Menuju konten utama

Kejatuhan dan Kebangkitan Persija Jakarta

Piala Presiden memang hanya turnamen pramusim, namun untuk berbagai alasan saat ini Persija layak berpesta.

Kejatuhan dan Kebangkitan Persija Jakarta
Presiden Joko Widodo (kanan) menyerahkan piala kepada pemain Persija Jakarta Bambang Pamungkas (kiri) dan Ismed Sofyan (tengah) usai laga final Piala Presiden melawan Bali United di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (17/2). Persija berhasil menjadi juara setelah menang dengan skor 3-0. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pd/18

tirto.id - Penantian panjang selama 17 tahun akhirnya terjawab sudah. Malam tadi, Persija Jakarta kembali menjadi kampiun. The Jakmania pun berpesta pora.

Diiringi tetabuhan gendang dan kibaran bendera, nyanyian dan teriakan, euforia itu tak terbendung ketika mereka menyerbu lapangan sewaktu para pemain Persija melakukan victory lap. Di luar stadion, hal serupa juga terlihat. Wajah-wajah sumringah dan tangis bahagia menjadi tema malam kemarin. Juga perasaan tak percaya. Ucapan bahkan teriakan “akhirnya juara lagi” atau kalimat-kalimat sejenis beberapa kali terdengar jelas.

Terakhir kali Persija meraih gelar juara liga terjadi pada 2001. Mereka memang sempat menjadi juara Piala Emas Bang Yos pada 2004, namun gengsi turnamen itu jelas jauh dibanding gelar juara liga.

Piala Presiden sendiri sebenarnya bukanlah kompetisi resmi melainkan—seperti halnya Piala Emas Bang Yos—hanyalah turnamen pramusim. Kendati sama-sama turnamen pramusim, Piala Presiden jelas lebih bergengsi dibanding Piala Emas Bang Yos.

Pertama, peserta Piala Presiden jauh lebih banyak ketimbang peserta Piala Emas Bang Yos. Peserta Piala Presiden bisa dikatakan mewakili kepesertaan di Liga 1 yang merupakan kompetisi resmi. Kedua, sejak digelar pertama kali pada 2015, Piala Presiden memang "dirancang" sebagai turnamen "serius" yang, saking seriusnya, membuat seorang Rene Robert Albert bahkan sampai mengusulkan agar diubah menjadi Piala Liga—macam FA Cup di Inggris atau Copa Dji Sam Soe bertahun-tahun silam.

Saatnya menapktilasi kejatuhan dan—akhirnya—kebangkitan Persija dalam beberapa tahun terakhir.

Mulai Tenggelam Sejak 2010

Semenjak menjadi juara Liga Indonesia ke-7 pada 2001 silam, tim berjuluk Macan Kemayoran belum pernah lagi mencicipi gelar di kompetisi tertinggi negeri ini. Di Liga Indonesia 2002, musim terakhir format liga menggunakan sistem pembagian wilayah barat dan timur serta sistem gugur, mereka hanya menempati peringkat ke-8. Di musim berikutnya pun mereka menempati posisi yang sama.

Padai musim 2004, Persija nyaris merengkuh mahkota juara. Saat itu ada tiga tim yang berpeluang menjadi juara. Persija Jakarta bersaing dengan Persebaya Surabaya, dan PSM Makassar. Penentuan juara sampai harus digelar di pertandingan akhir.

Klasemen sementara sebelum laga terakhir dipegang oleh Persija dengan raihan 60 poin, disusul Persebaya dan PSM dengan poin sama 58. Sayang, Persija takluk 2-1 oleh Persebaya di Stadion Gelora 10 November. Persija mengakhiri musim di posisi ke-3.

Pada musim Liga Indonesia 2005 capaian Persija bahkan lebih baik lagi. Diisi oleh banyak pemain berlabel timnas, termasuk pemain asing berkualitas macam Lorenzo Cabanas dan Urbain Roger Batoum, Persija di musim ini bukan saja hampir memenangkan juara liga, namun bahkan nyaris mengawinkannya dengan Copa Indonesia.

Sayang, lagi-lagi tim yang waktu itu ditangani pelatih kelahiran Moldova, Arcan Iuri, takluk di partai puncak. Di partai final Liga Indonesia, yang kembali menggunakan format dua wilayah, Persija ditaklukkan 3-2 oleh Persipura Jayapura. Sedangkan di partai puncak Copa Indonesia Persija ditundukan Arema 3-4.

Setelah musim 2004 dan 2005 yang luar biasa, Persija hampir tak pernah lagi menunjukkan peluang juara seperti itu. Di Liga Indonesia musim 2010/2011 Persija memang sempat menempati urutan ketiga di klasemen akhir. Namun mereka bukanlah kandidat juara karena peluang juara sudah tertutup jauh sebelum pekan terakhir. Hal itu tercermin dari raihan poin akhir. Persija meraih 52 poin bersama Arema, sedangkan Persipura mengoleksi 60 poin.

Memasuki dekade kedua abad 21, perlahan tapi pasti penampilan Persija semakin memburuk. Pada musim 2011-2012 sempat menduduki peringkat kelima di klasemen akhir. Pada musim 2012-2013, Macan Kemayoran bahkan hanya menduduki peringkat ke-11 klasemen akhir. Prestasi mereka sempat membaik yaitu menduduki peringkat kelima di klasemen akhir, namun saat itu kompetisi dihelat dengan model dua wilayah (peringkat kelima diraih untuk wilayah barat).

Musim 2014-2015 mereka hanya menempati peringkat ke-11. Namun catatan itu bisa diabaikan karena kompetisi yang saat itu bertajuk QNB League berhenti saat baru dimulai karena sanksi FIFA. Puncaknya, pada musim 2016, saat kompetisi diberi tajuk Torabika Soccer Championship, Persija hanya duduk di peringkat ke-14 di klasemen akhir.

Krisis Keuangan dan Terusir dari Jakarta

Prestasi yang menurun itu juga berbanding lurus dengan berbagai krisis yang mendera Persija. Setidaknya ada dua problem laten yang melanda Persija dalam beberapa tahun terakhir: krisis keuangan dan terusir dari Jakarta.

Krisis keuangan menjadi salah satu biang keladi keterpurukan prestasi Persija. Para pemain Persija mesti berkali-kali menghadapi penundaan gaji. Pada musim 2011/2012 dan 2012/2013, misalnya, Persija merupakan salah satu klub Liga Indonesia yang menunggak gaji para pemainnya sampai berbulan-bulan.

Situasi ini bahkan membuat Bambang Pamungkas (dan beberapa pemain lain) sempat menolak bermain sebelum tunggakan gajinya dibayarkan. Bepe tidak main-main untuk urusan ini. Dia menegaskan bahwa ia sangat mencintai Persija—dan tak ada alasan bagi Jakmania untuk meragukan loyalitasnya—namun baginya hak adalah hak. Dan keseriusan itu diterjemahkan dengan, salah satunya, melayangkan gugatan perdata kepada manajemen Persija ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2013 silam.

Peyelesaian yang berlarut-larut ini membuat Bambang Pamungkas akhirnya memilih hengkang dari Persija dan pindah ke Pelita Bandung Raya pada Desember 2013. Hal ini berdampak pula pada penampilan Persija. Di musim kompetisi 2013 itu Persija berada di urutan ke-11.

Selain problem kompetensi di level manajerial Persija, ada konteks lain yang perlu untuk digarisbawahi: pada tahun-tahun itu iklim kompetisi di Indonesia memang sedang goyah. Dimulai oleh dualisme kompetisi yang diikuti oleh dualisme kepemimpinan PSSI, banyak klub yang benar-benar kepayahan untuk melunasi gaji pemain. Dalam hal ini, sesungguhnya Persija tak sendiri.

Selain masalah gaji pemain, masalah yang kerap mendera tim ibukota ini adalah tidak lagi memiliki stadion yang bisa digunakan secara rutin sebagai kandang. Semenjak 1997 Persija menggunakan Stadion Lebak Bulus—sebelumnya mereka menggunakan stadion Menteng. Stadion Lebak Bulus memiliki arti penting bagi tim Macan Kemayoran. Stadion berkapasitas 12.500-an inilah yang mengiringi Persija menjadi juara pada Liga Indonesia 2001.

Infografik Prestasi Persija

Namun, sejak 2008 Persija sudah tidak diizinkan lagi menggunakan Stadion Lebak Bulus karena berbagai faktor. Pada 2015 Stadion Lebak Bulus bahkan resmi dibongkar terkait pembangunan MRT Jakarta.

Secara berkala, Persija kadang menggunakan Stadion Gelora Bung Karno. Ini pun sudah problematis karena, selain berstatus sebagai stadion nasional, GBK punya banyak sekali agenda yang padat. Dari mulai acara-acara kenegaraan, acara-acara politik seperti kampanye parpol hingga konser-konser musik.

Situasi dipersulit oleh rentetan insiden kekerasan yang mencuat saat Persija bertanding di GBK. Dari mulai kematian suporter Persib Bandung, Rangga Cipta Nugraha, pada Mei 2012 hingga kerusuhan yang berujung tewasnya seorang polisi pada Juni 2016. Semuanya terjadi saat Persija bertanding di GBK.

Mudah ditebak ujungnya: Persija kesulitan mendapatkan izin bertanding di GBK. Mau tidak mau, Persija harus bermain di stadion yang lain. Karena tidak ada lagi stadion yang representatif di lingkungan wilayah Jakarta, mereka kadang harus berkandang di Stadion Manahan (Solo), Stadion Mandala Krida (Yogyakarta), Stadion Maguwoharjo (Sleman) hingga Stadion Bangkalan (Madura). Belakangan mereka mendapatkan tempat bermain yang lebih dekat yaitu di Stadion Patriot Bekasi.

Titik Balik di Awal 2017

Titik balik bagi Persija terjadi pada awal musim 2017. Dimulai dengan masuknya Gede Widiade, ia kemudian menjabat sebagai Direktur Utama, Persija mulai mendapatkan angin segar. Sepanjang musim 2017 itu, kabar pemain Persija ditunggak gajinya mulai menghilang.

Hal itu berimbas pula pada prestasi. Kendati tidak menjadi juara Gojek Traveloka Liga 1, setidaknya Persija berhasil menduduki peringkat keempat di klasemen akhir. Itulah ranking terbaik yang bisa dicapai Persija sejak musim 2012/2013.

Berkah berlanjut saat Bhayangkara FC dan PSM Makassar yang peringkatnya di atas Persija gagal mengikuti kompetisi level Asia karena dinilai belum memenuhi persyaratan terkait lisensi. Persija pun mendapat limpahan tiket berlaga di AFC Cup musim ini.

Tentu saja jalan masih panjang bagi Persija di musim mendatang, baik di AFC Cup maupun Liga 1. Namun kemenangan di Piala Presiden setidaknya telah menjadi awal yang luar biasa bagus bagi Macan Kemayoran untuk mengarungi ganasnya jadwal Liga 1 di tengah keharusan untuk juga berlaga di level Asia.

Salah satu PR yang sudah di depan mata adalah persoalan yang bertahun-tahun terakhir juga menyulitkan mereka: perizinan untuk bermain di Jakarta. Selain karena GBK juga pasti akan digunakan untuk Asian Games 2018, sejumlah insiden yang berakhir dengan rusaknya beberapa fasilitas GBK saat final Piala Presiden juga menjadi handicap yang pasti lebih menyulitkan ketimbang memudahkan.

Biarlah PR itu diberesin manajemen Persija. Hari ini, mungkin sampai beberapa hari ke depan, Jakmania bersenang-senang saja dahulu bersama gelar juara yang sudah ditunggu bertahun-tahun lamanya.

Baca juga artikel terkait PIALA PRESIDEN 2018 atau tulisan lainnya dari Bulky Rangga Permana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Bulky Rangga Permana
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS