Menuju konten utama

Kejanggalan Penyidik Polri dan Kejaksaan Kuras Aset First Travel

Ada kemungkinan penyidik dan jaksa mengabaikan prosedur hukum saat menyita aset restoran dari uang jemaah First Travel di London.

Kejanggalan Penyidik Polri dan Kejaksaan Kuras Aset First Travel
Ilustrasi HL Indepth First Travel. tirto.id/Sabit

tirto.id - Salah satu uang penipuan 63.310 calon jemaah First Travel mengalir dalam bentuk aset Restoran Nusa Dua di pusat Kota London.

Andika Surachman pernah memberikan uang sekitar Rp12 miliar untuk investasi restoran tersebut. Uang itu diberikan kepada orang Indonesia yang menetap di London bernama Usya Soemiarti Soeharjono.

Pada saat penyidikan, Andika dan Anniesa Hasibuan bungkam soal ini. Salah seorang penyidik AKBP Rivai Arvan, yang menginterogasi Andika, berkata kepada Tirto bahwa Andika hanya jujur jika “kita bisa menunjukkan bukti,” ujar Rivai.

Aset Nusa Dua di London diketahui dari dua hal. Pertama, ada pengakuan dari para calon jemaah yang ditipu Andika-Anniesa. Kedua, kebanggaan pasangan ini yang memamerkan Nusa Dua sebagai bagian dari First Travel.

“Di brosur ada tertulis [aset] di London,” kata Rivai.

Manuver Pribadi Penyidik?

Temuan itu membuat dua penyidik Bareskrim Polri pergi ke London: Ketua tim penyidik AKBP Dwi Irianto dan anggota penyidik Kompol Denan Purba. Ada juga dari kejaksaan: Jaksa Utama Muda Heri Jerman dan Lumumba Tambunan, jaksa yang menangani kasus Andika-Anniesa.

Namun, sebagian penyidik mengatakan kepada Tirto bahwa aset di London sudah lepas urusan dari Andika-Anniesa. Alasannya, sewaktu diinterogasi, Andika memainkan dalih bahwa aset Nusa Dua bukan miliknya karena sudah “tukar guling” saham dengan Usya Soemiarti lewat sebuah unit apartemen di Jakarta Selatan senilai Rp2 miliar.

Keempat penegak hukum itu pergi antara 25 November hingga 2 Desember 2017. Rentang waktu ini ketika hasil penyidikan perkara Andika-Anniesa belum lengkap (P-19). Karena alasan waktu, penyidik melakukan langkah tak biasa: membawa pihak kejaksaan dalam proses penyidikan.

“Bukan berarti dia menyidik, tapi dia bisa memberikan advice-advice kepada kami supaya nanti kami tidak bolak-balik,” ujar Kompol Denan Purba kepada Tirto pada 12 September 2018.

Begitu bertemu Usya, mereka mengetahui Andika membeli hak berusaha restoran Nusa Dua. Heri kemudian membuat keputusan agar membawa Usya ke Kedutaan Besar Indonesia di London. Usya diminta menandatangani “surat pernyataan” yang isinya menyerahkan hak bisnis restoran Nusa Dua kepada Dwi Irianto dan Heri Jerman.

Herry Rudolf Nahak sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim—atasan langsung Dwi Irianto—tidak mengetahui ada langkah semacam itu dari penyidik saat menangani aset First Travel di London. Ketika dikonfirmasi oleh Tirto, ia menyampaikan aset tersebut telah ditukar dengan apartemen di Jakarta.

“Salah kali. Enggak mungkin,” kata Herry kepada Tirto pada 7 September 2018. “Kalau di sana itu bukan punya dia [Andika]. Itu punya orang [Usya]. Dia [Andika] ikutan aja. Itu penyidik memastikan di sana bukan aset dia [Andika],” tambah Herry.

Menyalahi Prosedur

Apa yang dilakukan Dwi Irianto dan Heri Jerman sangat mungkin bisa dikategorikan sebagai kesalahan prosedur dalam perkara pidana. Kompol Denan Purba tahu bahwa prosedur lazim untuk penyitaan aset tertera dalam UU 1/2016 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.

Indonesia seharusnya meminta bantuan negara asing, dalam hal ini Inggris, atau mungkin polisi internasional (interpol) untuk menyita aset restoran Nusa Dua.

Salah satu aturannya, Polri dapat mengajukan permintaan bantuan ke negara asing dengan persetujuan dari Kapolri atau Jaksa Agung. Namun, dalam perkara aset Nusa Dua, hal semacam itu diabaikan. Jaksa baru mengajukan permintaan saat persidangan.

Penyerahan surat kuasa Usya, menurut putusan pengadilan, terjadi pada 30 November 2017, tetapi hak usaha itu baru diputuskan akan disita oleh Pengadilan Negeri Depok pada 7 Mei 2018. Ada jeda enam bulan sebelum aset Nusa Dua diangkat menjadi barang bukti.

Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Daniel Tahi Monang Silitonga mengatakan, dalam perkara penyitaan aset di luar negeri, idealnya ada beberapa aturan yang harus ditaati. Salah satunya koordinasi dengan kepolisian negara setempat.

“Kalau di luar negeri, kita enggak bisa nyita. Itu harus ada perjanjian dengan luar negeri. Memang luar negeri itu negara kita?” ucapnya. “Menyita aset di luar negeri itu harus lewat otoritas hukum di sana.”

Namun, Daniel mengklaim bahwa beberapa teknis lain yang digunakan penyidik bisa jadi diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Ketika ditanyakan perihal aturan hukum yang bisa melindungi tindakan Dwi dan Heri, Daniel enggan berkomentar.

“Kamu jangan tabrakin saya dengan itu, deh. Itu kan urusan pidana umum, bukan urusan saya,” tegasnya kepada Tirto pada 9 September 2018.

Daniel menyatakan “tidak ada masalah” jika polisi melibatkan kejaksaan dalam penanganan aset di luar negeri. Hanya saja, konteksnya saat perkara itu sudah ditangani oleh jaksa atau P-21.

Nyatanya, ketika Usya meneken “surat pernyataan” menyerahkan hak berusaha Nusa Dua kepada Dwi Irianto dan Heri Jerman, berkas perkara Andika belum lengkap.

Daniel malah bingung saat kami menyodorkan bukti dari berkas putusan bahwa Dwi dan Heri pergi bersama sebelum berkas lengkap.

Infografik HL Indepth First Travel

Surat Pernyataan Usya Menyerahkan Hak Bisnis Nusa Dua ke Penyidik

Saat berkas pidana terhadap Andika Surachman dinyatakan lengkap (P-21) pada 7 Desember 2017, Andika mengklaim kepada Tirto bahwa ia pernah didatangi Dwi Irianto dan Heri Jerman. Andika mengklaim ia disodorkan dua surat oleh mereka.

Surat pertama dari Kedutaan Besar RI di Inggris soal restoran di London. Surat kedua berisi pernyataan Usya Soemiarti tanpa kop kejaksaan maupun Bareskrim.

“Isi surat itu adalah aset restoran di London milik saya dialihkan, dikelola, keuntungannya diberikan kepada Heri Jerman dan Dwi Irianto,” klaim Andika kepada Tirto.

Saat dimintai konfirmasi, Heri Jerman membantah klaim Andika. “Mana ada saat P-21 jaksa bisa ketemu terdakwa? Dari penelitian berkas sampai P-21, jaksa hanya ketemu sama penyidik karena terdakwa masih status tahanan penyidik. Mustahil jaksa bisa ketemu dengan terdakwa,” kata Heri.

"Saya masih bisa jaga integritas saya menangani First Travel. Andika seringkali mengeluarkan isu-isu yang kadangkala merugikan jaksa. Andika mungkin saja kecewa sama jaksa karena jaksa telah menuntut maksimum dan diputus maksimum,” kata Heri panjang-lebar.

“Amit-amit kalau saya mau menyembunyikan barang bukti,” tambah Heri.

Kompol Denan Purba mengatakan kepada Tirto bahwa ia yang “menulis” rancangan surat pernyataan yang diteken Usya bahwa hak berusaha Nusa Dua diserahkan kepada penyidik dan jaksa.

“Di situ disebutkan pangkatnya jelas,” ia meyakinkan. “Enggak mungkin kepada pribadi. Yang pasti disebutkan pangkat-jabatannya Pak Dwi, pangkat-jabatannya Pak Heri.”

Dalam surat pernyataan yang diteken Usya itu—yang Tirto dapatkan dari Heri Jerman—tertera nama, profesi, pangkat, dan jabatan Kombes Dwi Irianto dan Jaksa Utama Muda Heri Jerman. Surat itu dibuat untuk "kepentingan penuntutan dan penyidikan", dengan menyertakan kedua saksi: Firdaus Ahmad (suami Usya Soemiarti) dan jaksa Lumumba Tambunan.

Tim legal Tirto—yang dimintai pendapat untuk memberikan ulasan hukum atas surat pernyataan Usya Soemiarti—menyimpulkan bahwa surat kuasa tersebut tak sesuai dan di luar prosedur hukum acara pidana yang sah, khususnya terkait penyitaan.

“Kalau dalam hal upaya paksa termasuk penyitaan aset untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, harus berdasarkan izin penyitaan dari pengadilan sehingga penyitaan legitimate,” tulis tim legal Tirto.

“Kalau hanya berdasarkan surat kuasa itu, maka ada dugaan pelanggaran hukum acara dalam proses penyitaan. Karena Heri Jerman dan Dwi Irianto bertindak sebagai individu, bukan mengatasnamakan instansi. Surat tugas dan izin penyitaan tidak ada.”

Surat tersebut juga tanpa kop dari Bareskrim atau Kejaksaan—sebagaimana diungkapkan Andika kepada Tirto—sehingga, meskipun disebutkan pangkat dan jabatan penyidik dan jaksa, tetap saja tidak menunjukkan keabsahan, tulis tim legal Tirto.

“Perlunya izin penyitaan dan setidaknya surat tugas dari masing-masing instansi, baik Polri dan Kejaksaan, agar segala proses hukum termasuk penyitaan menjadi termonitor dan terhindar dari abuse of power,” tegas tim legal Tirto.

Pindah Kepemilikan dan Promosi Jabatan

Bagaimanapun, aset Nusa Dua baru diserahkan sebagai barang bukti di PN Depok ketika JPU menghadirkan Usya Soemiarti pada 2 April 2018.

“Saya ajukan saat saksi dari London datang ke sidang,” kata Heri Jerman kepada Tirto.

“Sudah ya, jangan buat saya emosi gara-gara ocehan Andika,” tambah Heri.

Kompol Denan Purba beralasan surat pernyataan Usya tak masuk dalam berkas perkara Andika pada awalnya karena memang tidak bisa menjadi barang bukti karena polisi belum melakukan penyitaan.

“Jadi kami menitipkan kepada jaksa. Hanya meyakinkan agar aset ini tidak ke mana-mana dulu. Siapa tahu persidangan suruh sita.”

Surat kuasa ini, ujar Denan, dibuat dengan tujuan yang baik: menyelamatkan uang jemaah.

“Jangan sampai dia jual lagi, gitu. Malah tambah sulit [penyitaannya],” ujar Denan.

Pada 12 Febuari 2018, Usya Soemiarti melakukan pengalihan hak milik aset restoran Nusa Dua. Hak itu diserahkan kepada koki bernama Yan Rizal Zainuddin.

Secara legal, aset resmi Nusa Dua bukan lagi atas nama Usya, meski Yan mengaku namanya hanya dicatut oleh Usya.

“Restoran ini punya Ibu Usya,” kata Yan kepada Tirto saat ditemui di London. Kendati demikian, secara legal, restoran itu dimiliki Yan Rizal.

Usya enggan menjawab kejelasan aset tersebut kepada Tirto saat ditemui di London. Kompol Denan Purban menilai apa yang dulu disepakati oleh Usya telah dikhianati.

Meski dalam salinan berkas putusan menyebut aset Nusa Dua masuk dalam barang bukti yang “dirampas negara”, tetapi restoran yang dibiayai oleh jemaah First Travel ini masih beroperasi hingga sekarang.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rochmad berkata kepada Tirto bahwa kasus pidana pencucian uang terhadap pasangan bos First Travel masih berjalan. Jadi, jika harus melakukan eksekusi pembekuan aset, misalnya, “manakala perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap,” kata Rochmad, 7 September 2018.

Usai penyidikan terhadap First Travel—salah satu kasus terbesar yang ditangani Bareskrim Polri tahun lalu—ada tiga dari 29 penyidik yang mendapatkan promosi.

AKBP Rivai Arfan kini menjabat Kapolres Mamuju, Sulawesi Selatan. AKBP Bambang Wijanarko menjabat Kapolres Pangkep, Sulawesi Selatan. Kombes Dwi Irianto naik promosi menjabat Kaprodi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

“Ini kasus terbesar yang ditangani Bareskrim, termasuk jumlah korban dan kerugian materiil. Ini kasus terbesar yang saya tangani,” ujar Rivai. “Namun, saya memang sudah lama menunggu promosi ini.”

Baca juga artikel terkait FIRST TRAVEL atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra, Andrian Pratama Taher, Reja Hidayat & Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Fahri Salam