Menuju konten utama
Impor Daging Ayam

Kekalahan Indonesia di WTO dan Polemik Impor Daging Ayam

Indonesia memutuskan untuk melonggarkan importasi daging ayam guna menjaga hubungan perdagangan internasional.

Kekalahan Indonesia di WTO dan Polemik Impor Daging Ayam
Pekerja memanen ayam broiler dengan sistem kandang tertutup atau close house di Peternakan Naratas Poultry Shop, Kampung Alinayin, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (28/6/2019). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/pd.

tirto.id - Polemik soal barang impor seolah tidak ada habisnya di era pemerintah Joko Widodo (Jokowi). Kebijakan impor pemerintah Jokowi dinilai kerap keliru, dan malah membuat lebar defisit neraca perdagangan.

Kebijakan yang menjadi sorotan di antaranya seperti kebijakan impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan, beras impor sempat masuk ketika stok gudang Bulog masih melimpah.

Ada pula kritik pada impor gula yang meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia pada 2017-2018. Impor jagung sebanyak 60.000 ton per Maret 2019 juga sempat menjadi polemik lantaran kesalahan data dari Kementerian Pertanian.

Tak hanya itu, kebijakan impor yang dikeluarkan juga sempat bersinggungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 9 Agustus 2019 lalu, KPK menangkap 11 orang terkait suap impor bawang putih.

Baru-baru ini, kebijakan impor pemerintah kembali disorot masyarakat. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melonggarkan ketentuan impor daging ayam dari Brasil seiring dengan rekomendasi dari World Trade Organization (WTO).

Rekomendasi itu merupakan buntut dari kekalahan Indonesia dalam gugatan Brasil ke WTO pada 2017 yang tak kunjung dilaksanakan karena berbagai alasan, termasuk terkait isu sertifikasi sanitasi dan halal.

"Tak ada pilihan lain untuk kami menyesuaikan seperti rekomendasi dari WTO," kata Enggar pada 7 Agustus 2019 seperti dikutip dari Antara.

Kebijakan itu lantas dikomentari masyarakat di media sosial. Kebanyakan responsnya negatif. Akun @panca66 misalnya, menuliskan bahwa "Makin berat peternak ayam lokal.” Ada lagi akun @nyolinyol yang berkomentar, "Kalah menang yg korban tetap rakyat, keberpihakan pemerintah dimana sebenarnya?"

Awan kelam tampaknya semakin menyelimuti industri peternakan unggas, terutama bagi para peternak mandiri. Pasalnya, sebulan sebelumnya, peternak ayam mandiri ini sempat protes ke pemerintah lantaran harga ayam di tingkat peternak ambruk sehingga peternak merugi.

Tak heran apabila peternak resah dengan pelonggaran impor daging ayam itu. Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) menilai masuknya impor ayam berpotensi membuat penyerapan daging di peternak lokal terganggu.

"Kami sudah sampaikan ke pemerintah, ini akan menghancurkan. Di peternak sekarang ini saja sudah setengah hidup. Asosiasi tidak setuju, kami prihatin," kata Sekretaris Eksekutif Pinsar Samhadi kepada Tirto.

Demi Neraca Perdagangan?

Lantas, mengapa pemerintah tetap memilih untuk melonggarkan ketentuan dalam importasi daging ayam tersebut? Dosen Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan Indonesia terpaksa untuk meratifikasi ketentuan importasi daging ayam lantaran sudah kalah dalam Sidang Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (DSB WTO).

"Kalau tidak diratifikasi, tentu akan ada sanksinya. Dari yang ringan sampai berat. Tapi yang paling penting, ini mengganggu hubungan internasional kita, terutama ketika membangun perjanjian dagang," kata Fithra kepada Tirto.

Belum lagi, jika negara-negara lain melakukan retaliasi dengan cara menyulitkan ekspor asal Indonesia masuk ke negara-negara bersangkutan. Tentu ini akan memengaruhi kinerja neraca perdagangan Indonesia yang kondisinya saat ini masih defisit.

Untuk diketahui, gugatan impor daging ayam itu bukan hanya dari Brasil saja, tetapi juga dari 18 negara seperti AS, Jepang, China, New Zealand, Norwegia, Vietnam, Paraguay, Taiwan, India, Australia, Argentina, Rusia, Kanada, Thailand, Oman dan Qatar, serta juga melibatkan Uni Eropa, sebagai pihak ketiga.

Menurut Fihtra, Indonesia sulit memenangkan gugatan Brasil tersebut lantaran data atau argumen yang dipakai oleh Indonesia sebagai negara yang digugat itu subjektif dan sulit dibuktikan. Misal, dari sisi kesehatan atau lingkungan, karena standar di masing-masing negara bisa berbeda.

Apa yang dikatakan Fithra sejalan dengan laporan dari Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau United States Agency for International Development (USAID). Dalam artikel USAID berjudul "Nontariff Barriers To Trade" (PDF; hlm. 1) disebutkan bahwa jika hambatan non-tariftermasuk regulasi soal sertifikasidipakai untuk melindungi industri domestik, negara yang menerapkan hambatan tersebut memiliki kemungkinan kalah yang tinggi dalam persengketaan di WTO.

"Kekalahan Indonesia ... menunjukkan betapa lemahnya tim negosiator kita atau tim assesment kita di forum internasional. Ini perlu ada reformasi karena hasilnya jelek sekali,” tutur Fithra.

Oleh karena itu, keputusan untuk meratifikasi ketentuan importasi daging ayam dinilai lebih baik. Apalagi, dampak dari pelonggaran ketentuan importasi daging ayam juga tampaknya tidak begitu signifikan terhadap industri perunggasan nasional.

Infografik Ayam Ras Indonesia

Infografik Ayam Ras Indonesia. tirto.id/Nadya

Berdasarkan data Comtrade, volume impor daging ayam di Indonesia sepanjang 2018 'hanya' sebanyak 76,4 ton. Volume tersebut senilai USD31,07 juta atau setara dengan Rp443 miliar (asumsi Rp14,255 per dolar AS).

Volume impor daging ayam tersebut juga hanya sekitar 0,004 persen dari total produksi ayam ras dalam negeri sebanyak 2,14 juta ton per tahun. Jumlah impor daging ayam juga jauh lebih rendah ketimbang impor daging sapi yang mencapai 161.000 ton.

Meski begitu, pemerintah tetap perlu waspada dengan impor daging ayam ini. Pasalnya, dalam tiga tahun terakhir, tren permintaan volume impor daging ayam di Indonesia tumbuh signifikan.

Pada 2015, volume impor daging ayam tercatat sebanyak 5,44 ton. Pada 2018, volume impor daging ayam sudah menembus 76,4 ton. Rata-rata pertumbuhan volume impor daging ayam mencapai 236 persen per tahun.

"Dampak ke industri nasional mungkin tidak besar, karena memang volumenya tidak besar juga. Tapi tetap, perlu juga ada mitigasi terkait dampak pelonggaran impor daging ayam itu ke depannya," jelas Fithra.

Baca juga artikel terkait IMPOR AYAM atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara