cukup menarik karena fokus menjaga privasi mengenai informasi yang dibagikan si pengguna dengan membatasi jumlah pertemanan.

Salah satu artikel pertama yang membahas awal kehadiran Path sempat ditulis oleh redaktur teknologi Forbes, Mike Isaac. Dalam artikel yang diberi judul cukup unik tersebut, ‘New Social Network Path = iPhone + Instagram + Facebook - 499,999,950 Friends’, Isaac menjelaskan, sebagaimana latar belakang salah satu pendirinya yang mantan petinggi di Facebook, Path memang dibuat dengan konsep sebagai ‘mini Facebook’.

Dengan Path, pengguna dapat mengunggah foto, menautkannya dengan pengguna lain, menunjukkan lokasi keberadaan, berbagi pesan, pemberitahuan mengenai aktivitas yang tengah dilakukan, hingga informasi jelang dan bangun tidur. Namun, Isaac menulis ada sebuah kejutan yang diberikan Path: “Kejutan yang diberikan Path ini sangat tidak Facebook: Path membatasi jaringan sosial individu penggunanya hingga maksimal 50 orang.”

Hal tersebut membuat Path tambah menarik karena ia justru menabrak pakem sosial media kebanyakan, di mana informasi si pengguna diharapkan dapat dibeberkan seluas-luasnya melalui jejaring pertemanan digital. Adapun penjelasan mengenai batasan 50 tersebut sempat dijelaskan Path di laman blog mereka.

"Kami memilih 50 berdasarkan penelitian profesor evolusi psikologi Oxford, Robin Dunbar, yang telah menyatakan bahwa 150 adalah jumlah maksimum hubungan sosial yang dapat dipertahankan oleh otak manusia. Jadi, 5 orang kira-kira kita anggap sebagai relasi terdekat dan 20 adalah jumlah orang yang sudah terbiasa berhubungan dengan kita. 50 adalah batasan maksimum dari jaringan yang kita miliki. Mereka adalah orang-orang yang kita percaya dan yang kita anggap sebagai orang yang paling penting dan berharga dalam hidup kita."

Melalui penjelasan tersebut, dengan kata lain Path memiliki konsep utama yakni mengedepankan eksklusivitas informasi. Selain itu, pengguna nantinya dapat menjadi dirinya sendiri karena pertemanan yang dipilih adalah orang-orang yang telah mereka ketahui betul jati dirinya. Path yakin konsep tersebut dapat disukai para netizen. Itulah kenapa mereka kemudian menolak tawaran akuisisi dari Google senilai 100 juta dolar AS pada 2011.

Keyakinan mereka benar: pertumbuhan pengguna Path melesat drastis. Pada Februari 2012, pengguna Path mencapai 2 juta orang. Berselang sebulan setelahnya, jumlah tersebut bertambah menjadi 3 juta orang. 10 bulan setelahnya, April 2013, jumlah pengguna Path bahkan telah mencapai angka 10 juta orang atau bertambah 1 juta orang tiap pekannya.

Namun seiring dengan pertumbuhan pengguna tersebut, Path tersandung kasus privasi karena diam-diam telah mengakses dan menyimpan kontak telepon pengguna tanpa permisi. Dave Morin selaku CEO Path pun mengakui hal tersebut dan meminta maaf kepada khalayak melalui akun Path pribadinya yang turut dilansir Cnet pada 8 Februari 2012.

Sayangnya, kasus tersebut tidak membuat Path jera. Pada 2013, mereka kembali terkena kasus privasi setelah ketahuan menyimpan data privasi dari pengguna-pengguna di bawah umur. FTC (Federal Trade Consumption) pun mendenda Path sebesar 800.000 dolar AS karena kasus ini. Sejak inilah popularitas Path perlahan menurun.

Berbagai cara kemudian dilakukan Path untuk kembali menstabilkan pertumbuhan pengguna mereka. Termasuk dengan aktif mengirim SMS secara random kepada berbagai pihak. Sikap ini tentu saja dianggap spam oleh banyak orang. Pihak Facebook pun sampai harus memblokir fitur ‘Find Friends’ yang terdapat di Path.

Terlepas dari berbagai masalah yang menimpa Path, media sosial tersebut masih memiliki pengguna setia. Pihak Daum Kakao, perusahaan digital dari Korea Selatan, pun memutuskan untuk mengakuisisi Path. Langkah Kakao disinyalir merupakan strategi bisnis untuk menandingi pasar Line di Indonesia. Pada 2014, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna Path terbesar di dunia yakni sekitar 4 juta orang.

Salah satu inovasi yang dilakukan Path kala itu adalah dengan memudahkan pengguna terhubung dan menambahkan teman melalui akun Twitter, Gmail, dan daftar kontak dalam ponsel. Selain itu, terdapat 12 layanan baru yang terintegrasi dengan Path, yakni Over, PicCollage, PicMix, Papelook, Mill, Manga Camera, Otaku, PicFrame, PicStitch, QordPress, Viddy, dan Strava. Sementara ubahan fundamental lain adalah menghapus batasan pertemanan.

Sayang, upaya Path untuk bertahan seperti jalan di tempat. Berdasarkan data dari JakPat dan dirilis oleh eMarketer pada 6 Juni 2017, jumlah pengguna Path di Indonesia cukup stagnan sejak 2014, kalah jauh dari pertumbuhan pengguna Instagram atau Snapchat.

Pada 2018, Path sejatinya sempat mendapat angin segar seiring kasus penyalahgunaan puluhan juta data pengguna Facebook yang dilakukan oleh Cambridge Analytica. Belakangan diketahui bahwa data tersebut digunakan untuk keperluan pemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika 2016.

Terkait kasus tersebut, CEO Path, melalui akun Twitter-nya, @davemorin, turut menyatakan kalau dirinya juga sudah diminta oleh banyak pengguna agar Path dapat menjaga keamanan data pribadi pengguna. Sikap tersebut tentunya dapat dimaknai sebagai strategi bisnis dari Path untuk mengalihkan pengguna Facebook ke media sosial mereka.

Media Sosial Sekarat

Selain Path, ada beberapa media sosial lain yang seolah hidup hanya untuk menunggu kepunahan. Sebagaimana dilansir Digital Trend pada 26 Desember 2017, media sosial tersebut antara lain adalah Google+, Gab, Myspce, dan Yo.

Ketika dirilis pada 2011 lalu, Google+ diprediksi kuat akan menjadi “pembunuh” Facebook. Namun berdasarkan laporan dari Stone Temple Consulting pada April 2015, jumlah pengguna aktif Google+ “hanya” mencapai 100 juta dan yang rutin mengunggah konten pun sekitar 3,5 juta pengguna. Jumlah tersebut tentunya sangat timpang dibanding Facebook yang mengklaim memiliki 2 miliar pengguna tiap bulannya pada 2017.

Media sosial lain yang juga terhitung sekarat adalah Gab. Konsep Gab sejatinya agak mirip dengan Twitter, namun dengan sebuah perbedaan signifikan: di Gab, pengguna dapat bercuap-cuap soal kebencian tanpa dikenakan suspended. Larangan berekspresi di Gab adalah seputar ancaman kekerasan, terorisme, pornografi anak, revenge porn, hingga doxing.

Platform yang didirikan Andrew Torba pada 2016 ini memang dibuat untuk mengakomodir kebebasan mengungkapkan pendapat hingga batas maksimum. Namun, justru karena kebebasannya tersebut, beberapa media seperti Salon menganggap Gab sebagai “Twitter khusus orang-orang rasialis”. Sementara Guardian menilai Gab sebagai “ruang yang penuh kebencian rasialisme dan teori konspirasi”.

Dengan karakteristik seperti itu, tak heran jika Gab ditolak oleh iOS dan Android. Para pengguna pun hanya dapat mengaksesnya dalam bentuk situs via peramban. Jumlah pengguna Gab, sebagaimana disebutkan oleh Venturebeat pada 7 Februari 2018, sebanyak 400.000 di seluruh dunia. Namun jumlah sedikit tersebut terhitung loyal dan karenanya Gab terus bertahan.

Infografik Mozaik Path

Infografik Mozaik Path. tirto.id/Deadnauval

Sebelum era Facebook, jagat media sosial hanyalah milik Friendster dan Myspace. Namun untuk skala global, Myspace adalah rajanya. Diluncurkan pada 1 Agustus 2003, Myspace segera menghipnotis para anak muda di Amerika. Dengan pertumbuhan pesatnya, Myspace bahkan hendak mengakuisisi Facebook yang kala itu masih dirintis. Namun nilai 75 juta US Dollar yang dipatok Mark Zuckerberg dinilai CEO Myspace, Chris DeWolfe, terlalu tinggi.

Dua tahun berselang, tepatnya Juli 2005, Myspace yang terus melaju diakuisisi oleh perusahaan News Corp milik taipan media Rupert Murdoch dengan nilai fantastis: 580 juta dolar AS. Strategi Murdoch berhasil. Setahun usai pembelian, nilai MySpace sudah tiga kali lipat dari harga awal dan pada Agustus 2006, jumlah pengguna mereka tembus 100 juta. Sebelumnya pada Juni 2006, Myspace menjadi situsweb yang paling sering dikunjungi daripada Google di Amerika.

Seiring perjalanannya, Myspace yang fokus sebagai platform musik dan hiburan mulai tersalip oleh Facebook yang lebih menyasar ke banyak kalangan sejak April 2008. Jumlah pengguna MySpace terus menurun karena bermigrasi ke Facebook dan Twitter. Melihat Facebook makin tak terkejar, Rupert Murdoch pun memutuskan untuk menjual Myspace kepada Spesific Media pada Juni 2011 dengan harga yang amat rendah: 35 juta dolar AS.

Meski tidak lagi populer, Myspace masih tetap bertahan hingga saat ini. Jumlah penggunanya bertahan di angka 15 jutaan tiap bulan dan masih tetap pada segmentasi yang sama: penyuka musik dan pop culture. Angka yang tak buruk untuk sebuah “media sosial bagi para zombie”.

Ada media sosial yang semula dianggap hanya dibuat untuk lelucon: Yo. Dugaan tersebut muncul karena selain diluncurkan tepat pada ‘April Fool’ 2014, Yo juga hanya memiliki satu kegunaan: memungkinkan pengguna mengirim imbuhan kata “Yo” kepada pengguna lainnya.

Namun Yo kemudian memperbanyak fiturnya, mulai dari pembagian lokasi, tautan, hingga berbagi foto. Sejak dirilis, tercatat ada sekitar 2 juta orang yang mengunduh Yo dan sudah sekitar 100 juta kata “Yo” saling dikirim antar pengguna. Kendati tidak jelas fungsinya, Yo turut menginspirasi kemunculan media sosial lain dengan konsep yang sama. Antara lain adalah: Hodor, Aiyo, dan Lo.

Namun pada 2014, Yo juga pernah memiliki kasus serius terkait keamanan pengguna. Hal ini diketahui setelah tiga orang mahasiswa informatika dari salah satu kampus di Georgia, Amerika, mengirim surat elektronik kepada Tech Crunch yang berisikan pengakuan bahwa mereka telah berhasil meretas Yo selama 48 jam.

“Kami dapat memperoleh nomor telepon pengguna Yo (saya mengirim sms kepada pendiri Yo dan dia menelepon saya kembali). Kami dapat menipu seluruh pengguna dan mengirim spam kepada mereka sebanyak apapun yang kami inginkan. Kami juga dapat mengirim notifikasi pemberitahuan kepada pengguna Yo dengan teks apapun yang kami mau (meskipun kami memutuskan untuk tidak melakukannya).”

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 16 September 2018 dengan judul "Nasib Path dan Media Sosial yang Sekarat". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Teknologi
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Suhendra