Menuju konten utama

Kematian Dini Mengintai di Balik Asap Kebakaran Hutan

Diperkirakan 100.000 orang akan mengalami kematian dini jika bencana asap akibat pembakaran hutan di Indonesia dibiarkan.

Kematian Dini Mengintai di Balik Asap Kebakaran Hutan
Pemadaman kebakaran lahan di Indralaya Utara, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi.

tirto.id - Mana yang paling banyak memicu kematian manusia? Jawabannya bukan virus HIV, TBC apalagi kecelakaan lalu lintas, tapi polusi udara. Setiap hari, polusi udara membunuh 18.000 orang di dunia. Menurut data dari Global Burden of Disease project, 5,5 juta orang diperkirakan akan mengalami kematian dini akibat polusi udara.

Dari ratusan negara di dunia, ada dua negara dengan polusi udara paling tinggi yang berpotensi membunuh secara dini rakyatnya, yaitu Cina dan India. Kondisi polusi udara paling parah bisa mengacu dari jumlah partikel terkecil atau PM2,5 yang ada di udara.

Dalam hari paling polutif di Cina dan India kondisi udara PM2,5 mereka bisa mengandung 300 micrograms per cubic meter. Sementara kandungan paling minimal untuk bisa disebut sehat kandungan partikel yang ada berkisar antara 25 sampai 35 micrograms.

Dalam laporan yang dirilis WHO pada 2012 Cina menjadi negara dengan angka kematian karena polusi terbesar, yakni 1,5 juta orang. Di posisi kedua ada India dengan jumlah kematian 1,25 juta orang. Indonesia ada di urutan ketiga dengan jumlah kematian prematur karena polusi udara mencapai 165.000 orang. Lalu diikuti Nigeria, Pakistan, Bangladesh, Kongo, Filipina, Vietnam, dan Myanmar.

Mengapa kandungan polutan dalam udara bisa mengancam kesehatan manusia secara serius? Polutan mengandung suspended particulate matter (SPM) seperti debu, kabut, dan asap. Konsentrasi dari partikel ini jika beredar di daerah padat penduduk bisa menyebabkan kerusakan serius pada tubuh manusia. Polusi udara bisa berasal dari berbagai sumber, seperti pertanian dan perkebunan melalui pembakaran lahan, pertambangan dari asap pengolahan, pembangkit listrik, transportasi, dan industri.

Asap dari pembakaran lahan mengandung karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), nitrogen oksida (NOx), dan karbon monoksida (CO). Selain itu ada unsur logam berat yang bisa ikut terbakar akibat penggunaan bahan kimia seperti krom (Cr), kadmium (Cd), gas metan, dan nikel (Ni). Idealnya manusia bisa menahan semua itu, namun ada ambang batas maksimal, jumlah partikel logam karsinogenik yang bisa ditolerir sebanyak 65 mikrogram per meter kubik.

Celakanya di daerah yang terpapar asap kebakaran hutan, tingkat polusinya melampaui batas standar kesehatan dunia (WHO). Rata-rata kandungan partikel beracunnya 7.000-12.000 mikrogram per meter kubik.

dr Prasna Pramita, SpPD, MARS, FINASIM dari Brawijaya Women & Children Hospital, menyebut yang berbahaya dari asap karena kandungan non oksigen yang tidak bisa diterima tubuh. "Gas CO tiga persen masih normal, 10 persen pun belum terjadi reaksi dalam tubuh kita. Namun 10-30 persen itu mulai, kita bisa sakit kepala, itu gejalanya," jelasnya.

Menurut dr Prasna, penyakit pernafasan biasa seperti flu bisa sembuh sendiri, namun infeksi yang disebabkan oleh partikel asing tidak bisa dibiarkan begitu saja. Faringitis, Laringitis, jika dibiarkan perkembangan penyakit pernafasan bisa menjadi asma, bronkitis, dan pneumonia. Ia menjelaskan tidak semua asap punya dampak yang sama, seperti asap dari knalpot dan asap dari pembakaran hutan punya dampak yang berbeda, tapi sama berbahayanya jika terpapar secara terus menerus.

"Jika terus menerus menghirup gas tadi bisa menimbulkan kematian," katanya.

Sebelum menyebabkan tahap kematian, polusi udara khususnya dari asap kebakaran hutan, punya dampak yang paling ringan yaitu membuat mata memerah, batuk-batuk, gangguan pernafasan, iritasi pada tenggorokan, sakit kepala, asma, pneumonia, dan infeksi saluran pernafasan akut. Untuk paparan yang jangka waktu yang lama akan merusak sistem pernafasan, sistem kekebalan tubuh, kanker, menurunnya daya tahan tubuh, dan rusaknya paru-paru yang berakibat pada kematian dini.

Javaid Nauman, peneliti di Norwegian University of Science and Technology memaparkan bahwa kematian dini adalah kondisi seseorang meninggal sebelum umur rata-rata manusia normal hidup. Inilah mengapa di Indonesia ancaman kematian dini akibat asap pembakaran hutan merupakan ancaman serius.

Infografik Dampak Polusi Udara

Di Indonesia diperkirakan ada 43 juta orang Indonesia yang terkena asap dari kebakaran, dan setengah juta lainnya menderita infeksi saluran pernapasan akut. Data tersebut berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada bulan Oktober 2015. Jika dibiarkan angka kematian dini akibat asap pembakaran hutan ini akan terus merengut nyawa kian banyak, khususnya anak-anak.

The Guardian pada 4 Februari 2017, menurunkan laporan tentang Muhanum Anggriawati, bocah berusia 12 tahun yang mati karena asap. Awalnya Anggriawati batuk-batuk, dalam beberapa minggu batuknya memuntahkan cairan berwarna hitam kekuningan. Beberapa minggu dalam mesin perawaran Anggriawati meninggal, di paru-parunya ditemukan lendir busuk. Kasus ini hanya contoh dari perkiraan potensi 100.000 kematian dini di Indonesia akibat bencana asap. Anggriawati dipercaya merupakan salah satu dari korban-korban mati akibat asap kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.

Perkiraan potensi kematian dini yang besar kesannya mengada-ada, tapi bila mengacu dari The Global Fire Emissions Database menyebutkan pada 2015 beberapa bulan asap akibat pembakaran hutan di Indonesia melahirkan 600 juta ton gas rumah kaca akibat terbakarnya 261.000 hektar hutan yang setara dengan seluruh gas rumah kaca yang diproduksi Jerman selama setahun.

Yuyun Indradi, forest campaigner, Greenpeace mengakui sampai hari ini tidak ada data resmi berapa jumlah kematian akibat asap pembakaran hutan di Indonesia. Alasannya karena praktik ini bukan terjadi baru-baru ini saja, setidaknya sejak 1980-an pembukaan lahan dengan membakar sudah terjadi di Indonesia. “Tidak ada data pasti dan resmi, tetapi bahwa kondisi kesehatan (katakan dari tahun 1997) dan berakumulasi maka angkanya pasti besar,” katanya.

Menurutnya apabila menggunakan modeling yang dilakukan oleh Universitas Harvard untuk 2015, maka "kematian dini" akibat asap itu bisa jauh lebih besar “Maka proyeksi ke belakang selama 18 tahun jelas mencapai jutaan,” tambahnya

Sayangnya, respons pemerintah dianggap lamban dalam menanggapi potensi kematian dini akibat kabut asap. Angka resmi kematian akibat kebakaran hutan hanya 24 orang, itu pun mereka meninggal karena proses pemadaman kebakaran hutan. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), memang menyediakan anggaran siap pakai Rp300 miliar untuk menangani bencana asap selama 2014 di seluruh wilayah Indonesia. Namun, apakah lebih baik mencegah daripada menangani masalah yang sudah terlanjur terjadi. Sehingga potensi kematian dini akibat polusi udara bagi ratusan ribu orang tak akan terjadi.

Baca juga artikel terkait POLUSI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Suhendra