Menuju konten utama

Kejanggalan Prosedur & Perang Narasi Pemerkosaan Anak di Luwu Timur

Penyangkalan Polri dengan alasan sesuai prosedur dinilai hanya upaya untuk menyelamatkan citra polisi yang semakin buruk di mata masyarakat.

Kejanggalan Prosedur & Perang Narasi Pemerkosaan Anak di Luwu Timur
Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/istockphoto

tirto.id - 9 Oktober 2019, Lydia, ibu dari tiga anak yang diduga diperkosa oleh mantan suaminya, mengadukan peristiwa yang menimpa buah hatinya ke Polres Luwu Timur. Seorang petugas polisi wanita mengantarkan ketiga anaknya ke sebuah puskesmas untuk visum, tanpa pendampingan.

Ketiganya dimintai keterangan oleh penyidik berseragam, tanpa didampingi Lydia, nihil penasihat hukum, pekerja sosial ataupun psikolog. Lydia diminta menandatangani berita acara pemeriksaan, tapi dilarang membacanya terlebih dulu. Lima hari berselang, Polres Luwu Timur memberitahukan perkembangan hasil penyelidikan, mengabarkan laporannya telah diterima dan akan diselidiki oleh Aipda Kasman.

Lantas ia menyambangi markas kepolisian itu guna menanyakan hasil visum ketiga anaknya, sekaligus, dengan inisiatifnya sendiri, memberikan satu celana dalam berwarna merah muda yang terdapat bercak darah.

Pada 18 Oktober, polisi mengabarkan hasil visum dari puskesmas dan menurut seorang penyidik mengklaim “tidak ditemukan apa-apa.” Di hari itu pula penyidik meminta keterangan Lydia tanpa didampingi penasihat hukum. Singkat cerita, kasus dugaan pemerkosaan itu dihentikan oleh polisi dengan alasan tidak ada bukti kuat.

Lagi-lagi atas inisiatifnya sendiri pada 1 November, Lydia membawa satu celana dalam yang terdapat cairan hijau dan satu celana legging yang terdapat bercak darah ke Polres Luwu Timur.

Dua tahun berselang, kepolisian mengklaim penanganan proses hukum mulai dari penerimaan laporan, penyelidikan, perkara ini berjalan sesuai prosedur. “Hasil pemeriksaan atau visum ketiga anak tersebut tidak ada kelainan dan tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono, Jumat (8/10/2021).

Sementara laporan hasil asesmen Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Luwu Timur menyebutkan tidak ada indikasi trauma ketiga korban terhadap si ayah. “Setelah sang ayah datang di kantor P2TP2A, ketiga anak tersebut menghampiri dan duduk di pangkuan ayahnya,” sambung Argo.

Tak hanya itu, merujuk kepada hasil pemeriksaan psikologi Pusat Pembelajaran Keluarga P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, interaksi ketiga anak dengan lingkungan cukup baik dan normal. Hasil asesmen lainnya yakni hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis, dalam pemahaman keagamaan sangat baik termasuk untuk fisik dan mental dalam keadaan sehat.

Sementara hasil visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Selatan pun menyebutkan tidak ditemukan kelainan terhadap ketiga korban. Usai melakukan rangkaian prosedur, Polres Luwu Timur melakukan gelar perkara pada 5 Desember 2019. Polisi menghentikan penyelidikan kasus. "Tidak ditemukan bukti yang cukup sebagaimana yang dilaporkan," kata Argo.

14 April 2020, Polda Sulawesi Selatan mengeluarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan Nomor: B/ 338/ IV/ RES.7.5/ 2020/ Ditreskrimum. Pokok surat itu memberitahukan bahwa proses penyelidikan terhadap perkara a quo dihentikan penyelidikannya karena tidak ditemukan dua alat bukti yang cukup dan memberikan rekomendasi kepada penyidik Sat Reskrim Polres Luwu Timur menghentikan proses penyelidikan dan melengkapi administrasinya.

Lantas, Polda Sulawesi Selatan pada 6 Oktober 2020 juga telah melakukan gelar perkara khusus dengan kesimpulan menghentikan proses penyelidikan. Kasus dugaan pemerkosaan ini viral dan menjadi perbincangan publik usai tayang di situs projectmultatuli.org dengan judul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan,” 6 Oktober 2021. Bareskrim Polri kemudian membentuk dan mengerahkan Tim Asistensi perkara ini, tim itu akan mengaudit upaya kepolisian dalam penanganan kasus tersebut.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono, Minggu, 10 Oktober 2021, mengaku “Polri mendapat banyak masukan dari berbagai pihak.”

Meski Lydia pernah menunjukkan celana dalam dan legging yang terdapat bercak darah kepada polisi, Bareskrim Polri baru menindaklanjuti kasus ini dua tahun usai pengaduannya. Apalagi polisi hanya akan membuka lagi perkara ini jika ada bukti baru. “Penyelidikan ini akan dilakukan kembali apabila terdapat alat bukti baru,” jelas Rusdi.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti menyatakan Tim Asistensi hadir untuk melihat proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur dan melakukan asistensi bila ada hal-hal yang dibutuhkan. “Saya berharap dengan hadirnya Tim Asistensi, masalah akan terselesaikan,” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (11/10/2021).

Poengky melanjutkan, pelapor dan kuasa hukumnya menuntut kasus ditarik ke Mabes Polri. Sedangkan Mabes Polri tetap menugaskan Polres Luwu Timur yang menangani perkara dengan asistensi tim Bareskrim. Maka ia menyarankan, karena Polres Luwu Timur sudah membuka diri untuk mendapatkan bukti baru, maka pelapor dan kuasa hukumnya dipersilakan untuk menyampaikan ke Polres Luwu Timur.

Kejanggalan Tahapan

Terlepas dari keterlambatan Polri mengambil tindakan untuk langkah berikutnya, pada proses penyelidikan perkara pun terdapat ketidaksesuaian prosedur; penyidik Polres Luwu Timur prematur dalam menangani kasus ini. Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar Rezky Pratiwi menyebutkan dugaan pelanggaran prosedur oleh polisi.

Pertama, pengambilan keterangan terhadap para korban dan ‘pemaksaan’ Lydia untuk menandatangani berita acara pemeriksaan tanpa diperkenankan membacanya, telah melanggar peraturan. Apalagi proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya.

“Hal ini menyalahi ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” kata Pratiwi kepada reporter Tirto, Senin (11/10/2021).

Pengambilan keterangan para anak korban hanya dilakukan satu kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan, mengakibatkan keterangan para korban tidak terjelaskan utuh dalam interogasi.

Kedua, kata dia, dasar penghentian penyelidikan adalah dua dokumen yang dikategorikan sebagai bukti petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur dan asesmen Puspaga Luwu Timur. Kedua petunjuk tersebut menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya.

Sementara dua hasil asesmen berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali Lydia meminta perlindungan di P2TP2A Luwu Timur. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terduga pelaku sebagai sesama Aparat Sipil Negara.

Ketiga, dalam berkas perkara penyelidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulawesi Selatan terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik, tapi diabaikan. Salah satunya Visum et Psychiatricum terhadap para anak korban, yang masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya.

Kejanggalan juga ada dalam dokumen tersebut, sebab memasukkan hasil pemeriksaan P2TP2A Luwu Timur yang menerangkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi ayahnya, kata Pratiwi.

“Ada upaya mendelegitimasi kesaksian pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang dilakukan penyidik. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor. Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan penyidik pada korban,” terang Pratiwi.

Lantas, terdapat laporan psikologis para korban oleh psikolog P2TP2A Kota Makassar tertanggal 20 Desember 2019, yang telah diajukan LBH Makassar pada gelar perkara di Polda Sulawesi Selatan pada 6 Maret 2020. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa para korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh ayah kandung beserta dua teman terduga pemerkosa. Adapun nihil ditemukannya tanda-tanda trauma pada anak, tidak berarti kekerasan seksual tersebut tidak terjadi.

Berbeda dengan dua surat Visum et Repertum yang disebut penyidik, Lydia memiliki bukti foto dubur dan vagina para korban yang memerah dan nampak janggal, yang diambil pada Oktober 2019. Lydia memeriksakan keluhan itu di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, tertulis hasil diagnosis para korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina, serta pelecehan.

“Bukti-bukti dan argumentasi hukum telah kami sampaikan dalam gelar perkara khusus atas permintaan kami pada 6 Maret 2020 di Polda Sulawesi Selatan, namun seluruhnya tidak dipertimbangkan oleh polisi,” kata Pratiwi.

Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldi berujar secara hukum tidak ada alasan bagi Polri untuk menghentikan kasus ini. “Sebab dalam kasus ini sebetulnya terdapat bukti-bukti yang kuat untuk menindaklanjutinya ke proses peradilan pidana,” kata dia, Senin (11/10/2021).

Ia menambahkan, “Klaim atau penyangkalan yang dilakukan Polri dengan alasan sesuai prosedur, sebetulnya hanyalah alasan yang tidak masuk akal dan tidak lebih dari upaya untuk menyelamatkan citra Polri yang semakin buruk di mata masyarakat.”

Melakukan gelar perkara dengan mengundang tim hukum korban, fungsi pengawasan dan ahli, dapat dilakukan kepolisian untuk membuktikan penyelidikan sesuai dengan prosedur. Andi juga menilai Tim Asistensi saja tidak cukup dan kurang efektif, Polri perlu juga melibatkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perempuan, dan Ombudsman RI.

Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto menuturkan, bisa jadi polisi sudah melaksanakan pengusutan secara prosedural, tapi yang menjadi masalah apakah prosedur itu sudah memenuhi rasa keadilan bagi pelapor?

“Artinya prosedural normatif itu saja tidak cukup untuk memenuhi rasa keadilan. Maka dalam pengusutan terkait kejahatan seksual (harus) memperhatikan berbagai aspek. Bukan soal prosedur saja, tapi harus memperhatikan faktor lain misalnya transparansi dengan melibatkan pendampingan hukum maupun psikologi pada korban,” kata Bambang ketika dihubungi reporter Tirto.

Ketika artikel Project Multatuli ini terbit, akun Instagram @humasrelutim menuliskan klarifikasi soal pemberitaan tersebut. Pada klarifikasi itu polisi menuliskan secara gamblang nama pelapor, padahal dalam berita itu ‘Lydia’ adalah nama samaran. Bambang menyayangkan upaya klarifikasi itu karena polisi malah menjadi pelaku pelanggaran hukum dengan tidak melindungi identitas ibu korban. Maka hal ini menjadi kasus tersendiri yang dapat diusut dan Humas Polres Luwu Timur harus diberi sanksi.

“Sanksi etik bagi anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran undang-undang. Polisi tidak harus bersikap defensif dalam menyelesaikan kasus yang sebenarnya sudah terjadi dua tahun lalu. Semakin defensif, akibatnya malah muncul asumsi bahwa kepolisian menjadi pelindung terlapor. Asas praduga tak bersalah itu memang harus dikedepankan, semua sepakat. Hanya saja menutup kasus dengan tidak cermat dan tidak hati-hati juga akan membuat terlukanya rasa keadilan,” ujar Bambang.

Perang Narasi

#PercumaLaporPolisi menghiasi dunia media sosial usai artikel itu terbit. Tagar itu juga tercantum dalam situs Project Multatuli sebagai rangkaian serial reportase. Lantas, Senin, 11 Oktober 2021 pun muncul #PolriSesuaiProsedur, akun Twitter yang mencantumkan tagar itu seperti @1trenggalek, @Hsolsel, @humas_kediri, @HumasPoldaJatim, dan @JayapuraKota.

Poengky mengaku baru mengetahui tagar tersebut. “Saya baru tahu ada #PolriSesuaiProsedur. Tapi memang saya lihat dalam kasus Luwu Timur, penyidik sudah melaksanakan tugas sesuai prosedur. Memang dalam menangani laporan yang masuk, Polri harus melaksanakan sesuai SOP, agar jika ada komplain yang berlawanan antara pelapor dan terlapor, Polri dapat membuktikan profesionalitas kerjanya,” ucap dia.

Sedangkan terkait #PercumaLaporPolisi, sangat penting bagi Polri untuk mendengar suara masyarakat karena harus diakui, polisi adalah aparat yang paling banyak bersentuhan dengan publik. Maka kepolisian harus siap melayani 24 jam. Tetapi di sisi lain, Poengky menilai pesimisme yang diusung tagar tersebut justru tidak menyelesaikan masalah. “Sebaiknya masyarakat mendukung Polri untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional dan mandiri.”

Perihal baku tagar di media sosial, Bambang mengatakan tagar ini berkembang bukan hanya pada konteks kasus di Luwu Timur, tetapi ke banyak hal lain. Kejadian menunjukan ada apatisme masyarakat pada kinerja Korps Bhayangkara. “Yang merasakan soal pelayanan kepolisian itu masyarakat. Jadi aneh dan terlalu defensif bila kemudian dilawan dengan #PolriSesuaiProsedur,” ujar dia.

Sementara #PercumaLaporPolisi itu adalah upaya mengkritik kinerja kepolisian karena publik tidak memiliki saluran untuk mengaspirasikan ihwal pelayanan Polri. Kepada siapa publik mengadukan kekecewaannya terkait kinerja kepolisian? Sementara lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan menegur polisi jauh dari jangkauan. Apakah publik harus mengeluh kepada presiden, DPR atau Kompolnas? Faktanya instansi-instansi itu tak terjangkau oleh masyarakat.

“Jalur satu-satunya yang dimiliki publik saat ini adalah media sosial. Muncul pameo ada delik baru untuk mencari keadilan, delik hukum yang sesuai prosedural normatif, delik aduan yang lebih subyektif, dan yang terbaru adalah delik viral. Bikin viral baru ditindaklanjuti oleh kepolisian,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz