Menuju konten utama

Kekuatan Memaafkan

Memaafkan tak hanya penting bagi kesehatan mental, tetapi juga untuk kesehatan raga Anda.

Kekuatan Memaafkan
Ilustrasi. FOTO/IStock

tirto.id - “Ambil pistol, pisau, dan badik kalian, lalu buang ke laut. Akhiri perang sekarang juga!”

Pesan kuat tersebut diutarakan Nelson Mandela, tokoh politik Afrika Selatan, tidak lama setelah pembebasan dirinya dari masa kurungan yang menyiksa selama 27 tahun akibat politik apartheid. Seperti dilaporkan The New York Times, kala itu Mandela berbicara di hadapan lebih dari 100.000 rakyat Afsel yang memenuhi stadion kriket di Durban, memohon agar perang saudara yang menghabisi nyawa ribuan orang Afsel dihentikan. Sudah terlalu lama rakyat kulit hitam Afsel menjadi korban politik pecah belah yang pemerintah kulit putih praktikan.

Waktu-waktu menderita yang diawali di penjara Pulau Robben sampai hari-hari terakhir di sel tahanan Victor Verster yang bagi Mandela, “Beban terdahsyat, penderitaan terdalam," dia buang jauh-jauh demi merakit persatuan, perdamaian, dan penghapusan diskriminasi yang tengah diupayakan. Pidatonya menegaskan rasa dendam dan saling membenci sudah sepatutnya tidak punya ruang berkembang kalau mereka mendambakan kehidupan demokrasi dan kesetaraan martabat sebagai manusia. Tanpa kemampuan memaafkan, cita-cita itu mungkin tidak pernah kejadian.

Mandela yang wafat empat tahun silam memang dikenang sebagai salah satu tokoh berpengaruh dalam isu kemanusiaan. Penghargaan Nobel perdamaian pada 1993 dan ditetapkannya 18 Juli sebagai ‘Mandela Day’ oleh Majelis Umum PBB, hanya dua dari sekian pengakuan atas dedikasinya mengusahakan penyelesaian konflik, kesetaraan gender, terjaminnya HAM, mengentaskan kemiskinan, juga keadilan sosial. Jiwa besar Mandela menjadi rujukan dalam penebaran pesan damai ke seluruh dunia.

Kemampuan memaafkan tentu bukan monopoli seorang negarawan, pemuka agama, atau kaum intelektual saja. Setiap orang sepatutnya memiliki kemampuan seperti ini, meski tidak mudah. Satu cerita lain yang sempat menyita perhatian publik yaitu saat terjadi pembunuhan gadis berusia 19 tahun, Ade Sara pada 2014.

Ade Sara sempat dianiaya dengan alat kejut listrik sekaligus mulutnya disumpal koran sebelum akhirnya mayatnya dibuang di pinggir jalan tol Bekasi Barat oleh dua pelaku, Hafitd dan Assyifa. Pemicunya hanya kisah romansa segitiga khas remaja.

Keterkejutan atas pembunuhan tersebut diiringi dengan bagaimana kemurahan hati kedua orangtua Ade Sara, Suroto dan Elzabeth memberikan maaf bagi pelaku pembunuhan anak semata wayang mereka. Mereka tahu bahwa manusia tidak punya kuasa untuk membalas dendam, biarkan mereka serahkan kepada Tuhan dan hukum yang berlaku. Bahkan, orangtua Ade Sara juga meminta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan anaknya kepada pelaku.

Sempat pula mereka menyebut Hafitd yang notabene mantan kekasih anaknya itu sudah dianggap sebagai anak sendiri. Mereka pernah menyempatkan diri mengunjungi Hafitd di rumah tahanan, sembari mendoakan hidup yang lebih baik untuknya dan Assyifa.

“Dengan begitu [memaafkan pelaku] perasaan saya bisa sedikit lebih tenang, karena sebelumnya sakit sekali hati saya," kata Elisabeth seperti dikutip Viva.

infografik kekuatan memaafkan

Memaafkan ternyata juga berkaitan dengan kesehatan diri seseorang. Penelitian dari Universitas Missouri berjudul "Unforgiveness, Depression, and Health in Later Life: The Protective Factor Forgivingness" pada 2015 mendapati semakin tua usia seseorang semakin mudah dia memaafkan.

Mereka meneliti 1.000 responden berusia 67 tahun ke atas untuk mengetahui seberapa pengaruh pemaafan berpengaruh kepada tingkat depresi seseorang. Hasilnya, perempuan cenderung berkurang risikonya untuk mengalami depresi setelah memaafkan orang lain dan diri sendiri, sekalipun ia tidak dimaafkan orang lain. Namun, laki-laki malah punya tingkat risiko depresi lebih tinggi sekalipun sudah memaafkan, tapi belum dimaafkan orang lain.

“Mengampuni diri bukanlah suatu perlindungan melawan depresi, tapi ini sepenuhnya tentang kemampuan seseorang memaafkan orang lain dan kesungguhan memaafkan tersebut,” ujar Christine Proulx, penulis penelitian.

Penelitian dari Universitas Erasmus Rotterdam mendapati memaafkan memang punya manfaat terhadap mental dan kebugaran fisik. Sebanyak 160 mahasiswa yang menjadi obyek penelitian menunjukkan sebagian dari mereka yang menyimpan dendam cenderung punya fisik tidak terlalu prima.

Saat diuji tingkat ketinggian saat mereka melompat, mahasiswa yang belum memaafkan orang lain lebih pendek loncatannya ketimbang mereka yang mampu memaafkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa orang pemaaf melihat dunia bukan tempat yang menakutkan.

Lalu bagaimana supaya bisa ikhlas memaafkan?

Buku Emotional Freedom yang ditulis psikiater Universitas of California, Los Angeles Judith Orloff, mencoba menggambarkan tiga tahap upaya memaafkan. Dimulai dengan mengidentifikasi secara adil orang yang menyebabkan kemarahan. Perlu disadari bahwa sahabat baik pun bisa secara melukai hati kalau mereka sedang berada di momen tidak menyenangkan.

Selanjutnya, cobalah secara jujur mengungkapkan perasaan kepada orang-orang yang bisa membuat lega. Sebab, dengan bercerita, manusia kuat. Tahap akhir, memulai memaafkan dengan hati yang lapang. Pertimbangkan situasi yang tidak mengenakkan itu dari sudut pandang orang lain, mengapa sekiranya orang tersebut berperilaku buruk. Berefleksilah saat diri sendiri berperilaku buruk kepada orang lain, dan yakini bahwa upaya memaafkan adalah proses sehingga segala sesuatunya tidak usah dibuat baper.

Jadi, jangan pernah enggan menyampaikan permohonan maaf setulus hati kepada orang yang sempat dibenci. Balas dendam dengan berperilaku aniaya jelas bukanlah opsi yang baik bagi kesehatan Anda. Apalagi, seperti apa yang dikatakan Mahatma Gandhi, mata diganti mata hanya akan membuat buta seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait MEMAAFKAN atau tulisan lainnya dari Rahman Fauzi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Rahman Fauzi
Penulis: Rahman Fauzi
Editor: Maulida Sri Handayani