Menuju konten utama

Kejanggalan Kasus 'Palu Arit' terhadap Budi Pego

Heri Budiawan, seorang petani buah naga di Banyuwangi, divonis bersalah dengan tuduhan "menyebarkan komunisme".

Kejanggalan Kasus 'Palu Arit' terhadap Budi Pego
Ilustrasi kriminalisasi 'palu arit' terhadap Budi Pego yang memprotes pertambangan emas di Banyuwangi. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Kriminalisasi ini tidak bisa diterima akal,” kata Heri Budiawan, atau akrab disapa Budi Pego, dengan nada serius. “Bukti enggak ada, hanya foto. Tapi, saya justru dipidana.”

Pada Januari 2018, Budi Pego alias Cak Budi divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi. Mahkamah Agung lalu memperberatnya menjadi empat tahun penjara, Oktober lalu.

Tuduhannya, Cak Budi dianggap menyebarkan paham "komunisme". Ia dituding melanggar Ketetapan MPRS Nomor 25/1956 tentang Pembubaran PKI.

Tuduhan kepada Cak Budi didasarkan lewat “barang bukti” berupa foto spanduk dengan gambar palu arit. Budi Pego dijatuhi pidana dengan tuduhan menyebarkan dan mengembangkan ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme di publik melalui spanduk.

Aparat menganggapnya melanggar Pasal 107a UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan kejahatan terhadap keamanan negara.

Tuduhan ini bermula saat ia dan warga setempat melakukan aksi protes pada April 2017. Dalam aksi itu, pihak berwenang mengaku “menemukan” spanduk dengan gambar palu arit di spanduk. Cak Budi pun diciduk.

Dari situ Cak Budi divonis 10 bulan penjara. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Provinsi Jawa Timur, yang juga memvonisnya 10 bulan penjara, Maret 2018. Selanjutnya, kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung ditolak; Cak Budi malah dijatuhi hukuman empat tahun penjara.

Namun, menurut pengakuan Cak Budi, dari total sebelas spanduk yang dicetak, tidak ada satu pun spanduk dengan gambar palu arit. Vonis itu membikin keluarganya terpukul. Istrinya menyebut sang suami diperlakukan tidak adil.

Cak Budi menetap di Desa Sumberagung, Tumpang Pitu, dan bekerja sebagai petani buah naga, komoditas andalan Tumpang Pitu. Ia juga merangkap kerja sebagai pedagang buah. Ia menjual sendiri hasil panen di Banyuwangi dan sekitarnya.

Tanggapan PT BSI

PT Bumi Suksesindo (BSI) memperoleh izin pengelolaan tambang emas pada 2012. Izin yang didapat ialah IUP atau Izin Usaha Pertambangan, dengan konsesi seluas 4.998 hektare. PT BSI adalah anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold.

Tambang emas di Tumpang Pitu berdiri di kawasan hutan seluas 9.743 ha, terletak di Sukamade. Izin eksplorasi diberikan oleh Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Poin dari izin yang diberikan ialah perubahan fungsi dari kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi tetap.

Dari daerah, izin ini disetujui oleh pemerintah pusat, diwakili Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifil Hasan. Lewat SK Menteri Kehutanan No. 826/MENHUT-II/2013, lahan seluas 1.942 ha diserahkan kepada perusahaan tambang untuk digarap.

Teuku Mufizar Mahmud, Corporate Communications Manager PT BSI, menerangkan perusahaan juga sudah mengantongi IUP operasi produksi dan sertifikat atas status clear and clean dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Kami harapkan dengan status obvitnas (obyek vital nasional) ini, tambang BSI secara aman dapat terus beroperasi dan manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Pemerintah berkepentingan bahwa sumber daya alam ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan negara," kata Mufizar melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto pada 19 Januari 2019.

Mufizar menyebut tambang emas BSI di Tumpang Pitu merupakan aktivitas pertambangan yang patuh dan mengikuti seluruh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

"Tambang kami juga selalu taat peraturan dan berwawasan lingkungan, mengedepankan kearifan lokal serta melibatkan partisipasi masyarakat setempat," imbuhnya.

Mufizar mengklaim lebih dari 1.500 karyawan PT BSI, sekitar 60 persen di antaranya merupakan warga Banyuwangi, dan 38 persen di antaranya dari Kecamatan Pesanggaran. BSI secara konsisten juga menjalankan program CSR untuk meningkatkan pemberdayaan dan kualitas hidup masyarakat di wilayah ini, menurut Mufizar.

Terkait kasus yang menimpa Budi Pego, Mufizar mengatakan perusahaan tidak mau ikut campur dalam proses hukum.

"Masalah tersebut tidak berkaitan dengan BSI ataupun Merdeka Copper Gold," bantah Mufizar.

"Dalam menjalankan kegiatan penambangan, BSI senantiasa menjalankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam segala aspek kegiatan perusahaan, khususnya mengenai aspek lingkungan hidup."

Infografik HL Indepth Kekerasan HAM

Infografik Kasus 'Palu Arit' Budi Pego

Kejanggalan Tuduhan 'Palu Arit'

Budi Pego menyebut andil Bupati Banyuwangi Azwar Anas. “[Bupati] Anas selalu berdalih bahwa izin tambang di sana adalah warisan [pemerintah sebelumnya]. Namun, nyatanya tidak. Izin keluar pada 2012, artinya Pak Anas sudah menjabat,” ungkap Cak Budi kepada Tirto, Senin (10/12) malam.

“Perlawanan kami dimulai ketika pra-konstruksi tambang," imbuh Cak Budi.

Warga menuntut agar perusahaan lebih memperhatikan dampak ekologis dari aktivitas tambang. Namun, dari salah satu protes itu Cak Budi dipidana dengan tuduhan membawa "spanduk berlogo palu arit", dengan kata lain "menyebarkan komunisme", perkara yang masih dilarang oleh hukum Indonesia sekalipun negara ini telah berusia 20 tahun pasca-Reformasi.

Muhammad Soleh, kuasa hukum Cak Budi dari Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, menyebut kasus hukum yang menyeret kliennya "penuh kejanggalan."

LBH Surabaya mendampingi Cak Budi menggantikan Amrullah, advokat yang dipidanakan karena dianggap “mencemarkan nama baik”

“Barang bukti spanduk dengan gambar palu arit tidak dihadirkan. Hanya foto dan video. Ketika kami meminta pengadilan mendatangkan spanduk itu, pihak Majelis Hakim menolak. Alasannya: bukti sudah ada dalam bentuk foto,” terang Soleh kepada Tirto.

Kejanggalan kedua: keberadaan barang bukti tidak bisa dihadirkan di persidangan alias “hilang.”

Bagi Soleh, hal itu tidak masuk akal: bagaimana bisa barang bukti dinyatakan hilang tapi persidangan tetap jalan?

“Yang terakhir: tidak ada saksi yang bilang Cak Budi membikin maupun memegang spanduk dengan gambar tersebut," tambah Soleh.

Sementara Pasal 107a KUHP menyebut yang dianggap “menyebarkan komunisme” adalah kegiatan aktif dan masif, ujar Soleh.

“Bukan karena dianggap pegang spanduk lalu dibilang menyebarkan komunisme. Lagi pula, Cak Budi enggak begitu paham apa komunisme itu,” Soleh berkata.

Soleh menyesalkan Mahkamah Agung yang dianggap tidak bekerja sesuai tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi). Tidak ada surat perintah penahanan, amar yang belum diterima, hingga lebih memilih menjalankan prinsip judex facti alih-alih judex juris.

“MA itu harusnya menjalankan judex juris. Tapi, lewat vonis empat tahun yang dialamatkan ke Cak Budi, MA seperti menerapkan judex facti,” kata Soleh.

Dalam sistem hukum Indonesia, judex facti dan judex juris adalah dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan.

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menjalankan judex facti, yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut.

Sementara Mahkamah Agung adalah judex juris, hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.

Sampai pekan ini LBH Surabaya mengajukan penundaan eksekusi terhadap Cak Budi kepada Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi karena menilai putusan MA berselimut kejanggalan.

“Akibat [kriminalisasi] ini, teman-teman jadi takut melawan,” ujar Cak Budi. “Tapi, saya tidak boleh berhenti berjuang demi kebenaran.”

======

Riwayat Naskah

Naskah ini tayang pertama kali pada 14 Desember 2018 (pukul 12.00 WIB) tanpa memuat pernyataan dari PT BSI. Karena faktor itulah naskah diturunkan dari situsweb Tirto pada hari yang sama (sekitar pukul 19.30 WIB) untuk mendapatkan konfirmasi. Pada 14 Januari 2019 pihak perusahaan menghubungi redaksi untuk menyampaikan konfirmasi. Keterangan lebih lengkap akhirnya diterima redaksi pada 19 Januari 2019. Naskah ditayangkan kembali pada 21 Januari 2019 dengan perbaikan.

Redaksi meminta maaf kepada pihak-pihak terkait dan publik atas kekuranglengkapan bahan pada naskah awal maupun atas sempat diturunkannya naskah dari situsweb Tirto.

Baca juga artikel terkait PEMBELA HAM atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam