Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Kekerasan pada Nakes yang Terus Berulang saat Pandemi COVID-19

Tenaga kesehatan di Garut, Jawa Barat mengalami kekerasan oleh keluarga pasien. Mengapa kekerasan pada nakes terus belurang?

Kekerasan pada Nakes yang Terus Berulang saat Pandemi COVID-19
Tenaga kesehatan merawat pasien COVID-19 di Rumah Sakit Umum (RSU) Dadi Keluarga, Kabupetan Ciamis, Jawa Barat, Senin (14/6/2021). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww.

tirto.id - Kekerasan terhadap tenaga kesehatan (nakes) saat pandemi COVID-19 terus berulang. Tak cuma memiliki risiko tinggi terpapar virus, para nakes juga memiliki risiko kekerasan fisik dalam menjalankan tugas penanganan COVID-19.

Kasus terbaru kekerasan terhadap nakes terjadi di Puskesmas Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada Rabu (23/6/2021) malam. Seorang perawat laki-laki berusia sekitar 25 tahun yang bekerja sebagai tenaga honorer di puskesmas tersebut dipukul oleh keluarga pasien yang ia rawat.

Peristiwa itu bermula saat seorang warga yang telah dinyatakan reaktif hasil tes antigen datang ke puskesmas tersebut.

“Pasien reaktif sudah diswab dua hari yang lalu, isolasi mandiri di rumah kemudian ada keluhan mau dijemput tim puskesmas, tapi keburu datang sendiri,” kata Kepala Puskesmas Pameungpeuk Tuti Sutiah kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Jumat (25/6/2021).

Karena perawat tahu bahwa pasien yang datang telah dinyatakan reaktif COVID-19, ia bergegas mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap sebelum sang pasien masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD). Namun setelah selesai mengenakan APD dan hendak membaringkan pasien di tempat tidur ia tiba-tiba dipukul oleh salah seorang anggota keluarga pasien.

“[Pemukulan] itu mungkin karena perawatnya lagi pakai baju APD terus menurut keluarga pasien itu lama pakai bajunya. Padahal itu kelihatan kan pakai bajunya juga susah dan harus dibantu temannya. Tapi [keluarga] tidak terima,” ujar Tuti.

Dalam sebuah rekaman video kamera pengawas berdurasi 24 detik yang beredar di media sosial, salah seorang keluarga pasien mengenakan jaket hitam menghampiri perawat lalu memukulnya, kejadian itu kemudian dapat dilerai oleh dua orang lain yang ikut masuk ke IGD.

Meski mendapatkan kekerasan fisik dari salah seorang keluarga, Tuti bilang sang perawat setelah itu tetap melakukan pelayanan memberikan perawatan dan memasang infus ke pasien. Namun sang perawat kata Tuti akibat kejadian tersebut memang mengalami luka.

“Kemarin sudah divisum. Saat kami tengok [kondisinya] masih sakit mengalami agak bengkak di bagian bawah telinga kiri. Sekarang masih diistirahatkan karena masih trauma,” kata Tuti.

Atas kejadian ini Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) langsung turun tangan. Ketua DPP PPNI Harif Fadhillah mengatakan telah memberikan pendampingan terhadap perawat yang menjadi korban pemukulan tersebut.

DPP PPNI, kata dia, mengutuk keras peristiwa pemukulan terhadap perawat yang sedang menjalankan tugasnya. Sejumlah kasus serupa pernah terjadi dan ditindaklanjuti dengan proses hukum, pun demikian dengan kasus di Garut bila korban bersedia maka DPP PPNI kata Harif akan memberikan pendampingan.

“Jika ingin proses hukum kita siap mendampingi dan memfasilitasi,” ujar Harif kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon, Jumat (25/6/2021).

Ketua Satgas COVID-19 DPP PPNI Jajat Sudrajat juga mengecam kekerasan kepada perawat yang terjadi kesekian kalinya selama pandemi. Dewan Pengurus Daerah (DPD) PPNI Garut kata Jajat saat ini sedang melakukan pendampingan terhadap korban.

Jejak Panjang Kekerasan & Pentingnya Perlindungan

Berdasarkan catatan Tirto, sepanjang pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung 15 bulan ini, selain kasus di Garut setidaknya ada lima kasus kekerasan terhadap nakes lainnya yang menonjol. Pertama terjadi pada 9 April 2020, seorang perawat Klinik Pratama Dwi Puspita di Semarang, bernama bernama Hidayatul Munawaroh dipukul seorang pria yang tak terima karena diingatkan untuk menggunakan masker.

Pada 3 Mei 2020 kekerasan terjadi terhadap perawat RSUD Inche Abdoel Moeis Samarinda. Perawat tersebut dipukul oleh seorang pasien COVID-19 lantaran permintaannya untuk pulang tidak terpenuhi.

Selanjutnya pada 28 Juni 2020 terjadi penyerangan terhadap seorang perawat RSUD Dr M Haulussy Ambon oleh keluarga pasien meninggal COVID-19. Korban dipukuli keluarga pasien tanpa alasan jelas, dan diduga ada informasi sepihak yang berkembang bahwa pasien saat masuk RSUD tidak dirawat secara baik.

Pada 25 Juli 2020 kekerasan menimpa seorang perawat RSUD Sayang Cianjur. Pemukulan terhadap perawat di ruang ICU tersebut diduga dilakukan pelaku lantaran tidak terima dengan penjelasan perawat.

Kemudian pada 15 April 2021 penganiayaan juga terjadi seorang perawat di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang oleh keluarga pasien yang tak terima tindakan dan perawatan yang dilakukan terhadap pasien.

Sulfikar Amir, ahli sosiologi bencana asal Indonesia yang saat ini menjadi associate professor, School of Social Sciences Nanyang Technological University Singapura mengatakan masih adanya kasus kekerasan terhadap nakes di tengah pandemi ini menurutnya jadi salah satu indikasi terjadi krisis kepercayaan publik terhadap otoritas kesehatan.

“Jadi mereka tidak ada respect lagi dan bisa jadi ini adalah akumulasi dari kekecewaan terhadap situasi yang dialami oleh masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial,” ujar Sulfikar melalui sambungan telepon.

Masyarakat menurutnya sebagian merasa frustrasi dan mencoba bertahan. Ketika mereka berhadapan dengan satu situasi dimana harus tunduk terhadap otoritas kesehatan maka kemudian mereka akan melawan.

“Tapi memang situasinya sudah sangat rumit. Tingkat keparahan pandemi ini sudah sangat tinggi dan masyarakat tidak punya rujukan siapa yang bisa dipercaya, sehingga akhirnya satu-satunya cara bertahan adalah melawan. Itu adalah sifat alamiah dari setiap manusia,” katanya.

Namun yang jadi korban ini justru adalah nakes yang menjadi garda terdepan yang berhadapan langsung dengan masyarakat dalam penanganan pandemi. Bukan para pejabat seperti menteri, gubernur atau politisi.

“Nakes adalah yang memiliki risiko paling tinggi, bukan hanya risiko terpapar COVID-19 tapi perlakuan tidak mengenakkan dari masyarakat yang merasa hak mereka dirampas,” kata Sulfikar.

Oleh karena itu, menurut dia, otoritas keamanan penting untuk menjamin perlindungan terhadap nakes terhadap kerja-kerja yang mereka lakukan dari ancaman kekerasan fisik. Dan kasus kekerasan fisik terhadap mereka kata Sulfikar harus proses secara hukum.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz