Menuju konten utama

Kekerasan di Nusakambangan: Saat Kementerian Urusan HAM Langgar HAM

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh petugas Ditjen PAS menjadi ironi mengingat Kemenkumham adalah lembaga yang mengurusi hak asasi manusia.

Kekerasan di Nusakambangan: Saat Kementerian Urusan HAM Langgar HAM
ILUSTRASI. Lokasi Lapas Kelas I Batu yang berada di Pulau Nuskambangan, terlihat dari Segara Anakan Cilacap, Jateng, Minggu (22/1/2017). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Petugas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhum HAM) melakukan tindak kekerasan terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Kejadian itu terjadi pada Kamis, 28 Maret 2019 dan direkam dengan kamera video.

Belakangan, video tersebut menjadi viral di media sosial dan dikecam publik, mulai dari aktivis hak asasi manusia hingga Komnas HAM.

Dalam video tersebut, tampak sejumlah pria dengan borgol di tangan dan kepala ditutupi kaos berjalan jongkok menuju sebuah kapal. Beberapa di antara mereka ada yang terjatuh dan mendapat hadiah bogem mentah dari petugas lapas. Ada pula yang terjatuh dan kemudian diseret atau digotong paksa oleh petugas.

Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengecam kejadian tersebut. Menurut dia, ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh petugas Ditjen PAS tersebut. Hal itu menjadi ironi mengingat Kemenkumham adalah lembaga yang mengurusi hak asasi manusia.

“Sangat jelas terlihat bagaimana perendahan martabat manusia terjadi dalam video tersebut, tindakan brutal apa pun alasannya dilarang oleh hukum,” kata Choirul dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, pada Jumat (3/5/2019).

Menurut Anam, perlakuan petugas Lapas itu telah melanggar Konvensi Anti-Penyiksaan yang diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.5 tahun 1998. Dalam konvensi itu dibahas mengenai larangan memberi hukuman kejam yang merendahkan martabat manusia.

Kemenkumham melalui Kepala Bagian Humas Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto memberikan penjelasan terkait video itu. Ade mengatakan, institusinya telah memutuskan mencopot Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan yang berinisial HM, dan digantikan oleh Kepala Bidang Pembinaan Lapas Batu, Irman Jaya.

“Sudah dilakukan pemeriksaan kepada Kalapas Narkotika Nusakambangan dan 13 orang petugas. Saat ini, Kalapas Narkotika Nusakambangan, HM, telah dinonaktifkan dari jabatannya,” kata Ade saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (3/4/2019).

Ade mengatakan tindakan tersebut tidak terencana dan kemungkinan dipicu lambannya para narapidana tersebut merespons perintah petugas untuk segera menaiki kapal.

Selain itu, kata Ade, bisa saja hal itu merupakan shock therapy kepada narapidana agar tidak melakukan pelanggaran tata tertib selama di Lapas Nusakambangan.

“Tetapi tindakan tersebut tidak sesuai prosedur dan bertentangan dengan UU Nomor 12 tentang Pemasyarakatan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,” ujar Ade.

Nonaktifkan Saja Tidak Cukup

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI Muhammad Isnur pun sepakat dengan Choirul. Menurut dia, apa yang terjadi di Nusakambangan adalah pelanggaran HAM.

Untuk itu, kata Isnur, penanganan secara etik saja tidak cukup dalam masalah ini. Ia menilai para pelaku dalam penyiksaan tersebut harus ditindak lewat jalur hukum.

“Bukan hanya dipecat, tapi dilakukan penyidikan dan disidangkan. Harus ditegakkan hukum yang sama,” kata Isnur saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat.

Isnur menuturkan, pada 2010, ia pernah menemukan kejadian serupa. Para narapidana yang baru masuk ke lapas harus menjalani proses "ospek" yang juga melibatkan kekerasan.

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai kejadian itu mesti menjadi momentum reformasi lembaga pemasyarakatan. Menurut Anggara, selama ini lapas telah menjadi zona yang tertutup dari dunia luar. Hal ini tentu saja menjadi permasalahan.

“Karena dia dunia yang tertutup di lapas dan rutan itu, maka tanggung jawabnya makin besar guna memastikan orang-orang di dalam kekuasaan itu tidak menyalahi kekuasannya,” kata Anggara saat dihubungi reporter Tirto.

Berdasarkan data ICJR, sepanjang 2011 hingga 2017 terdapat 17 kasus kematian di lapas karena perkelahian atau pembunuhan, dan 63 kasus kematian di lapas akibat bunuh diri.

“Bunuh diri, kan, enggak tiba-tiba, pasti ada penyebabnya. Nah, itu, kan, treatment-nya [perlakuan] harus tepat. Yang kayak gini bisa jadi bukan yang pertama," kata Anggara.

Selain itu, kata Anggara, Ditjen PAS juga harus mulai memikirkan soal penanganan masalah psikologis di jajarannya dengan serius. Anggara mengatakan, selama ini pemerintah masih abai terhadap kesehatan psikologis petugas lapas.

“Padahal menghadapi napi itu, kan, pasti tingkat stresnya tinggi,” kata Anggara. “Sehingga agresifitas itu sangat mungkin muncul.”

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz