Menuju konten utama
Kronik Ramadan

Kematian Genghis Khan

Genghis Khan dan bangsa Mongol telah berubah dari suku ganas di utara Tembok Besar Tiongkok menjadi imperium dunia hanya dalam beberapa tahun.

Kematian Genghis Khan
Ilustrasi Kronik Ramadan Gengis Khan

tirto.id - Hanya dua puluh tahun setelah Yerusalem dibebaskan oleh Salahuddin al-Ayyubi, seorang panglima militer bernama Genghis Khan berhasil menyatukan berbagai suku Mongol di utara Tiongkok menjadi satu negara dengan tujuan ekspansi teritorial seluas-luasnya.

Menurut penuturan sebagian besar sejarawan, Genghis Khan dilahirkan di bantaran Sungai Onon pada 1155 M. Pendapat lain mengatakan ia lahir pada 1167 M. Nama lahirnya adalah Temujin, yang berarti “pandai besi”. Nama kehormatan “Genghis Khan” baru didapat pada 1206, tatkala ia menyatakan diri sebagai pemimpin Mongol dalam sebuah pertemuan suku yang masyhur dikenal dengan sebutan Kurultai. Para sejarawan masih tidak yakin tentang asul-usul lema “Genghis”, tetapi dalam konteks ini biasanya dialihbahasakan sebagai “penguasa tertinggi” (Ash-Shallabi, 2015: 71).

Dalam The Rise and Fall of the Second Largest Empire in History: How Genghis Khan’s Mongols Almost Conquered the World (2010), Thomas J. Craughwell menyatakan bahwa walaupun Genghis Khan berada jauh 5.000 kilometer dari jantung dunia Islam, ekspansi yang dilakukannya segera mengancam seluruh eksistensi Islam sebagai kekuatan politik.

Ironisnya, invasi Mongol digencarkan kala dunia Islam sedang bangkit kembali. Fatimiyah tak ada lagi, dan revolusi Syi’ah radikal hanya terjadi di kantong-kantong kecil wilayah Persia dan Suriah. Pasukan Kristen masih menguasai beberapa wilayah pantai di Suriah dan Palestina, tetapi bukan ancaman besar bagi kesucian tanah Islam. Sementara itu, Byzantium belum mampu menutup kerugian mereka di Manzikert dan sedang mengatasi masalah yang ditimbulkan pasukan Kristen, yang sepertinya lebih suka memerangi sesama Kristen di Konstantinopel ketimbang Islam di Yerusalem (Craughwell, 2010: 125).

Namun, stabilitas awal 1200-an hanya berumur pendek. Genghis Khan dan bangsa Mongol telah berubah dari suku ganas di utara Tembok Besar Tiongkok menjadi imperium dunia hanya dalam beberapa tahun. Menurut Denise Aigle dalam karyanya, The Mongol Empire between Myth and Reality: Studies in Anthropological History (2015), Bangsa Mongol yang nomaden mampu menaklukkan dan menguasai setengah Tiongkok Utara dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun.

Perhatian Genghis Khan lalu beralih ke barat, tempat Kara-Khitan Khanate di Asia Tengah menghalangi dominasi Mongol. Lanskap Asia Tengah rupanya mirip kampung halaman bangsa Mongol, sehingga penaklukan wilayah luas ini berlangsung cepat dan bengis. Menjelang 1219, Genghis Khan menguasai dataran yang membentang dari Korea ke perbatasan dunia Islam di Persia (Aigle, 2015: 122).

Serbuan mendadak bangsa Mongol pada awal 1200-an menjadi salah satu contoh ekspansi militer yang luar biasa dalam sejarah. Bangsa nomaden penunggang kuda yang bahkan tidak menguasai pertanian ini ternyata mampu membangun kerajaan dunia yang membentang dari Eropa Tengah ke Korea dan perbatasan India. Namun rupanya, keahlian menunggang kuda dan hidup nomaden inilah yang jadi kunci kesuksesan penaklukan Mongol (Aigle, 2015: 123).

Nyatanya, bangsa Mongol memang hidup di atas kuda, sehingga jarak yang jauh dan medan berat yang menghalangi pasukan konvensional tidak menyulitkan mereka. Selain kecepatan yang mengesankan, mereka menggelar operasi militer secara rapi untuk menancapkan serangan tepat di jantung musuhnya. Jadi, para musuh Mongol akan sukarela meletakkan senjata daripada mempertahankan tanah air.

Seperti dijelaskan oleh Firas Alkhateeb dalam Sejarah Islam yang Hilang: Menelusuri Kembali Kejayaan Muslim pada Masa lalu (2016), begitu Mongol sampai di kota musuh, garnisun yang bertahan diberi tiga pilihan. Pertama, menghindari pertempuran, menyerah pada Mongol, dan bergabung dengan pasukan Mongol dalam operasi penaklukan lanjutan. Opsi kedua, perlawanan. Jika kota itu melawan Mongol dan kalah (seperti kebanyakan kota), seluruh pasukan akan dibunuh dan seisi kota dirampas. Pilihan ketiga melibatkan perlawanan massal terhadap Mongol oleh pasukan dan orang sipil yang dipersenjatai. Jika itu terjadi, Mongol berjanji akan membunuh setiap orang di dalam kota—dan inilah takdir banyak kota kecil dan besar di Asia (Alkhateeb, 2016: 147).

Dengan taktik seperti itu, tak mengejutkan bahwa Mongol laksana bola salju yang menggelinding menembus Asia. Kisah kekejaman Mongol menjalari Asia Tengah lebih cepat ketimbang kedatangan gerombolan prajuritnya. Dari Irak hingga Tiongkok, mereka yang berada di jalur ekspansi Mongol memilih tunduk daripada menghadapi kemurkaan Sang Khan.

infografik kronik genghis khan

Menggempur Khwarezmian

Menurut Don Nardo dalam Genghis Khan and the Mongol Empire (2010), negara Islam yang berbatasan dengan Kekaisaran Mongol adalah Kerajaan Khwarezmian. Kerajaan yang dipimpin Shah Muhammad (1200-1220) ini terdiri dari sisa-sisa wilayah Kerajaan Seljuk dan menyatukan sebagian besar Persia. Leluhur Shah Muhammad orang Turki, tetapi ia dibesarkan dalam budaya keraton Persia.

Selama masa sang Shah berkuasa, sejak pertengahan abad kesepuluh, kekhalifahan Abbasiyah sudah tidak berdaya dan lebih suka menggunakan otoritas langsung dalam menjalankan pemerintahan. Khalifah al-Nashir adalah orang Abbasiyah pertama yang memimpin pasukan keluar dari Bagdad pada abad itu. Ia mengkonsolidasikan sebagian besar Irak dan Persia di bawah kekuasaannya (Nardo, 2010: 67).

Karena sedang mengembangkan pengaruhnya di seluruh dunia Islam, Shah Muhammad tak sudi menerima sang khalifah dengan tangan terbuka. Pelan-pelan, muncullah konflik antara khalifah negeri baru dan Kerajaan Khwarezmian pimpinan Muhammad. Mungkin karena konflik ini atau karena ketergantungan besar Muhammad kepada prajurit-budak yang dipaksa bekerja keras, Khwarezmian tak punya persiapan saat Genghis Khan dan pasukannya tiba di perbatasan dunia Islam pada 1219 Masehi (Nardo, 2010: 68).

Akan tetapi, Khwarezmian memilih melawan Mongol. Saat masuk ke daerah Khwarezmian, para pedagang dari Kekaisaran Mongol dihukum mati karena dianggap mata-mata. Genghis, yang ingin menjalin hubungan damai dengan negara Islam itu, murka luar biasa dan bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun berikutnya, untuk pertama kalinya pasukan Mongol tiba di tanah Islam.

Kedatangan ini mengawali periode penghancuran kebudayaan Islam di Persia, Irak, dan Suriah.

Pasukan Mongol menggabungkan kemampuan perang yang superior dengan mesin pengepung yang dibawa dari Tiongkok untuk menaklukkan kota utama di Persia Timur. Bhukhara, kota yang identik dengan periwayat hadis besar al-Buhkhari, dibumihanguskan tak bersisa. Kota tua Balkh mengalami nasib yang sama. Ribuan naskah dibuang ke Sungai Oxus.

Bangsa Mongol tidak ambil pusing dengan buku-buku atau capaian intelektual peradaban Islam. Mereka prajurit nomaden dan satu-satunya urusan mereka adalah menaklukkan serta menjarah. Saat memasuki wilayah yang kini bernama Iran dan Afghanistan, sebagian pusat kota utama juga dihancurkan. Sejarawan Muslim era itu mengklaim Mongol membantai 1,7 juta orang di Nishapur dan 2 juta lainnya di Herat. Angka ini mungkin tidak akurat. Tapi yang jelas, ke mana pun bangsa Mongol pergi, kematian dan kerusakan merajalela (Aigle, 2015: 127).

Enam ratus tahun peradaban Islam terhapus hanya dalam beberapa minggu. Kerajaan Khwarezmian hancur total menjelang 1222 M setelah meletusnya sebuah konflik yang singkat namun maha dahsyat. Menurut Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam kitabnya Bangkit dan Runtuhnya Bangsa Mongol (2015), Genghis Khan memilih tidak meneruskan masuk ke jantung dunia Islam. Ia pulang ke Mongolia dan wafat pada 11 Ramadan 624 Hijriah/Agustus 1227 M di wilayah yang sekarang dikenal sebagai provinsi Gansu.

Jasad Khan dimakamkan di wilayah sekitar Sungai Onon dan Sungai Kerulen. Namun, lokasinya persisnya dirahasiakan, sebagaimana kebiasaan bangsa Mongol (Shallabi, 2015: 277). Menurut legenda, ada 40 perawan dan 40 kuda dikorbankan saat pemakaman Genghis Khan berlangsung. Puncaknya, 2000 tamu yang datang lalu dibunuh sehingga kerahasiaan lokasi makam tetap terjaga.

================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.

Baca juga artikel terkait KRONIK RAMADAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Humaniora
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Windu Jusuf