Menuju konten utama

Kekerasan terhadap Anak pada 21-22 Mei: Dipukul, Disundut, Direndam

Laporan kolaborasi antara Tirto, CNNIndonesia TV, dan Jaring.id: Polisi gagal melindungi anak-anak dalam ricuh Bawaslu, 21-22 Mei.

Kekerasan terhadap Anak pada 21-22 Mei: Dipukul, Disundut, Direndam
Ilustrasi: Jejak kekerasan polisi terhadap anak dari Aksi Bawaslu, 21-22 Mei 2019. tirto.id/Nadya

tirto.id - Pontang-panting mendatangi sejumlah rumah sakit, Kantor Polsek dan Polres Jakarta Barat, hingga ke direktorat kriminal umum dan narkoba Polda Metro Jaya, Nana dan suaminya menemukan anaknya ditahan di bawah wewenang Subdirektorat Reserse Brigade Mobil Polda Metro. Andika, berusia 16 tahun dengan muka bengep dan tubuh lebam-membiru, berada satu ruangan dengan orang-orang dewasa, yang dikumpulkan dan dituduh polisi sebagai "perusuh" dalam aksi Bawaslu, 21-22 Mei.

“Saya sampai enggak mengenali anak saya sendiri,” kata Nana kepada Tirto, CNNIndonesia TV, dan Jaring.id yang melakukan kolaborasi untuk liputan ini.

“Hidungnya berdarah. Di kepalanya, darahnya ngucur.”

Ada luka seperti bekas pecutan di bagian belakang tubuh Andika. Nana mendekap erat putranya. Andika memohon maaf berkali-kali, meminta ibunya tak lekas pulang.

Dua hari kemudian, masih dengan luka segar di tubuhnya, Andika "dititipkan" oleh Bripka Maruli dari petugas Unit 2 Reserse Brimob Polda Metro ke Balai Rehabilitasi Sosial Anak Handayani. Panti di bilangan Bambu Apus, Jakarta Timur, ini menampung anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus.

Di Panti itu juga ada Dimas, 14 tahun, yang diancam disetrum oleh polisi; Heru, 17 tahun, yang pinggangnya nyeri dan lecet akibat ditangkap dengan diseret di aspal oleh polisi; Rudi, 17 tahun, yang terluka di ubun-ubun kepalanya; dan Tama, 17 tahun, yang pinggang kanannya terluka akibat peluru karet.

Jejak Kekerasan

Panti Handayani menampung sedikitnya 62 anak—artinya berusia di bawah 18 tahun—yang "dititipkan" dari Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Barat; dua institusi kepolisian Indonesia yang menangani ratusan orang yang ditangkap setelah aksi di Gedung Bawaslu berakhir bentrok dengan polisi usai KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019 dimenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Bentrokan pada Selasa dini hari hingga Kamis pagi, 21-23 Mei, itu berbuntut 9 orang tewas, tiga di antaranya anak-anak. Ada 893 orang luka-luka. Sekitar 257 orang ditetapkan tersangka dan dituding polisi sebagai "perusuh".

Ratusan orang yang terluka, atau mereka yang tewas atau meninggal dalam perawatan, dilarikan ke 11 rumah sakit, paling banyak di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan yang menangani 196 pasien dan RS Budi Kemuliaan yang merawat 187 pasien.

Dari jumlah itu, ada 87 orang terkena luka tembak (tidak dijelaskan apakah oleh peluru tajam atau peluru karet); 35 orang di antaranya mengalami trauma berat; 19 di antaranya masih anak-anak.

Kolaborasi Tirto, CNNIndonesia TV, dan Jaring.id mendatangi Panti Handayani dan bertemu tujuh anak yang diduga kuat mengalami penyiksaan oleh polisi. Didampingi petugas di Handayani dan Lembaga Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LBH PAHAM), kami menggali cerita mereka selama dua hari dan menguatkannya dengan beberapa foto yang merekam bekas luka di tubuh mereka.

Andika, yang ditemui orangtuanya di Polda Metro Jaya, berkata ia diseret oleh dua polisi tanpa seragam di dekat Rusun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lalu dibawa ke Gedung Bawaslu di bilangan Thamrin. Di lokasi terakhir itu polisi-polisi memukulnya—"ada lebih dari 20 polisi"—dengan tangan kosong, pentungan, gagang senjata laras panjang, hingga ditendang dengan sepatu laras.

"Sampai Polda [Metro], digebukin dulu di lantai pertama,” katanya. Setelahnya, ia dibawa ke Ruang Unit 2 Reserse Brimob untuk diperiksa. Di sini ia dipukuli lagi.

Rudi, yang menjadi korban penangkapan paksa, diciduk selagi menonton bentrokan di dekat kedai Starbucks di Skyline Building, sekitar 400 meter dari Gedung Bawaslu. Ia merasa aman karena melihat ada banyak satpam di sekitarnya. Namun, polisi merangsek mendekati lokasinya. Ia diseret ke areal Gedung Bawaslu. Di situ ia dipukuli oleh para polisi. Bajunya dicopot paksa hingga robek.

Rudi masih menerima kekerasan dari polisi yang melintasinya, lalu personel lain melakukan hal serupa, dan personel lain berbuat hal sama. Tujuannya terlihat main-main tapi menyakitkan. Mereka mendatangi Rudi dan menggebukinya.

“Di matanya, kepalanya, bibirnya,” ujar seorang pekerja sosial di Panti Handayani menerangkan jejak luka yang dialami Rudi. “Hampir semua [badan]."

Heru menahan nyeri saat diinterogasi di ruangan Polda Metro Jaya. Dadanya ditendang dan dipukul berulangkali. Ia tak kuasa melawan karena melihat korban lain berani menjawab "malah parah dipukulinya."

"Jadi saya diam saja," kata Heru.

Ia disuruh mengepel lantai Reserse Brimob Polda Metro, lalu pergi ke kamar mandi. Di situ ia muntah darah.

Tubuh Dimas gemetar saat proses interogasi. Seorang polisi menyorongkan ujung kabel putih ke arahnya. Pangkal kabel itu dicolokkan ke arus listrik. Ia diancam akan disetrum. Ia berjalan jongkok. Ditendang. Dipukuli.

"Kepala digetok pakai HP tebal," katanya.

Tama, juga korban penangkapan paksa, dibawa ke Polsek Metro Gambir. Ia direndam di kolam ikan bersama sekitar 30 orang lain selama empat jam. Ketika dibawa ke dalam sel, karena tak kuasa lagi menahan sakit, ia memperlihatkan pinggang kanannya yang terluka peluru karet. Bukannya menuai iba, seorang polisi malah menendang luka itu. (Kapolsek Metro Gambir AKBP Yohanes membantah ada tindak kekerasan tersebut saat dikonfirmasi oleh kami.)

'Menanggung Trauma'

Kolaborasi Tirto, CNNIndonesia TV, dan Jaring.id mencocokkan pengakuan anak-anak itu dengan temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dua lembaga ini melakukan pemeriksaan kesehatan dan wawancara riwayat kesehatan atau anamnesis terhadap 41 anak di Panti Handayani pada 14 Juni 2019. Hasilnya, anak-anak ini diduga kuat mengalami kekerasan oleh polisi.

Ada enam anak menderita nyeri di dada, punggung, dan kepala; dua anak disundut bara rokok; satu anak mengalami pendarahan di hidung; dan satu anak kepalanya dipukul staples besar.

Ketua Satgas Perlindungan Anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia Eva Devita Harmoniati, seorang dokter spesialis anak, menjelaskan nyaris seluruh anak-anak ini terkena pukulan benda tumpul. Dari kepala, punggung, perut, dada, hingga kaki.

Dugaan terkuat, ujar Eva kepada Kolaborasi, luka itu diakibatkan hantaman "sepatu, tongkat polisi, dan ujung laras senapan.”

Penanganan yang seharusnya dilakukan oleh otoritas berwenang adalah membawa anak-anak ini ke rumah sakit untuk visum, bukan menghalang-halangi akses medis dengan dalih menghambat proses pemidanaan, menurut Eva.

Anak-anak itu juga perlu pendampingan psikologis secara intensif hingga dikembalikan ke orangtuanya, ujar Eva. “Karena kita tidak tahu ... trauma psikis itu biasanya muncul belakangan, tidak pada saat-saat awal."

Sebagian anak -anak juga mengalami trauma dengan sosok polisi dan senjata, ujar Sitti Hikmawatty, komisioner bidang kesehatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Dari pendataan terhadap 58 anak yang ditangkap polisi, menurut hasil evaluasi antara KPAI, Polri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Sosial pada akhir Juni lalu, sekitar 44 anak pergi ke area aksi Bawaslu—apakah terlibat atau sekadar menonton—tanpa diketahui oleh orangtuanya. Sekitar 35 anak putus sekolah.

Anak-anak itu, sebagian didorong oleh rasa ingin tahu, mendatangi wilayah kericuhan, dipengaruhi suasana emosional yang dalam usia anak adalah tahap mencari jati diri yang lazim.

Kekerasan Polisi 'Melebihi Batas Wajar'

Kami menduga bahwa anak-anak yang ditangkap polisi ini tidak mendapatkan hak pendampingan secara memadai. Mereka tak mengenal apa itu berita acara pemeriksaan. Mereka baru pertama kali berurusan dengan polisi atas tuduhan berbuat pidana. Mereka meneken begitu saja hasil proses pemeriksaan.

Hikmawatty dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia berpendapat perlakuan polisi terhadap anak-anak ini "terlalu berlebihan," yang diinterogasi dalam tekanan atau diiringi tindak kekerasan.

“Banyak yang dipukul dulu, baru ditanya,” katanya. Seharusnya anak-anak ditangani oleh para penyidik dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak.

Anak-anak di areal kericuhan, siapa pun dia, harusnya dibawa ke zona khusus yang aman, ujar Hikmawatty, sesuai undang-undang sistem peradilan pidana anak. Namun, “Saya tidak melihat protokol itu dalam kepolisian. Mudah-mudahan saya salah.”

Karena bukan sebagai pengambil kebijakan, menurut Hikmawatty, anak berada dalam posisi yang pasif dan sangat mungkin menjadi "korban dari pola asuh, pergaulan, dan lingkungan". Menurutnya, ada individu berusia dewasa yang memanfaatkan mereka.

Maka, ujarnya, "Anak jangan dianggap sebagai musuh."

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mendorong Polri melakukan pendalaman atas kasus kekerasan terhadap anak. Namun, selama dua bulan setelah peristiwa kekerasan di Bawaslu akibat politik polarisasi Pilpres 2019, Komisi menilai polisi belum serius menerapkan sanksi disiplin terhadap kasus tersebut.

“Saya sampai hari ini belum terima evaluasi dari Irwasum Mabes Polri,” ujar Hikmawatty menyebut Komjen Moechgiyarto, ketua tim gabungan untuk penyelidikan peristiwa bentrok 21-22 Mei.

Polisi: 'Menunggu Temuan'

Ihwal dugaan polisi mengabaikan prosedur saat menangani anak-anak dari ricuh Bawaslu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menolak menjawab. Ia meminta kami menanyakan ke Kepala Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.

“Temuan [penanganan di luar prosedur] yang mana? Kami tunggu dulu temuannya,” kata Argo kepada Kolaborasi pada 19 Juli.

Argo berkata proses hukum terhadap anak sudah selesai. Pernyataan serupa datang dari Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono.

“Kami melakukan proses diversi. Sudah tuntas semua,” ujar Gatot, menyebut pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana terhadap anak-anak yang ditangkap polisi.

Gatot berkata seluruh penyidikan terhadap anak terkait peristiwa 21-22 Mei telah ditangani secara profesional. Ia juga berkata jika ada kasus anak ditangani di luar Unit Perlindungan Perempuan dan Anak tapi "tetap di bawah koordinasi unit" tersebut.

Pada 5 Juli, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo dan Kombes Argo Yuwono menampilkan data anak-anak yang ditangkap polisi. Ada 74 anak yang diklaim “diduga tersangka kerusuhan usia anak”. Padahal, undang-undang sistem peradilan pidana anak tidak mengenal istilah “tersangka anak”.

Infografik HL Indepth Merehabilitasi Anak-Anak

Infografik Jejak kekerasan terhadap anak dari aksi Bawaslu, 21-22 Mei. tirto.id/Lugas

Anak Menjadi Korban tapi Diancam Pidana

Kami mendatangi Polda Metro Jaya pada 19 Juli. Ada setidaknya lima anak yang masih dalam proses diversi.

Riki Martim dari LBH PAHAM Indonesia yang mendampingi kasus ini berkata anak-anak ini dijerat pidana karena dituding melakukan kekerasan secara bersama-sama. Proses pemidaannya lewat laporan pengaduan model B—dari masyarakat. Anak-anak itu dituduh berbuat pidana dalam hal polisi, notabene institusi yang punya akses pada perangkat keamanan negara, menganggap diri sebagai korban.

Anak-anak ini semula dijerat pasal berlapis: menghasut untuk berbuat pidana (160), kekerasan melawan pejabat (212), dan kekerasan secara bersama-sama (170). Namun, setelah pemeriksaaan lanjutan, polisi memakai pasal terakhir.

Proses diversi di tahap penyidikan gagal. Polisi mengaku memaafkan tapi tetap meminta proses hukum berlanjut.

Ancaman pidana terhadap anak-anak ini, berdasarkan kerugian korban, adalah 7 tahun penjara jika merusak barang atau mengakibatkan luka-luka; 9 tahun jika mengakibatkan luka berat; 12 tahun jika mengakibatkan kematian.

“Katanya tameng polisi rusak," ujar Martim. Menurutnya tudingan ini perlu diuji secara serius: Benarkah anak-anak ini yang menimpuk [tameng] polisi mengingat kondisi di lapangan sangat rusuh?

Ia menilai proses diversi sekadar pemanis dari polisi, tak sesuai dengan semangat undang-undang sistem peradilan pidana anak.

Menurut Martim, seharusnya anak-anak ini diberikan sanksi "dibina" atau "dikembalikan ke orangtua" atau dituntut "ganti rugi."

Sebaliknya, tindakan brutal polisi terhadap anak-anak harus diproses secara serius.

“Mereka adalah korban dari kekerasan dan pelanggaran HAM. Kami punya bukti anak ini dipukuli. Bekasnya masih ada,” ujar Martim, yang akan melaporkan kasus ini ke Komnas Hak Asasi Manusia serta ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

Kepala Panti Handayani Neneng Hariyani berkata anak-anak yang ditampung panti adalah "korban" dari peristiwa 21-22 Mei. Kondisi jiwa mereka masih labil dan dalam pengaruh orang lain.

“Mereka belum paham dampak merugikan,” ujar Neneng kepada Kolaborasi, pekan lalu.

Nana, ibunda Andika, merasa cemas jejak kekerasan terhadap putranya bakal berakibat trauma panjang.

“Yang saya khawatirkan ketika dia kembali ke teman-temannya ... apakah dia bakal ceria kayak dulu?”

=======

Kami mengubah nama anak dan orangtua untuk keamanan. Laporan ini adalah kolaborasi antara Jaring.id, CNNIndonesia TV, dan Tirto.id. Dari Jaring: Abdus Somad dan Debora Blandina Sinambela. Dari CNNIndonesia TV: Aprilyanti Sirait (assignment editor), Devi Fitriana (jurnalis foto), dan Joni Aswira (field producer). Dari Tirto: Adi Briantika, Dieqy Hasbi Widhana, dan Restu Diantina Putri.

*Ralat: Ada penyebutan keliru 'Resimen Brimob' yang seharusnya 'Reserse Brimob', akronim untuk Resmob. Ralat sudah diperbaiki.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana, Jaring.id & CNNIndonesia TV
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam