Menuju konten utama
Kekerasan TNI di Papua

Kekerasan TNI terhadap Difabel Papua: Tak Cukup Hanya Minta Maaf

Kekerasan terhadap warga difabel Papua oleh TNI AU di Merauke menuai kecaman. Sejumlah pihak mendorong agar kasusnya dibawa ke pengadilan.

Kekerasan Aparat POM AU di Papua. instagram/LBH Jakarta

tirto.id - “Ko dengar saya tidak? Ko jalan sudah!”

Bapak berkaus cokelat meminta pemuda Papua itu angkat kaki dari kiosnya. Si pemuda membalas suruhan itu dengan menunjuk orang lain di belakang si bapak, kemudian menepuk lengan kirinya sendiri. Sambil bersuara, pemuda itu memandang ke lawan bicaranya.

Bapak itu sempat menahan badan si pemuda agar tak melangkah lebih jauh melebihi titik berdirinya. Lantas si pemuda melepas kausnya, tapi badannya didorong. Kemudian datang dua prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara, berseragam lengkap. “Kenapa?” kata dia.

Si tentara lalu mengunci lengan si pemuda Papua tuna wicara itu. “Kenapa? Kau mabuk?” hardiknya di depan wajah. Aksi aparat penjaga kedaulatan negara itu berlanjut. Si prajurit menarik lengan si pemuda, membawanya keluar dari kios. Badannya dibanting ke trotoar, bahu kanan dan bagian leher kanan ditekan menggunakan tangan si prajurit; kaki kanannya setengah melayang dari tanah.

Wajah pemuda miring ke kanan; seorang prajurit lainnya menginjak kepalanya. Rontaan pemuda itu sia-sia, lantaran si prajurit mulai membenamkan dengkul kiri di punggungnya. “Kamu tak bawa ke polres!” ujar si prajurit tersebut.

Mereka mulai memutar tangan si pemuda ke belakang untuk diborgol, namun benaman dengkul emoh dilepaskan. Kejadian di Jalan Raya Mandala, Merauke, Papua itu lalu viral pada 27 Juli 2021 di media sosial.

Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo meminta maaf atas kejadian tersebut dan mengklaim bahwa perbuatan itu adalah kesalahan. “Hal ini terjadi semata-mata karena kesalahan anggota kami dan tidak ada niat apa pun, apalagi dari perintah kedinasan,” kata dia Selasa (27/7/2021).

Bahkan Marsekal Fadjar berjanji akan mengevaluasi seluruh prajuritnya dan menindak tegas pelaku.

Herman Rumbekwan, Ketua DPD Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Papua berujar yang dilakukan dua prajurit TNI AU itu buruk. “Sudah kelewatan sekali. Kalau mereka (tentara) melihat kondisi (pemuda) seperti itu (tuna wicara), seharusnya mereka beri perlindungan. Mereka diproses (hukum) saja,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Penyandang disabilitas dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Negara menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia.

Pasal 2 UU Penyandang Disabilitas [PDF] gamblang menyebutkan ihwal pelaksanaan dan pemenuhan hak yang berasaskan penghormatan terhadap martabat; otonomi individu; tanpa diskriminasi; partisipasi penuh; keragaman manusia dan kemanusiaan; kesamaan kesempatan; kesetaraan; aksesibilitas; kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak; inklusif; dan perlakuan khusus dan pelindungan lebih.

Herman menyatakan peristiwa di Merauke ini adalah yang terekspose kepada publik, tapi masih ada kejadian buruk yang menimpa penyandang disabilitas, misalnya dugaan pemerkosaan di Jayapura pada Februari 2021 yang diselesaikan secara kekeluargaan. Bagi dua prajurit TNI ini, Herman merasa mereka harus mendapatkan ganjaran.

Ada kendala lain yang dihadapi kaum disabilitas Papua. “Pemerintah sampai hari ini belum mengeluarkan peraturan daerah untuk melindungi anak-anak difabel ini, walau UU 8/2016 telah berjalan. Sekarang kami memperjuangkan adanya peraturan daerah,” tutur Herman.

Prajurit Sekalipun, Tak Gugur Hukum

Direktur LBH Papua Emanuel Gobay meminta Panglima TNI cq KSAU cq Komandan Lanud J.A Dimara, segera pecat dengan tidak hormat Serda D dan Prada V karena peristiwa ini. Dua tentara itu telah melanggar beberapa peraturan yakni:

Pasal 28G ayat (2) UUD 1945; Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; dan Pasal 170 ayat (1) KUHP.

Maka berlaku prinsip pidana dalam kasus ini. "Perdamaian ataupun permohonan maaf tidak menghapus tindak pidana, hanyalah putusan hakim di pengadilan yang dapat menghapusnya," kata Emanuel saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem menegaskan bahwa kekerasan sangat menyakiti keluarga korban dan warga Papua pada umumnya, apalagi korban adalah difabel.

“Tindakan kekerasan itu adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi, tidak terdidik, dan tidak profesional. Kedua anggota tersebut segera diproses sesuai hukum yang berlaku, di peradilan militer di Papua,” ucap dia, Selasa kemarin.

Tindakan rasisme dan pendekatan represif yang dilakukan oleh dua prajurit terhadap penyandang disabilitas itu, tidak hanya mengakibatkan sakit secara fisik terhadap korban, namun menambah panjang daftar tindakan diskriminatif aparat keamanan terhadap orang asli Papua.

“Tindakan tersebut menunjukkan adanya tindakan diskriminatif berupa karena perbedaan ras dan etnis. Kekerasan dan merendahkan martabat orang Papua akan terus terjadi selama impunitas terus dipelihara,” ucap Michael Himan dari Tim Advokasi Papua.

Selain itu, tim mendesak pihak TNI untuk memberikan sanksi dan memecat kedua prajuritnya itu. Semua proses harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.

Meredam Konflik dari Pikiran

13 Juli 2016, adalah hari yang mungkin tak bisa dilupakan oleh Obby Kogoya, mahasiswa Papua di Yogyakarta. Di depan asrama Kamasan di Jalan Kusumanegara, tanpa tahu apa salahnya, ia dikejar-kejar, ditendang, dipukuli, lalu ditangkap polisi.

Peristiwa itu diabadikan oleh fotografer lepas Suryo Wibowo. Kameranya menangkap kepala Obby diinjak oleh polisi, ada pula foto ikonik mengabadikan perlakuan rasis aparat keamanan Indonesia terhadap orang Papua: kedua hidung Obby ditarik oleh kedua jari seorang polisi dan tangan Obby diborgol.

Keributan kembali terjadi dua tahun kemudian, di Surabaya. Saat itu mahasiswa Papua dikepung ormas dan polisi di asrama Kamasan di Jalan Kalasan. Sejak pagi, mahasiswa Papua yang belajar di Jawa dan Bali, tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua, menggelar aksi demo memperingati 1 Desember, dianggap sebagai hari kedaulatan Papua.

Mereka melakukan aksi jalan kaki dari Monumen Kapal Selam menuju Gedung Grahadi. Aksi itu berujung pada kericuhan. Mahasiswa dilempari batu oleh ormas, mengakibatkan tiga mahasiswa bocor kepalanya.

Bukan menangkap para pelaku pelempar batu, polisi justru memulangkan mahasiswa dan membiarkan kasus kekerasan itu menguap. Persis seperti apa yang terjadi di Yogyakarta. Publik Indonesia dengan cepat melupakannya.

Terlepas dari orang Papua itu difabel ataupun mahasiswa, aparat keamanan Indonesia haram semena-mena. Pun jika pemuda Merauke itu betul mabuk, maka pemitingan dan injak kepala bukanlah cara tepat menyelesaikan ‘perkara jalanan’. Untuk mengurangi arogansi aparat, maka diperlukan juga pemahaman tentang karakter orang Papua.

“Harus ada pendekatan etnografi terhadap Papua. Etnografi itu bukan sekadar kebudayaan, tapi juga tentang karakter, tentang nilai-nilai orang Papua, cara berinteraksi dengan mereka. Belum banyak orang yang paham tentang budaya Melanesia,” tutur peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth, kepada reporter Tirto, Rabu (28/7/2021).

Dalam budaya Melanesia ada sistem kekuasaan, ekonomi, sosial budaya atau nilai yang berbeda. Adriana mengingatkan bahwa hal-hal itu tidak bisa disepelekan. Upaya penting dan jangka panjang lainnya ialah merancang kebijakan damai secara khusus untuk Bumi Cenderawasih dan Indonesia.

Mesti ada usaha berbasis ‘kognitif keadamaian’ yang dimulai sejak dalam pikiran. “Supaya mengurangi perilaku-perilaku diskriminatif, rasis, dan sebagainya. Ini bagian dari ‘pendekatan lunak’ yang sangat penting namun kurang diperhatikan untuk daerah konflik,” imbuh dia.

“Kita harus merancang sesuatu yang menghilangkan diskriminasi. Kalau diskriminasi di dalam pikiran hilang, yang lain akan mengikuti. Jika dalam pikiran sudah diskriminatif, ya, wujudnya akan seperti itu.”

Baca juga artikel terkait KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz