Menuju konten utama
Periksa Data

Kemacetan Jakarta dari Tahun ke Tahun, Memburuk?

Dalam satu tahun orang Jakarta menghabiskan 75 jam, sekitar 3 hari, dalam kemacetan, menurut data TomTom Traffic Index 2022.

Kemacetan Jakarta dari Tahun ke Tahun, Memburuk?
Header Periksa Data Kemacetan Jakarta. tirto.id/Tino

tirto.id - Kemacetan menjadi momok dan permasalahan yang tidak kunjung ditemukan solusinya di kota besar seperti Jakarta. Kondisi jalanan macet di Ibu Kota belakangan juga semakin parah. Hal ini diduga imbas dari pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akhir 2022 lalu.

Kemacetan jalanan yang semakin tidak terkendali bahkan sempat mendorong munculnya petisi untuk mengembalikan kembali konsep bekerja dari rumah (work from home, WFH) oleh seorang warga Jakarta Timur, Januari 2023 lalu. Petisi ini pun mendapat dukungan dari lebih 26 ribu orang.

Keresahan akan padatnya kendaraan di jalanan juga dirasakan Daniel (30), seorang pekerja yang tinggal di Jakarta.

"Sangat tidak masuk akal," katanya pada Tirto, hari Rabu (14/2/2023), soal jalanan macet yang saban hari harus dihadapinya saat pergi dan pulang kerja.

Biasanya, ia menghabiskan waktu 45 menit dari tempat kosnya di daerah Setiabudi ke tempat kerjanya di Dharmawangsa yang berjarak sekitar 10 kilometer (km).

"Padahal itu naik sepeda motor," tambahnya.

Kondisi jalanan yang jauh dari ideal ini mendorongnya memilih menggunakan kendaraan umum. Mass rapid transit (MRT) pun menjadi pilihannya saat ini. Sejak menggunakan MRT, Daniel mengaku ia bisa memotong waktu perjalanannya menjadi 30 menit untuk rute yang sama.

Kondisi yang sama juga dirasakan Ana (29). Ana yang tinggal di daerah Kembangan, Jakarta Barat, merasakan betul tambahan waktu untuk pergi dan pulang kerja sejak PPKM dicabut.

"Dulu (saat masih ada pembatasan akibat pandemi Covid-19), sekitar 20 menit, sekarang bisa satu jam untuk bisa sampai ke Senayan," ujarnya pada Tirto (14/2/2023).

Memanfaatkan moda transportasi umum, feeder TransJakarta, dia juga mengeluhkan indikasi makin ramainya jalanan dia rasakan dari bertambahnya waktu menunggu armada bus.

"Karena macet di bukan jalur busway-nya, penumpang menumpuk. Gue pernah nunggu bus aja 1 jam berdiri di halte, terus harus berdiri lagi 1 jam perjalanan. Dua jam berdiri, migrain!" ungkapnya meluapkan kekesalan.

Data Kemacetan di Jakarta

Kondisi kemacetan kota Jakarta ini juga tergambar data yang dikumpulkan TomTom Traffic Index. Berdasar pemantauan dari live traffic TomTom per 16 Februari 2023, terlihat dalam tujuh hari terakhir, pada hari kerja (Senin-Jumat) terdapat dua puncak waktu kemacetan setiap harinya, yakni pukul 8 pagi dan 6 sore.

Berdasar data 7 hari terakhir juga terlihat kalau hari Jumat sore menjadi hari dengan kemacetan paling parah. Untuk menempuh jarak 10 km dibutuhkan waktu 27 menit 57 detik, 4 menit 12 detik lebih lama dari waktu perjalanan biasa.

Sementara pada pagi hari, Selasa pukul 8 menjadi periode paling macet dalam seminggu terakhir. Untuk menempuh jarak 10 km, diperlukan waktu 24 menit, 4 menit 44 detik lebih lama dari waktu perjalanan biasa.

Tetapi secara umum dalam tujuh hari terakhir, waktu tempuh yang dibutuhkanan untuk menempuh jarak 10 Km di wilayah kota Jakarta selalu lebih tinggi dibanding waktu perjalanan biasa, berdasar data historis yang dikumpulkan TomTom.

TomTom dalam laporan Traffic Index 2022 menunjukkan tingkat keparahan macet di satu kota dengan membandingkan waktu tempuh saat ini (real time) per 10 km, dengan waktu tempuh rata-rata per 10 km yang dihitung dari data historis TomTom.

