Menuju konten utama

Keluhan Perantau yang Susah Menggunakan Hak Pilihnya di Pemilu 2019

Sejumlah warga memilih untuk tidak menggunakan hak politiknya pada Pemilu 2019 karena terkendala teknis administrasi. Angka golput akan semakin tinggi?

Keluhan Perantau yang Susah Menggunakan Hak Pilihnya di Pemilu 2019
Kolase foto tangan warga yang golput saat Pilpres 2014. Zabur Karuru/Antara Foto

tirto.id - Daniel, 27 Tahun, tak bisa menyalurkan hak politiknya di Pemilu 2019 lantaran tak bisa pindah tempat memilih. Pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini sejak 2010 tinggal di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tapi Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya masih tercatat sebagai warga Kupang.

Pada Pemilu 2019 ini, Daniel ingin menyalurkan hak politiknya. Namun, ia mengalami kendala teknis.

Daniel bercerita sudah melakukan berbagai upaya agar bisa ikut mencoblos pada 17 April mendatang. Salah satunya, ia mencari informasi dari berbagai sumber mengenai syarat dan ketentuan untuk pindah tempat memilih.

Ia kemudian berkonsultasi dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sleman. Berdasarkan arahan KPUD, Daniel diminta untuk mendatangi kelurahan tempat tinggalnya di Condong Catur.

Daniel bergegas mendatangi kelurahan pada 12 Maret lalu. Ia mengetahui jika proses administrasi pindah memilih itu hanya bisa dilakukan selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Ia meminta formulir A5 sebagai bukti telah pindah tempat memilih.

"Jadi pas ke kelurahan, mereka minta nunjukin bukti sudah terdaftar di DPT [Kupang] atau belum. Caranya adalah masukan NIK KTP ke website KPU," ujar Daniel kepada reporter Tirto, Selasa (3/4/2019).

Namun, Daniel ternyata belum masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kupang sehingga tak bisa mendapat formulis A5. Ia pun menghubungi keluarganya di Kupang untuk mencari tahu kenapa namanya tak masuk DPT.

"Setahu aku sensus itu merujuk ke KK [Kartu Keluarga]. Cuma aku enggak tahu case-nya apa, petugas sensusnya enggak mau masukin [ke DPT] karena aku enggak ada di situ [Kupang] atau gimana," kata Daniel.

Petugas kelurahan Condong Catur pun menyarankan Daniel untuk mendaftar dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Namun dengan begitu, Daniel hanya bisa mencoblos sesuai alamat KTP, yakni di Kupang. Padahal, ia hanya libur sehari dan tidak mungkin pulang ke NTT.

"Jadi untuk saat ini belum ada solusi," kata Daniel.

Padahal, kata Daniel, pada Pemilu 2014 dirinya pernah pindah tempat memilih dari Kupang ke Sleman dan berhasil mendapat formulis A5. Meski saat itu prosesnya cukup panjang karena ia harus membuat surat pernyataan ke RT/RW dan kemudian diserahkan ke kelurahan.

"Harapan aku sistemnya buat seperti itu [surat pernyataan]. Jadi kayak saya yang pendatang dan tidak masuk di DPT, ada jalan keluarnya," kata Daniel mengeluhkan.

Berbeda dengan Hendi (29 tahun). Pria asal Bandung, Jawa Barat ini memutuskan tidak memberikan hak suaranya karena tidak bisa pulang saat hari H. “Hanya libur sehari, jadi memilih tidak nyoblos,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/4/2019).

“Saya baru tahu malah kalau bisa pindah tempat memilih dengan syarat mengurus formulir A5. Tapi sudah terlambat. Jadi saya memilih untuk golput saja,” kata Hendi menambahkan.

Hal yang sama dialami Nurmavaida yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Ia terpaksa tidak menggunakan hak pilihnya karena tidak sempat mengurus administrasi untuk pindah tempat memilih ke Magelang, Jawa Tengah.

Masalah Teknis atau Administratif

Tiga kasus di atas tentu hanya sedikit contoh dari sekian warga lainnya yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, masyarakat yang golput bahkan mencapai 30 persen --golput dalam artikel ini mengacu pada istilah populer non-voting behavior--.

Peneliti LSI Denny JA, Adjie Al Faraby mengatakan masyarakat yang golput lebih banyak karena alasan teknis dibanding alasan politis atau ideologis. Adjie memperkirakan ada sekitar 30 persen masyarakat yang memilih untuk golput dengan alasan beragam.

Persoalan teknis atau administratif ini, kata Adjie, lebih banyak disebabkan masyarakat enggan mengurus administratif persyaratan mencoblos, khususnya bagi mereka yang ingin pindah lokasi memilih.

"Ada yang karena alasan politis atau alasan yang ideologis, tapi itu mungkin hanya di bawah 10%," kata dia di kawasan Jakarta Pusat, pada 23 Februari 2019.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Februari 2019 mencatat lebih dari 275 ribu pemilih sudah melakukan proses pemindahan tempat memilih pada Pemilu 2019. Jumlah ini sudah tercatat di Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) Pemilu 2019.

Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan para perantau yang memiliki KTP elektronik (E-KTP) dapat mencoblos di tempat tinggalnya saat ini. Namun, mereka harus mengurus pindah memilih sesuai UU Pemilu Nomor 7/2017 pasal 210 Ayat 1.

Aturan sebelumnya menyatakan batas maksimal pemilih pindah TPS adalah 30 hari sebelum pemilihan berlangsung. Namun, setelah ada putusan MK, batas waktu pindah pemilih menjadi H-7 pencoblosan atau sampai 10 April.

Selain itu, MK juga membolehkan penggunaan Surat Keterangan (Suket) jika belum memiliki E-KTP.

“Jadi sesuai dengan putusan MK, paling lambat H-7 pencoblosan pemilu, atau sampai dengan 10 April. Kecuali kalau ada orang sakit, korban bencana alam, tahanan di lapas atau rutan, menjalankan tugas pada saat pemungutan suara,” jelas Viryan.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan