Menuju konten utama

Kematian 8 Sipil dalam Kerusuhan 21-22 Mei Harus Diusut Tuntas

Sejumlah pegiat HAM mendesak kematian warga sipil dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 mesti diusut tuntas.

Kematian 8 Sipil dalam Kerusuhan 21-22 Mei Harus Diusut Tuntas
Demonstran terlibat kericuhan saat menggelar Aksi 22 Mei di depan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

tirto.id - Delapan orang meninggal dunia dalam kerusuhan di sejumlah titik di Jakarta pada 21-22 Mei lalu.

Direktur Pelayanan Medis RS Budi Kemuliaan Muhammad Rifki, misalnya, mengatakan dari 32 korban kericuhan di Tanah Abang yang mereka tangani, tiga di antaranya "dicurigai terkena peluru tajam; satu orang meninggal".

Korban meninggal Farhan Syafero (30). Dialah korban tewas yang pertama kali teridentifikasi pada aksi 22 Mei dini hari. Muhammad Baharuddin, salah seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Budi Kemuliaan, mengkonfirmasi Farhan tewas akibat luka tembak di bagian dekat leher dan menembus hingga ke punggung.

Sementara Humas RSUD Tarakan Reggy Sobari mengatakan Adam Nooryan (17) dan Widianto Rizky Ramadhan (19) juga tewas karena peluru. Adam tertembak di bagian punggung tembus hingga dada, juga Widianto pada bagian leher.

Polisi juga mengatakan hal serupa. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo bahkan lebih spesifik: satu di antara delapan korban itu (tanpa menyebut nama) meninggal karena terkena peluru tajam.

"Lainnya masih dalam proses autopsi," katanya.

Mesti Dituntaskan

Liani, tante Widianto Rizky Ramadhan, menuduh polisilah yang mesti bertanggung jawab atas kematian keponakannya.

"Mana peluru boongan, peluru karet, itu keponakan saya kena tembak di leher, meninggal, sama polisi," ujar Liani di RSUD Tarakan kala hendak menjemput jenazah keponakannya tersebut, Rabu (22/5/2019). "Kalau kayak begini, ke mana saya harus melapor, Pak Presiden?" tambahnya.

Sejauh ini memang belum ada pernyataan resmi soal siapa yang mesti bertanggung jawab. Terkait tuduhan bahwa pelakunya adalah polisi, Menko Polhukam Wiranto membantah. "Tidak mungkin aparat membunuh rakyat," katanya 22 Mei lalu.

Hal serupa dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Dia bahkan mengindikasikan kalau yang melakukan itu adalah pihak di luar TNI-Polri. 22 Mei lalu dia bilang polisi menangkap enam orang terkait kepemilikan senjata api. Senjata api itu akan dipakai untuk menyasar massa aksi agar memicu kemarahan massa.

"Untuk itu saya minta, kita minta masyarakat untuk tetap tenang, tidak langsung apriori, jangan langsung menuduh aparat pemerintah, aparat keamanan yang melakukan tindakan-tindakan tersebut," kata Tito.

Meski membantah menembak massa, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi sudah bisa memastikan kalau yang meninggal itu adalah para perusuh.

"Bukan massa yang jualan, atau yang sedang beribadah," katanya.

Jangan Seperti Kasus 98

Sejumlah pihak lantas mendesak pemerintah menuntaskan kasus ini. Pemerintah mesti menyelidiki dan mengumumkan ke publik siapa pelaku penembakan.

Koordinator Kontras Yati Adriyani mengatakan jika tidak melakukan itu, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa turun. Seperti kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, kasus ini juga mungkin akan jadi beban pemerintah jika tidak cepat-cepat diselesaikan.

Alasan lain kenapa kasus ini mesti segera dituntaskan adalah kemungkinan itu akan terulang lagi di masa depan. Pelaku--siapa pun itu--merasa aman karena mencabut nyawa orang ternyata tak mendapat hukuman.

"Pola-pola serupa akan sangat mungkin terjadi lagi di masa depan," katanya kepada reporter Tirto, Kamis (23/5/2019).

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara juga menegaskan pentingnya pengungkapan kasus ini. Dia mengingatkan pemerintah bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu yang belum terungkap sampai sekarang, dan kasus ini jangan sampai menambah panjang daftar tersebut--meski Komnas HAM sendiri masih menyelidiki apa kasus ini termasuk pelanggaran HAM atau tidak.

"Jangan sampai terulang lagi [tidak terungkap]," kata Beka kepada reporter Tirto.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mengautopsi korban. Isnur lantas menganjurkan keluarga korban setuju autopsi meski beberapa di antaranya sudah bilang enggan melakukan itu.

"Demi penyelidikan. Ini penting sebenarnya. Apa ini peluru dari polisi, tentara, atau di luar itu. Ini penting diungkap," jelasnya.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel & Aulia Adam
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino