Menuju konten utama
14 Agustus 1945

Kekalahan Jepang, Desakan Para Pemuda, dan Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Republik Indonesia bukan hadiah dari Jepang. Mereka telah kalah telak sejak Hiroshima dan Nagasaki dihajar bom atom.  

Kekalahan Jepang, Desakan Para Pemuda, dan Kemerdekaan Indonesia
Ilustrasi Mozaik Jepang Menyerah Sekutu. tirto.id/Sabit

tirto.id - Salah satu babak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah periode tiga setengah tahun masa pendudukan Jepang (1942-1945). Singkat memang, tapi membawa pengaruh yang signifikan bagi perjalanan republik. Masa pendudukan yang pendek ini kelak bermuara pada beberapa peristiwa penting yang salah satunya adalah terbukanya jalan bagi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Jepang mulai masuk ke Indonesia pada 27 Desember 1941 setelah berhasil menguasai wilayah Kepulauan Tambelan di sekitar Laut Cina Selatan. Dua pekan berselang, yakni pada 11 Januari 1942, mereka mendarat di Tarakan dan Manado. Dua wilayah tersebut diduduki dengan serangan cepat yang membuat Belanda tidak berkutik.

Dalam rentang waktu yang hampir bersamaaan, Jepang juga berhasil menguasai Balikpapan pada 24 Januari 1942, Ambon pada 2 Februari 1942, dan Makassar pada 9 Februari 1942. Selain itu, mereka juga menguasai Palembang pada 15 Februari 1942 bersamaan dengan jatuhnya Singapura. Dengan demikian, daerah kaya minyak yang ada di Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan telah dikuasai Jepang seluruhnya (Wenri Wanhar, Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi (2014), hlm. 110-111). Ini adalah langkah penting sebagai bekal mereka dalam menghadapi perang di Pasifik yang memiliki arena tempur yang begitu luas.

Menghadapi kedatangan Jepang yang demikian cepat, menurut Maman S. Mahayana dalam artikel berjudul “Japanese Occupation Government Policy in Indonesia on Culture and Literature: a case study of Asia Raja Newpaper (1942-1945)”, secara umum terdapat tiga respons orang Indonesia dalam memandang kedatangan Jepang menggantikan kedudukan Belanda. Pertama, kelompok yang menyambut dan mendukung kedatangan mereka atas keberhasilannya mengusir Belanda dari Indonesia. Kedua, kelompok yang belum menentukan sikap antara mendukung atau menentang. Dan ketiga, kelompok yang sejak awal menentang kehadiran Jepang, walaupun mereka masih belum berani menunjukkannya secara langsung (hlm. 129).

Selain itu, Maman juga membagi orang yang menentang pendudukan Jepang ini dalam dua kelompok; (1) kelompok yang terdiri dari keluarga amtenar, kaum bangsawan, dan pegawai pemerintahan dalam struktur negara kolonial Hindia Belanda. (2) Golongan orang-orang pergerakan yang sejak awal menempatkan pemerintah Jepang sebagai kekuatan imperialis dan perwujudan fasisme baru menggantikan kedudukan Belanda.

Silang Pendapat Golongan Tua dan Muda

Jepang mulai mengalami banyak kekalahan di front Pasifik dalam menghadapi Sekutu. Juni 1944, Angkatan Laut Jepang kalah dalam pertempuran di Laut Filipina. Satu bulan kemudian, mereka kehilangan pangkalan angkatan laut di Saipan (Kepulauan Mariana), yang berakibat pada terjadinya krisis kabinet di dalam negeri. Perdana Menteri Tojo (1941-1945) meletakkan jabatannya. Ia digantikan oleh Jenderal Koiso Kuniaki (1944-1945).

Kekalahan demi kekalahan itu terus berlangsung hingga mencapai puncaknya pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945: Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu.

Peristiwa pengeboman tersebut menewaskan ratusan ribu warga. Jepang kemudian menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu. Beberapa sumber lain menyebutkan 15 Agustus 1945, ini muncul karena perbedaan zona waktu antara Jepang dan AS sebagai pusat kekuatan Sekutu di Pasifik pada waktu itu.

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat terjadinya kekosongan kekuasaan di Indonesia. Di satu sisi, Sekutu sebagai pemenang perang dan penguasa baru di wilayah jajahan masih belum datang. Dan di sisi lain, Jepang yang ada di wilayah republik sudah tidak memiliki kewenangan dan semangat untuk melakukan pendudukan.