Adapun dalam laporan lengkapnya TomTom memantau 389 kota dari 56 negara di dunia.

Selain Jakarta, ibu kota negara-negara tetangga seperti Manila (Filipina), Bangkok (Thailand), dan Kuala Lumpur (Malaysia) juga diukur tingkat kemacetannya. Di antara negara-negara Asia Tenggara lain yang masuk dalam laporan ini, hanya Manila yang kondisi kemacetannya lebih parah dibanding Jakarta.

Secara umum Manila menjadi kota dengan kemacetan terparah kedua di dunia pada tahun 2022 dengan rata-rata waktu tempuh (untuk jarak 10 km) 24 menit 30 detik. Diikuti oleh Jakarta dengan rata-rata 19 menit, yang pada 2022 berada di peringkat 19 dunia.

Kemudian Bangkok dengan rata-rata waktu tempuh 14 menit 40 detik bertengger di peringkat 77 dunia. Singapura dengan rata-rata waktu tempuh jarak 10 km, 14 menit 30 detik menempati peringkat 87, sementara Kuala Lumpur dengan rata-rata 12 menit 50 detik punya tingkat kemacetan paling rendah di antara negara Asia Tenggara lainnya.

Secara umum, di lima negara Asia Tenggara ini, kondisi kemacetan tiap negara bertambah buruk dibanding tahun 2021.

Sebagai perbandingan, data dari Numbeo pada 2022 juga menunjukkan parahnya waktu tempuh berkendara akibat kemacetan di Jakarta dibanding kota-kota di negara-negara lain. Meski Lagos disebut yang waktu tempuhnya paling lama untuk perjalanan satu arah, selama 66,8 menit, Jakarta tak jauh berbeda, 52,9 menit, atau bertengger di posisi 13 terburuk di dunia.

Kembali ke data dari TomTom. TomTom Traffic Index 2022 juga memetakan secara umum rata-rata waktu seseorang berkendara. Di Jakarta angkanya mencapi 169 jam dalam setahun. Dari waktu tersebut 75 jam di antaranya dihabiskan dalam kendaraan akibat macet. Artinya dalam satu tahun, orang Jakarta kehilangan sekitar 3 hari akibat kemacetan.

Dalam laporan yang sama juga disebutkan bahwa waktu ideal untuk menempuh jarak 10 Km di Jakarta adalah 12 menit. Sementara adanya macet di pagi hari menambah waktu perjalanan sekitar 7 menit, sementara macet pulang kerja menyebabkan tambahan waktu tempuh 12 menit.

Artinya untuk menempuh jarak 10 km pada pagi hari diperlukan waktu 19 menit dan pada malam hari perlu 24 menit di Jakarta.

TomTom mencatat saat jam macet di pagi hari rata-rata laju kendaraan di Jakarta adalah 30 km/jam sementara di malam hari 25 km/jam.

Laporan ini juga memetakan pola kemacetan di Jakarta untuk menentukan periode waktu yang sebaiknya dihindari untuk berkendara. Hasilnya menunjukkan hari Jumat antara pukul 5-6 sore sebagai waktu kemacetan paling parah di Jakarta. Untuk menempuh jarak 10 km akan dibutuhkan waktu 25 menit 10 detik.

Terkait dengan usulan WFH yang sempat dipetisikan warga Jakarta, TomTom juga membuat simulasi. Dengan menerapkan penyesuaian satu hari WFH pada hari Jumat, menurut perkiraan perusahaan ini, dalam satu tahun orang Jakarta bisa menghemat waktu 33 jam.

Sementara jika tiga hari kerja sistem WFH (Selasa, Kamis, Jumat) diterapkan di Jakarta, dalam satu tahun orang Jakarta bisa menghemat waktu 102 jam untuk tidak dihabiskan di jalan.

Merujuk ke TomTom Traffic Index tahun sebelumnya juga terlihat dengan jelas bagaimana pandemi COVID-19 dan PPKM menjadi 'obat manjur' bagi masalah kemacetan di Jakarta, katanya.

Tingkat kemacetan di Jakarta turun dari 53 persen pada tahun 2019 menjadi 36 persen pada 2020 dan 34 persen pada 2021. Adapun tingkat kemacetan menunjukkan berapa lama waktu tempuh tambahan akibat kemacetan.

Misalnya, 34 persen tingkat kemacetan artinya jika waktu tempuh perjalanan memakan waktu 30 menit saat kondisi lancar, akan ada tambahan sekitar 10 menit waktu tempuh akibat kemacetan.

Masalah dan Solusi

Kemacetan dan semerawutnya jalan di Jakarta adalah buah dari gagalnya mengontrol penggunaan kendaraan pribadi. Hal ini disimpulkan Pengamat transportasi Ketua Institusi Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas.

"Harusnya warga Jakarta Sudah mulai meninggalkan kendaraan pribadi dan naik angkutan umum," ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (15/2/2023).

Dia menambahkan, infrastruktur transportasi umum yang ada juga sudah memadai.

Senada, pakar transportasi Djoko Setijowarno juga melihat jumlah kendaraan yang ada melebihi kapasitas jalan di Jakarta.

"Jalan yang sudah ada tidak dapat menampung jumlah kendaraan yang makin meningkat, sehingga menimbulkan kemacetan," terangnya dihubungi kesempatan terpisah.

Dia menambahkan kemacetan yang tak kunjung hilang di Jakarta ini adalah akibat dari gagalnya pemerintah menurunkan jumlah kendaraan di jalan.

Secara khusus dia beranggapan banyaknya pengendara sepeda motor adalah penyebab kemacetan. Tidak hanya kemacetan, banyaknya pengendara sepeda motor juga meningkatkan risiko kecelakaan di jalan raya.

Selain itu dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kemacetan di Jakarta berdampak pada kondisi keuangan negara.

"Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 Juta liter per hari," tambah pria yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini.

Untuk menuntaskan masalah kemacetan yang ada, manajemen pengelolaan transportasi perkotaan perlu dilakukan. Djoko menerangkan terdapat push and pull strategy.

Push strategy adalah kebijakan disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke angkutan umum. Sedangkan pull strategy dengan menyediakan layanan angkutan umum terintegrasi, kemudahan bagi penggunaan angkutan umum.

Sejauh ini dari sisi pull strategy, Jakarta dinilai sudah cukup baik. Djoko menyebut layanan transportasi umum sudah mencakup 92 persen wilayah Ibu Kota.

"Kalau kamu keluar, jalan maksimal 500 meter sudah dapat kendaraan umum, kan? Sekarang masalahnya tinggal mau pakai atau tidak," ujar dia.

Selain itu layanan transportasi di daerah penyangga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) juga disebut masih sangat buruk. Hampir 99 persen perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum. Hal ini mendorong orang-orang yang tinggal di sana dan beraktivitas di Jakarta, "dipaksa" punya kendaraan pribadi.

Sementara untuk push strategy, rencana penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik (elektronic road pricing/ERP), dianggap bisa menjadi terobosan untuk mengurangi kemacetan lalu lintas dan dapat mendorong peralihan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal.

"Ini juga bukan solusi satu-satunya, nanti harus ditambah lagi dengan kebijakan parkir progresif, kewajiban punya garasi bagi pemilik mobil, pajak kendaraan dinaikkan," tambah dia lagi.

Namun, menurut Djoko terkait push strategy ini perlu adanya kemauan dan upaya lebih dari kepala daerah dan DPRD untuk mau mengupayakan agar aturan yang "tidak populer" ini bisa terimplementasi.

Dengan kombinasi disinsentif kendaraan pribadi dan penguatan transportasi umum, diharapkan transisi akan dapat semakin lancar.

Jumlah Pengguna Angkutan Umum Naik?

Sejauh ini pengguna kendaraan umum di Jakarta memang masih perlu ditingkatkan. Berdasar Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja 2021, pekerja komuter di wilayah Jakarta masih dominan menggunakan kendaraan pribadi.

Persentase pengguna kendaraan pribadi mencapai 60,45 persen pada tahun 2020. Berita baiknnya, angka tersebut adalah penurunan dibanding tahun 2019 saat angkanya mencapai 80,6 persen.

Dampaknya terjadi peningkatan pengguna transportasi umum dari 16,15 persen (2019) menjadi 29,37 persen (2020).

Selain itu, yang tidak kalah menarik, terjadi peningkatan pesat jumlah komuter yang memilih jalan kaki untuk pergi bekerja, dari 1,27 persen (2019) jadi 8,13 persen (2020).

Tren peningkatan pemanfaatan kendaraan umum juga sebenarnya sudah terlihat dari pengguna Commuterline Jabodetabek, sebagai salah satu sarana tranportasi umum yang populer. Setelah sempat merasakan betul dampak dari pandemi Covid-19, jumlah penumpang kereta rel listrik (KRL) di wilayah Jabodetabek menembus angka 215 juta penumpang pada 2022.

Melihat rata-rata bulanannya, pengguna KRL juga terus meningkat dari 387.460 pada Februari 2022, terus naik hingga tertinggi pada Desember 2022 mencapai rata-rata 848.195 penumpang.

Sementara untuk moda transportasi umum populer lainnya, TransJakarta, juga tidak jauh berbeda. Berdasar data yang tersedia di BPS, tahun 2021, jumlah penumpangnya dalam setahun hanya sekitar 98,9 juta, jauh dibanding tahun 2019, ketika jumlah penumpang mencapai 264 juta.

Namun, berdasar pernyataan Direktur TransJakarta Mochammad Yana Aditya kepada CNBC Indonesia, akhir tahun 2022 lalu jumlah penumpang sudah mencapai 800 ribu per hari dan tahun 2023 ditargetkan mencapai 1,5 juta penumpang per hari.

Peningkatan pemanfaatan transportasi umum ini diharapkan dapat menekan jumlah kendaraan yang beroperasi di Jakarta. Sebab berdasar data Korlantas Polri, kendaraan yang tercatat di Polda Metro Jaya adalah yang kedua terbanyak di Indonesia, mencapai 21,77 juta unit kendaraan atau setara dengan 14,18 persen kendaraan yang ada di Indonesia.

Masalah Kemacetan di Kota Lain

Kemacetan di Jakarta bisa menjadi gambaran bagaimana permasalahan pengelolaan moda transportasi dari kota-kota lain yang ada di Indonesia.

Contoh terdekatnya Kota Bandung, pada tahun 2019 Asian Development Bank (ADB) merilis laporan yang menyebut Kota Bandung sebagai kota paling macet di Indonesia, melebihi Jakarta. Dalam laporan tersebut Bandung berada di peringkat 14 kota besar paling macet di Asia, sementara Jakarta ada di peringkat 17.

Seolah mengamini hasil laporan 4 tahun lalu itu, Dinas Perhubungan Kota Bandung Kamis (9/2/2023) menyebut kemacetan di Kota Kembang tak terhindarkan lantaran membludaknya jumlah kendaraan di sana.

Kabid Lalu Lintas dan Perlengkapan Jalan Dishub Kota Bandung Khairul Rijal mengatakan jumlah kendaraan yang ada hampir setara dengan populasi penduduk.

"Volume kendaraan saat ini yang domisili Kota Bandung saja sudah 2,2 juta unit. Dengan 1,7 juta unit motor dan mobil 500 ribuan, nyaris satu banding satu dengan jumlah masyarakat," katanya dikutip dari Antara.

Adapun jumlah penduduk di Kota Bandung sebanyak 2,4 juta jiwa.

Informasi dari Khairul ini menunjukkan pertumbuhan kendaraan yang terus berlanjut di Kota Bandung. Berdasar data yang dirangkum dalam Kota Bandung Dalam Angka, antara tahun 2011 sampai 2021 terjadi fluktuasi jumlah kendaraan yang ada di sana.

Celakanya berdasar data tersebut dominasi dan pertumbuhan kendaraan pribadi tidak diimbangi dengan jumlah transportasi umum. Tahun 2011 berdasar data terdapat 1,2 juta kendaraan pribadi, jumlahnya menjadi 1,5 juta pada tahun 2021. Sementara transportasi umum justru berkurang jumlahnya, dari sekitar 12 ribu unit, tersisa hanya 11 ribu pada tahun 2021.

Kondisi ini bisa menjadi indikasi masih kurangnya usaha dari Pemerintah Kota Bandung untuk mendorong penggunaan kendaraan umum dalam upaya menekan penggunaan kendaraan pribadi.

Padahal menurut Djoko dari MTI, untuk kota-kota selain Jakarta, pengadaan dan pengoperasian transportasi umum bisa langsung menjadi solusi meredam kemacetan.

Djoko menjabarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat di 10 kota yang dilayani 47 koridor dengan 741 unit bus. Berdasarkan survei yang dilakukan, pengadaan moda transportasi umum mendorong peralihan pemakai sepeda motor pindah menjadi menggunakan bus sebanyak 62 persen.

"Masyarakat itu sudah pengen kendaraan angkutan umum, tinggal niat kepala daerahnya saja," tutup Djoko.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty