Menuju konten utama

Kekerasan Seksual di Dewas BPJS-TK: Keberanian Amel adalah Lilin

Ia berani bicara setelah dua tahun mengalami pelecehan dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh bosnya.

Kekerasan Seksual di Dewas BPJS-TK: Keberanian Amel adalah Lilin
Ilustrasi Pelecehan Seksual di Kantor. tirto.id/Lugas

tirto.id - Ia telah berani terbuka tentang kekerasan seksual yang dia terima dari atasannya. Ia berani tampil di muka publik. Ia bicara di depan kamera televisi, berani menampilkan diri.

Meski begitu, nyaris dua bulan sejak ia membuka diri untuk bicara pada akhir Desember tahun lalu, apa yang dihadapi adalah orang-orang yang tak tersentuh hukum. Dan sejak ia memutuskan bicara, ia tak menduga ia menerima banyak dukungan. Ia merasa ia tak sendirian.

Ia adalah perempuan yang kau bisa lihat tengah berbicara menelan emosi di depan para wartawan, awal tahun ini, di sebuah kantor Partai Solidaritas Indonesia, partai baru dalam Pilpres 2019 yang vokal menyuarakan penghapusan kekerasan seksual dan mendorong draf legal atas masalah ini segera disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Tapi kau mungkin tak menduganya bahwa ia adalah perempuan yang sama yang mencoba bunuh diri, dua bulan sebelumnya.

Awal November 2018, di sebuah apartemen tempatnya tinggal, ia menenggak segala macam obat—paracetamol, mefinal, antibiotik, apa pun—yang menyebabkannya overdosis dan berakhir di ruang gawat darurat Rumah Sakit Atma Jaya, daerah Penjaringan, Jakarta Utara.

“Saya harus survive dengan cara saya sendiri. Dalam dua tahun, saya berulangkali berhasil melepaskan diri dari jeratannya, tetapi saya tidak bisa menggagalkan sehingga terjadi sampai empat kali upaya pemaksaan hubungan seksual,” Rizky Amelia, 27 tahun, mengisahkan perbuatan mesum bosnya, Syafri Adnan Baharuddin, 59 tahun.

Di apartemennya di kawasan Jakarta Utara, sejak terjaga pagi itu hingga tengah hari, Amel membiarkan dirinya murung. Televisi menyala, suaranya bising, tapi perhatiannya tertuju pada kotak P3K di salah satu sudut ruangan. Segala yang dipikirkannya adalah kekusutan.

Amel tak tahu obat apa saja yang ditelannya; ia memotretnya untuk dikirim ke salah satu rekan kerja yang ia percaya.

Ia menelepon ibunya, “Maafin Kiki, ya, Mama. Kiki sayang Mama.”

Sang ibu panik. “Halo … Kiki kenapa?”

Tak ada suara. Yang didengarnya bukan suara Kiki—panggilan ibunya untuk Amel—tapi suara bising televisi.

Maka, secepat kasih ibu, dari rumahnya di Tangerang, sang ibu segera memesan taksi online. Setiba di sana, bersama rekan kerja putrinya, ibu Amel segera membawanya ke rumah sakit.

Dokter mengeluarkan racun obat dari tubuhnya melalui selang yang dipasangkan ke hidung. Amel menolak, dalam keadaan setengah sadar, hanya ingin segera mati. Namun, ia masih bisa selamat. Dokter menyarankan kepada ibu Amel agar putrinya harus ditemani untuk sementara waktu.

Amel dibawa pulang ke rumah orangtuanya. Saat itu para tamu berdatangan. Sejumlah orang duduk di sana, termasuk ayah dan ibu Amel. Termasuk pula Syafri Adnan Baharuddin. Mereka menanyakan apa yang menyebabkan Amel melakukan percobaan bunuh diri.

“Saat itu Amel ngakunya karena tertekan ngerjain tesis,” kata Amel, menyebut nama dia sendiri sebagai kata ganti orang pertama kepada saya, di rumah orangtuanya, Februari lalu.

Orangtuanya sampai saat itu tidak tahu apa yang membuat anak semata wayangnya melakukan tindakan nekat seperti itu. Mereka tak tahu bahwa Syafri Adnan Baharuddin—atasan Amel tempat putrinya bekerja sebagai sekretaris pribadi—adalah pangkal tindakan Amel melakukan upaya bunuh diri.

Saya Malu untuk Bercerita

Amel tidak berani berkata kepada orangtuanya bahwa Syafri telah berkali-kali melakukan upaya kekerasan seksual—mengirim teks mesum, mengajak berhubungan seksual, merayu, marah-marah karena Amel menolak keinginannya.

Tempatnya bekerja sebagai sekretaris pribadi di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerjaan impian.

Pacarnya, bernama Teza, berkata kepada saya bahwa selepas lulus dari Mercubuana, Amel telah pindah empat kali pekerjaan, termasuk di salah satu anak perusahaan Pertamina. Ia memutuskan tetap di Jakarta karena beberapa perusahaan itu pindah ke luar Jawa.

Ia mencari pekerjaan baru. Berawal dari berselancar di Kaskus, Amel menemukan tawaran pekerjaan di Dewas BPJS-TK sebagai asisten ahli dengan upah Rp9 juta/bulan.

Ia melamar dan dipanggil untuk wawancara. Orang yang menerimanya secara pribadi adalah Syafri sendiri.

“Tak banyak yang ditanyakan, justru Syafri lebih banyak bercerita tentang dirinya,” kisah Amel kepada saya. Ia bekerja dengan posisi itu sejak Mei 2016.

“Kiki senang banget karena mau kerja di BUMN. Dia senang karena ada beasiswa, ada perjalanan dinas. Soalnya Kiki seneng keliling-keliling, suka jalan-jalan,” kisah ibu Amel di rumahnya, minggu kedua Februari lalu.

“Yang saya senang, ada beasiswanya. Saya enggak mampu lagi buat sekolahin. Sedangkan dia anaknya pintar, buat nuntut pendidikan [itu] senang banget, saya senang,” tambahnya.

Teza berkata kepada saya bahwa Amel punya karakter yang serius, “suka baca, bukunya banyak” dan “bisa romantis”. Kenyataan Amel kemudian studi pascasarjana di Universitas Pelita Harapan membuktikan tekad belajarnya.

Pada pekerjaan barunya, Amel ternyata hanya menerima gaji Rp7,5 juta/bulan. Syafri memberi tambahan Rp2,5 juta, melebihi gaji Rp9 juta yang dijanjikan, walaupun di tengah pekerjaan, Amel akhirnya menolak karena “semula menyangka murni kebaikan hati dan tanggungjawabnya, tapi ketika ia melakukan tindak kekerasan seks, Amel menyadari ada tujuan dan maksud lain dari pemberian itu.”

Ia mengisahkan perlakuan Syafri yang semakin janggal, mulai suka menyentuh tangan atau memintanya berciuman. Ini dilakukannya secara berulang.

Puncaknya pada 23 September 2016 dalam perjalanan dinas Dewas BPJS-TK ke Pontianak saat Syafri memaksa Amel untuk berhubungan seksual. Amel menyebut pemaksaan seksual ini terjadi di tiga tempat lain.

Amel telah mengupayakan sejumlah cara secara langsung maupun lewat pesan WhatsApp, agar atasannya berhenti melakukan keinginan seksual. Syafri beberapa kali meminta maaf dan mengatakan hubungannya akan sebatas seperti “kakak-adik”. Namun, Amel mengatakan bahwa Syafri tetap melakukannya kembali.

Titik terendah saat Syafri meminta Amel untuk “melayaninya” secara seksual setidaknya sebulan sekali. Peristiwa ini yang mendorong Amel melakukan percobaan bunuh diri.

“Amel enggak mau. Amel bingung gimana komunikasiinnya, segala cara rasanya Amel coba. Cara halus udah, cara lantang juga sudah.”

Selama bekerja dua tahun di Dewas BPJS-TK, Amel mencoba untuk bertahan sendirian.

Ia telah melaporkan perilaku atasannya ke Dewas sejak pertama kejadian itu pada 2016, tapi “aduan Amel diabaikan”, ujarnya.