Menyikapi kekosongan kekuasaan tersebut, terjadilah silang pendapat yang tajam antara golongan tua dan muda. Sukarno, Hatta, dan generasi tua lainnya ragu-ragu dalam menyikapi kekalahan Jepang. Mereka takut memancing konflik lebih jauh dengan pihak Jepang yang nantinya berakibat pada pertumpahan darah yang tak berkesudahan. Selain itu, Sukarno dan Hatta juga masih terikat janji dengan Jepang ketika mereka pergi ke Vietnam untuk dilantik sebagai etua dan wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sementara para pemimpin generasi muda menginginkan pernyataan kemerdekaan yang dramatis dan keluar dari bayang-bayang pemerintah pendudukan Jepang. Namun, tak seorang pun dari mereka berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta di sisi mereka. Hal ini bisa dipahami mengingat posisi Sukarno dan Hatta waktu itu begitu sentral dan kharismatik, tak hanya bagi kebanyakan orang Indonesia, tetapi juga di hadapan para tentara Jepang (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), hlm 443-444).

Perbedaan pandangan ini kelak menyebabkan peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 pagi ke Rengasdengklok oleh golongan pemuda. Dalih para pemuda dalam penculikan ini adalah untuk mengamankan Sukarno-Hatta jika terjadi pemberontakan oleh Peta dan Heiho di Jakarta. Akan tetapi, hal ini tidak pernah terbukti dan memang hanya akal-akalan pihak pemuda agar Sukarno dan Hatta mau ikut mereka ke Rengasdengklok.

Melihat gelagat yang mulai mencurigakan, Sukarno dan Hatta segera sadar bahwa ini merupakan siasat untuk memaksa mereka menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Keduanya tetap menolak paksaan para pemuda. Bahkan, sebagaimana ditulis oleh Haryono Rinaldi dalam artikel berjudul, “Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia”, ketika Sukarno diancam oleh Wikana—perwakilan pihak pemuda—yang mengatakan akan terjadi pertumbahan darah jika keinginan mereka tidak dilaksanakan.

“Soekarno bukannya takut justru balik menggertak dengan mempersilahkan para pemuda untuk membunuhnya saat itu juga. Soekarno juga mengatakan bahwa dia tidak mau memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu karena terikat dengan kedudukannya sebagai ketua PPKI, sehingga menurutnya soal proklamasi kemerdekaan harus ditanyakan kepada wakil-wakil PPKI” (hlm. 146).

Infografik Mozaik Jepang Menyerah Sekutu

Infografik Mozaik Jepang Menyerah Sekutu. tirto.id/Sabit

Situasi serba tegang ini segera berubah ketika Ahmad Subardjo—yang termasuk perwakilan golongan tua—bertemu dengan perwakilan dari golongan pemuda di Jakarta. Dalam pertemuan itu dicapailah kesepakatan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera dilaksanakan di Jakarta.

Tak lama setelah itu, Subardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, dengan diantar Jusuf Kunto (perwakilan dari pemuda) pergi Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno dan Hatta. Subardjo segera memberitahukan kesepakatannya dengan pemuda dan kondisi terkini yang sedang berlangsung di Jakarta kepada dwi tunggal republik.

Setelah mendengarkan informasi dari Subardjo, Sukarno dan Hatta segera kembali ke Jakarta untuk menemui Mayor Jendral Nishimura sebagai penguasa tertinggi militer Jepang di Indonesia. Pertemuan ini untuk menjajaki sikap Nishimura mengenai rencana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam pertemuan itu juga turut hadir Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penerjemah.

Sukarno dan Hatta menekankan kepada Nishimura bahwa Jendral Terauchi di Vietnam telah menyerahkan mandat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia kepada PPKI yang mereka pimpin. Oleh karena itu, melihat kondisi yang dialami oleh Jepang sekarang--menurut pandangan mereka--kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan.

Namun, Nishimura masih tetap menolak rencana proklamasi kemerdekaan karena menurutnya Jepang telah terikat pada janji untuk menjaga status quo di daerah yang didudukinya. Maka itu, Nishimura melarang Sukarno dan Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka melaksanakan proklamasi kemerdekaan.

Kebuntuan itu mendorong kepada keputusan bahwa kemerdekaan Indonesia memang harus ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri, terlepas dari bayang-bayang, izin, dan pengaruh Jepang yang telah kalah perang.

Baca juga artikel terkait PERANG PASIFIK atau tulisan lainnya dari Mustaqim Aji Negoro

tirto.id - Politik
Penulis: Mustaqim Aji Negoro
Editor: Irfan Teguh