“Amel kalau di rumah berusaha kelihatan happy aja. Amel enggak mau orang sekitar Amel tahu. Amel juga malu,” katanya setelah menunjukkan koleksi bacaan novel kepada saya.

Amel sempat takut untuk kehilangan pekerjaan, “Memang akui Amel takut untuk melawan, Amel takut tidak akan ada yang percaya, Amel malu.”

Teza mengisahkan kepada saya bahwa Amel memang jarang bercerita masalah di kantor dan sering terlihat lebih diam setiap kali dijemput selepas dari perjalanan dinas.

“Saat dia pulang dinas atau apa, ada keadaan murung. Tapi, saat saya tanya, ‘Kenapa kamu?’, dia cuma jawab, ‘Capek’,” kisah Teza di salah satu kafe di Jakarta Utara, Januari lalu.

Pacarnya tahu, lewat pesan WhatsApp, Syafri memakai ucapan “sayang” kepada Amel atau Amel memanggil “Mas” kepada Syafri. Teza marah, menegurnya, dan cemburu.

“Jaga hubungan kerja supaya tetap profesional dan tetap dipandang di kantor,” katanya, menceritakan ulang kepada saya, “Karena kalau hubungan tidak profesional, maka orang bisa ngerendahin kamu di kantor.”

Amel berkata kepada Teza bahwa panggilan “Mas” adalah permintaan Syafri, dan jika tak dituruti, mood bosnya bisa berubah. “Kalau mood-nya berubah, nanti si Babeh enggak enak ngasih kerjaan, ngomel-ngomel enggak jelas.”

Ibu Amel berkata bahwa dari cerita putrinya, Syafri “suka marah-marah.”

Mereka pernah bertengkar gara-gara persoalan Syafri—karena sang ibu saat itu tak tahu duduk masalahnya.

Sampai saya bertemu ibu-anak ini pada pertengahan Februari lalu, ibu Amel belum bisa berhenti menangis, sampai-sampai Amel meminta mamanya untuk “tidak menangis” dan menjawab pertanyaan saya, membuat saya kikuk sendiri di tengah situasi emosional mereka.

“Kan dia juga pernah marah-marahin Kiki di sini, tapi Mama diemin aja,” ujar Amel di tengah perbincangan kami.

“Iya, Mama enggak tahu … Kiki belum cerita waktu itu.”

Mereka mengingat kejadian di rumah ini selepas Amel dibawa pulang dari rumah sakit.

“Syafri di sini malah marah, katanya Amel enggak bisa jaga kesehatan, enggak bisa manajemen waktu,” ujar Amel.

"'Ibu … susah diatur nih, susah diatur’,” kata ibu Amel, menirukan ucapan Syafri. “Aku iya-in aja, aku belum tahu kondisi Kiki waktu itu.”

“Kiki susah diaturlah kalau yang mau diatur tubuh Kiki,” timpal Amel.

Proses Pelaporan Amel ke Internal BPJS-TK

“Amel itu orangnya begitu, kalau kita push terus-terusan sampai limit dia, dia akan teriak. Makanya, apa yang terjadi di hari itu—28 November 2018—kepada Pak Syafri adalah akumulasi kemarahan yang sudah over. Karena selama dua tahun kerja, bukan pertama itu Amel cekcok dengan Syafri,” kisah Teza, pacar Amel.

Pada akhir November itu, Syafri Adnan Baharuddin marah kepada Rizky Amelia di kantor. Ia mendadak marah karena Amel tak menyiapkan paspor, sedangkan hari itu Syafri perlu melakukan perjalanan dinas.

Amel belum mengetahui informasi soal perjalanan dinas tersebut, karena sebagian pekerjaannya memang dialihkan ke asisten baru Syafri bernama Tiara.

“Itu puncaknya," ujar Amel. “Kalau sebelumnya Amel nolak, Amel nolak secara berturut-turut, dia emosilah [pada hari tersebut], sampai satu lantai itu kedengeran teriakannya.”

“Amel pikir, ada apa, kok sampai segininya? Amel curiga ini berakar dari penolakan-penolakan yang Amel berikan terus. Kenapa dia maksa dan mendominasi … seolah Amel bisa selalu dikendalikan? Dia katakan Amel enggak bisa kerja dan segala macam—alasan yang terus diada-adain.”

“Kenapa sampai segitu marah? Pasti, kan, ada sesuatunya,” tambah Amel.

Pada hari yang sama, Amel melaporkan langsung ke Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Guntur Witjaksono. Ia mengisahkan permasalahannya termasuk pemaksaan hubungan seksual.

“Setelah saya ceritakan semuanya, Guntur justru mengatakan, 'Kalau kamu sudah tidak kuat di sini, kamu bisa mengundurkan diri’,” ujar Amel.

Pada hari yang sama pula, dalam emosi yang meledak, Amel menyebarkan sejumlah screenshot percakapannya dengan Syafri di Whatsapp Story.

Selepas itu Amel baru bercerita kepada Teza.

“Mungkin batas kesabaran dia sudah selesai di situ. Setelah dia cerita soal pelemparan gelas, saya enggak percaya, saya tanya-tanya terus, saya tekan, sampai akhirnya dia teriak, ‘Saya sudah diperkosa sama Syafri’,” kisah Teza.

Teza terkejut dan langsung marah, “Loh kok … kapan? Di mana?”

“Saya enggak habis pikir kenapa bisa terjadi dan saya bisa enggak tahu,” ujar Teza. “Kenapa bisa terjadi seperti ini? Kenapa saya tahunya belakangan?”

Dari situlah Amel mulai terbuka, “Kamu tahu enggak alasan aku pergi siang?”

“Enggak tahu, kamu enggak pernah cerita apa-apa,” ujar Teza.

“Alasan aku pergi siang itu karena aku menghindari Syafri. Kalau aku berangkat pagi, kantor masih kosong, aku susah nolaknya. Aku nanti dilecehkan lagi. Kalau aku enggak mau, nanti ribut lagi, marah-marah lagi.”

“Lho … aku enggak tahu kondisi kamu di kantor kalau kamu enggak cerita,” ujar Teza, masih dalam keadaan syok.

Dua hari setelahnya, 30 November 2018, surat skorsing dilayangkan kepada Amel.

“Memperhatikan aktivitas unggahan/posting yang saudari lakukan di sosial media Whatsapp pada 28 November 2018, hal tersebut berpotensi menimbulkan pencemaran nama baik terhadap salah satu organ BPJS Ketenagakerjaan, karena setiap karyawan BPJS Ketenagakerjaan dilarang untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat yang dapat menurunkan citra, kehormatan dan martabat BPJS Ketenagakerjaan.”

Pernyataan itu tercatat dalam surat skorsing, disusul oleh “surat kesepakatan bipartit”—upaya halus pemutusan hubungan kerja terhadap Amel.

Jika menekennya, Amel akan mendapatkan gaji penuh hingga kontraknya berakhir pada April 2019 sebesar Rp37,5 juta, yang disebut dalam surat sebagai “bentuk tali asih.”

Surat ini juga memuat perjanjian bagi kedua pihak agar “sepakat untuk tidak melakukan tuntutan dalam bentuk apa pun di kemudian hari baik secara perdata, pidana, maupun pada pengadilan hubungan industrial.”

Tak cuma itu, Amel merasa disudutkan oleh rekan-rekan kantor.

“Amel sedih, karena yang menyudutkan Amel malah teman-teman kantor Amel sendiri yang selama ini sudah mendengar curhatan Amel, dan bahkan men-support Amel sebelum Amel di-PHK,” ujarnya kepada saya, pertengahan Januari lalu.

Amel disudutkan karena pelecehan seksual yang dialaminya disebut “suka sama suka, transaksional, memeras, dan mencari sensasi.”

Hingga pada suatu titik, Amel memutuskan untuk mengisahkan permasalahannya ke rekan tempat kuliahnya, Universitas Pelita Harapan, pada 1 Desember 2018.

Sarannya, termasuk dari Ade Armando, dosennya yang kemudian menggalang solidaritas bernama Koalisi Pembela Korban Kekerasan Seksual, menyarankan untuk mempublikasikan kasus itu ke media agar pihak terduga pelaku bisa mendapatkan tekanan dari publik, serta masalah ini dapat segera diusut ke ranah hukum.

Pada 28 Desember 2018, Amel berani tampil ke publik, dalam satu konferensi pers mengemukakan kasus kekerasan seksual terhadap dirinya. Dukungan mengalir bagi Amel—sesuatu yang tak disangka-sangka oleh Amel sendiri—termasuk dari Lokataru Foundation di mana Haris Azhar menjadi salah satu pendamping hukumnya.

Usai ada sorotan pemberitaan, sebuah undangan konferensi pers dari pihak Syafri Adnan Baharuddin, yang dikirimkan oleh rekannya di Dewas BPJS-TK, Poempida Hidayatulloh, disebarkan ke grup wartawan, pada 30 Desember 2018.

Dalam konpers itu, Syafri enggan berbicara mengenai percakapan mesum lewat WhatsApp, yang telah disimpan oleh Amel. Syafri menyebut pengakuan Amel sebagai “finah yang keji”.

“Saya paling anti kebohongan. Saya sudah 37,5 tahun sebagai PNS, 2 tahun 9 bulan di BPJS. Jadi 40 tahun mengabdi kepada negara. Untuk apa saya melakukan hal kecil ini?”

Syafri mengatakan ia mau mengundurkan diri dari Dewas BPJS-TK karena mau fokus dengan permasalahan ini.

Soal Amel bercerita kasusnya kepada Guntur Witjaksono, Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Guntur menuding Amel tidak menceritakannya secara utuh.

Guntur mengakui memang menawarkan Amel mengundurkan diri karena menilai “kasihan” kepada Amel yang bekerja di bawah Syafri.

“Orangnya [Syafri] memang pemarah,” ujarnya dalam konferensi pers di Semanggi, Januari lalu.

Guntur menyebutsexual harassment” antara Amel dan Syafi sebagai “masalah pribadi.” Ia menuding sorotan dari solidaritas kasus Amel terhadap Dewas sebagai upaya “politisasi”.

Tudingan Guntur dibantah oleh Amel. “Mana mungkin saya tertarik? Umur si pelaku [Syafri] 59 tahun, lebih tua dari ayah saya. Secara fisik tidak menarik dan memiliki istri dan dua anak. Bagaimana mungkin saya tega berhubungan dengan pria semacam itu?” ujar Amel pada awal Januari lalu.

Menelan emosi, di depan wartawan, Amel menolak rumor soal uang tambahan yang diberikan oleh Syafri kepada dirinya adalah bentuk hubungan “transaksional.”

“Dan bagaimana mungkin ada gadis muda seperti saya bersedia ditiduri oleh pria tua semacam itu dengan tambahan uang Rp2,5 juta/bulan? Saya bukan pelacur,” katanya.

Sampai-sampai ia berkata, “Tapi kalau memang saya berniat pelacur, saya tentu akan memasang tarif jauh lebih tinggi dari itu.”

Guntur mengklaim Dewas BPJS-TK tidak membela apa yang dilakukan Syafri, dan menyerahkan segalanya ke pengadilan. Namun, pernyataan ini berbeda dengan ucapannya dalam konferensi pers, “Tapi saya yakin enggak [terjadi pelecehan yang dilakukan Syafri] dan sebagainya.”

Poempida Hidayatulloh, rekan Syafri di Dewas BPJS-TK, bahkan sempat mengirimkan broadcast berupa esai panjang ke sejumlah wartawan tentang apa yang dilakukan Amel merupakan “persekusi” kepada Syafri. Pesan ini dipublikasikan dalam tiga seri tulisan oleh Rmol.co.

Infografik HL Indepth Pelecehan Seksual di Kantor

Infografik Kasus Pelecehan Seksual terhadap Amel di Dewas BPJS-TK

Cermin Kekosongan Hukum, Lilin bagi Kita

Kasus Amel kini masuk ke ranah hukum. Kedua pihak saling melapor ke kepolisian.

Kuasa hukum Amel melaporkan Syafri lewat pasal perbuatan cabul—akibat keterbatasan hukum pidana di Indonesia yang tak mengenal peristiwa kekerasan seksual—demi mendekati apa yang telah menimpa Amel.

Amel dilaporkan oleh kuasa hukum Syafri lewat pasal pencemaran nama baik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena telah menyebarkan materi percakapan Syafri via WhatsApp Story.

Heribertus S Hartojo, pengacara Amel, beralasan memakai pasal pencabulan karena "penyidik mengatakan perlu memilah pasal yang memiliki bukti kuat.”

“Pemerkosaan bisa dikatakan tidak mudah mengungkapkannya,” ujar Heribertus dalam satu diskusi di kantor PSI, awal Januari lalu. “Sedangkan pasal pencabulan yang kami gunakan adalah perbuatan cabul yang dilakukan pejabat terhadap bawahannya. Terduga pelaku melakukannya dengan fasilitas negara [ketika perjalanan dinas di hotel].”

Ratna Batara Munti dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menilai kasus pemerkosaan memang sulit diungkapkan dalam hukum pidana di Indonesia. Terlebih dengan permintaan sejumlah bukti yang membebankan korban, seperti visum untuk melihat apakah ada kekerasan atau tidak, atau bukti sperma yang tertinggal.

Pembuktian lain yang memberatkan adalah dibutuhkan saksi. "Ya mana mungkin terjadi pemerkosaan kalau ada saksi?" ujar Ratna.

Pengacara menjelaskan bagaimana hukum di Indonesia memang masih absen terhadap perlindungan korban kekerasan seksual.

“Bentuk kekerasan seksual yang diakui memang baru pemerkosaan dan pencabulan,” ujar Naila Rizqi Zakiyah dari LBH Masyarakat, awal Februari lalu, kepada saya.

“Sehingga enggak bisa mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan lain seperti pelecehan seksual atau kekerasan seksual online seperti yang dialami Baiq Nuril,” tambahnya.

“Kelemahan pembuktian ini yang dialami oleh Agni maupun Amel karena kekerasan seksual sudah lama terjadi,” ujarnya merujuk kasus mahasiswi di UGM.

Sampai kini, kedua laporan ini belum maju ke pengadilan.

Laporan Amel ke pihak Dewan Jaminan Sosial Nasional—induk BPJS—juga masih berbelit.

Syafri diberhentikan “secara terhormat” oleh Presiden Joko Widodo lewat sebuah keputusan pada 17 Januari lalu, justru ketika DJSN membentuk Tim Panel yang menyelidiki dugaan pelecehan seksual ini. Keputusan ini diambil sesudah DJSN memberi rekomendasi kepada Presiden Jokowi agar memberhentikan Syafri.

“Bacaan kami, DJSN memperlambat dan menghambat [proses penyelidikan dan hasil] dari Tim Panel, berharap Keppres keluar lebih dulu,” kata Haris Azhar dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, 19 Februari lalu.

Apa pun, Amel masih berdiri optimistis menghadapi orang-orang yang jadi tokoh publik dalam Dewan Pengawas BPJS-TK. Ia berharap DJSN menyatakan Syafri melakukan “pelecehan seksual”.

“Kalau laporan dia soal UU ITE, enggak apa-apa,” kata Amel, mengungkap keberanian. “Tapi buktikan dulu tuntutan Amel. Kalau hukum menegakkan keadilan, Amel yakin, dia bersalah.”

Saya teringat pada perkataan Ibu Amel di rumahnya, minggu kedua Februari lalu, atas risiko yang diambil anaknya. Ia berkata “malu” atas kekerasan seksual yang menimpa putri tunggalnya.

“Mama ngomong ke Kiki kalau aib itu kayak lilin, ngebakar dirinya sendiri, buat orang lain. Mama seneng Kiki berani, tapi sedih juga. Namanya anak satu-satunya, harapan. Dan belum tentu orang di sekitarnya mau mendapatkan cahaya dari lilin itu.”

=========

Baca juga artikel terkait KASUS PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Fahri Salam