Menuju konten utama

Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit

Menurut Hikayat Raja Pasai, tabiat buruk Sultan Ahmad Malik Az-Zahir memicu konflik dengan Majapahit sehingga membawa Pasai menuju kemunduran.

Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit
Relief di Pendopo Agung Trowulan yang dibuat berdasarkan gambaran adegan Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. FOTO/Istimewa

tirto.id - Hikayat Raja Pasai mengisahkan, salah satu penyebab Majapahit menyerang Kesultanan Samudera Pasai pada 1350 berawal dari ulah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (bertahta sejak 1349). Sultan ini diceritakan sebagai raja berperangai buruk yang menjadi otak serangkaian tindakan keji, bermula di lingkungan kesultanan, lalu merembet ke luar hingga melukai martabat Majapahit.

Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara yang didirikan oleh Marah Silu -- kemudian bergelar Sultan Malik Al-Salih -- pada 1267 (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. 2006:50). Dengan pusatnya di pesisir pantai utara Sumatera, dekat Lhokseumawe, kesultanan ini pernah menguasai perdagangan di Selat Malaka dan menjadi sentrum penyebaran Islam di Nusantara.

Kesultanan Samudera Pasai berjaya saat dipimpin Sultanah (Ratu) Nahrasiyah sejak 1406 (ada sumber lain yang menyebut tahun 1400) sampai 1428. Petualang kondang asal Italia, Marco Polo, juga Ibnu Batutah sang penjelajah muslim dari Maroko, hingga armada Cina pimpinan Laksamana Cheng Ho, pernah menyambangi wilayah kerajaan ini. Marco Polo menyebut Samudera Pasai dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Kecil” (Mohammad Said, Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, 1963:82-83).

Tentang Hikayat Raja Pasai

Salah satu referensi dalam tulisan ini adalah Hikayat Raja Pasai yang memang sering dijadikan sumber utama dalam historiografi atau penulisan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Hikayat Raja Pasai yang diperkirakan ditulis pada abad ke-14 kini telah disusun ulang, salah satunya oleh Dr. Russell Jones yang bukunya diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1999.

Hikayat Raja Pasai terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menceritakan tentang peristiwa-peristiwa sebelum berdirinya Kesultanan Samudera Pasai hingga wafatnya Sultan Malik Al-Mahmud (bertahta sejak 1326). Sultan Malik Al-Mahmud adalah ayahanda Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Sebagai catatan, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir adalah orang yang berbeda dengan Sultan Muhammad Malik Az-Zahir, pemimpin Kesultanan Samudera Pasai yang bertahta pada 1297-1326, atau Sultan Mahmud Malik Az-Zahir yang berkuasa pada 1466-1468.

Bagian kedua Hikayat Raja Pasai membahas peristiwa-peristiwa di sekitar hubungan antara Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dengan anaknya yang bernama Tun Beraim Bapa. Nantinya, disebutkan bahwa Tun Beraim Bapa tewas di tangan ayahnya sendiri.

Adapun Hikayat Raja Pasai pada bagian ketiga bercerita tentang Raden Galuh Gemerencang, putri dari Kerajaan Majapahit yang terlibat jalinan percintaan dengan putra Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang kedua, yakni Tun Abdul Jalil, hingga runtuhnya Kesultanan Samudera Pasai (ulasan tentang Hikayat Raja Pasai dalam MelayuOnline.com, 2009).

Bagian kedua dan ketiga Hikayat Raja Pasai itulah yang membeberkan kekejaman Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, putra Sultan Malik Al-Mahmud. Bernama lahir Ahmad Permadala Permala, ia naik tahta pada 1349. Sebelum masa ini, wilayah kekuasaan Samudera Pasai sempat dibagi menjadi dua pemerintahan, yaitu Kesultanan Samudera dan Kesultanan Pasai.

Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dikaruniai lima orang anak (tiga putra dan dua putri). Tiga anak pangeran tersebut masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir diberi nama Tun Medam Peria dan Tun Takiah Dara.

Dan, seperti termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, kisah kekejian sang sultan pun dimulai.

Perangai Buruk Sultan Samudera Pasai

Menurut Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dicitrakan sebagai pemimpin yang buruk. Dikisahkan, sang sultan ternyata menaruh berahi terhadap dua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Beberapa kali gelagat tak pantas tersebut ketahuan oleh penghuni istana lainnya.

Sikap keterlaluan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir itu memantik desas-desus tak sedap. Anak sulung sang sultan yang juga putra mahkota, Tun Beraim Bapa, mengingatkan ayahnya agar menghentikan kelakuan tak patut tersebut.

Bukannya menahan diri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru murka, bahkan mengancam Tun Beraim Bapa agar tidak mencampuri urusannya. Tun Beraim Bapa pun waspada dan berusaha sekuat tenaga dua saudara perempuannya dari kebuasan sang ayah yang tidak layak dijadikan panutan tersebut.

Merasa dilawan oleh anaknya sendiri, kemarahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir meledak. Ia lalu merencanakan niat jahat. Secara diam-diam, sang sultan mengutus orang untuk meracuni sang pangeran. Usaha itu berhasil. Tun Beraim Bapa yang kelak seharusnya melanjutkan singgasana ayahnya justru harus meregang nyawa lebih cepat.

Mengetahui sang kakak mati mendadak, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara sangat bersedih hati sekaligus takut setengah mati terhadap ayah mereka sendiri. Maka, kedua putri Samudera Pasai itu pun memilih menyusul Tun Beraim Bapa, bunuh diri dengan meminum racun (Russell Jones, Hikayat Raja Pasai, 1999:35-56).

Dengan kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir langsung menutup rapat kegemparan yang sempat terdengar di lingkungan kesultanan setelah tewasnya tiga anaknya tersebut. Ini dilakukan agar kabar buruk itu tidak menyebar luas, apalagi hingga ke luar kerajaan.

Memantik Murka Majapahit

Tabiat biadab Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kambuh lagi beberapa waktu berselang. Kali ini bermula dari hubungan asmara antara putra kedua sultan, Tun Abdul Jalil (adik kandung Tun Beraim Bapa) dengan seorang putri dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Galuh Gemerencang.

Seharusnya, momen ini bisa dimanfaatkan untuk menjalin relasi yang lebih erat dengan Majapahit. Calon imperium yang berpusat di Jawa bagian timur itu memang sedang menatap masa gemilang seiring dinobatkannya Hayam Wuruk sebagai raja dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara, meneruskan tahta sang ibunda, Tribhuwana Wijayatunggadewi, pada 1350.

Ditambah lagi, Majapahit memiliki seorang mahapatih sekaligus panglima perang tertinggi yang namanya sudah terkenal, siapa lagi kalau bukan Gajah Mada. Saat ditunjuk sebagai mahapatih oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1336, ia mengucapkan Sumpah Palapa sebagai tekad untuk menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Namun, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru memantik konflik dengan Majapahit. Kecantikan Raden Galuh Gemerencang yang tidak lain adalah calon menantunya ternyata membuat sultan jatuh cinta. Kala itu, sang putri beserta para pengawalnya sedang bersiap untuk pergi ke Samudera Pasai untuk menemui sang pujaan hati.

Tak rela Raden Galuh Gemerencang diperistri putranya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir pun menyiapkan siasat keji untuk Tun Abdul Jalil, sama seperti yang pernah dilakukan terhadap anak sulungya, Tun Beraim Bapa. Nyawa pangeran kedua pun dihabisi dan mayatnya ditenggelamkan ke laut.

Sementara itu, rombongan Raden Galuh Gemerencang akhirnya tiba di Samudera Pasai. Sang putri terkejut mendengar kabar dari orang-orang kepercayaannya Tun Abdul Jalil bahwa calon suaminya itu telah dibunuh atas perintah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Raden Galuh Gemerencang yang jiwanya terguncang jelas sangat sedih. Ia lalu menenggelamkan diri ke laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil dibenamkan sebelumnya. Rombongan pengawal yang mengiringi sang putri segera kembali ke Jawa untuk melapor kepada Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada tentang kejadian tragis tersebut.

Demikian dikisahkan dalam Hikayat Raja Pasai bagian ketiga (Jones, 1999: 57-65).

Infografik Kesultanan samudera pasai

Sinyal Runtuhnya Samudera Pasai

Hikayat Raja Pasai dalam bab yang sama melanjutkan cerita ini. Setelah mendapat laporan dari para pengiring Raden Galuh Gemerencang, putri Majapahit yang mengakhiri hidupnya di Samudera Pasai, juga kekejaman Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, Raja Hayam Wuruk murka, begitupula dengan Gajah Mada.

Hayam Wuruk pun memerintahkan Gajah Mada untuk segera menghimpun pasukan dan bergegas berangkat ke ujung barat sana. Slamet Muljana (2005:140) dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara menuliskan dengan cukup rinci serangan dan siasat Gajah Mada ke Samudera Pasai ini. Singkat cerita, pertempuran pun tak terhindarkan. Majapahit ternyata lebih unggul dari tuan rumah.

Dalam situasi yang semakin gawat karena pasukan Majapahit kian merangsek ke pusat istana, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir terpaksa menyelamatkan diri. Ia melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga yang berlokasi kira-kira 15 hari perjalanan dari ibukota Samudera Pasai (Jones, 1999: 57-65).

Serangan Majapahit itu menjadi awal dari keruntuhan Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Meskipun kerajaan Islam ini pada akhirnya masih bisa bertahan hingga bertahun-tahun ke depan, bahkan sempat berjaya pada era Sultanah Nahrasiyah Nahrisyyah (1406-1428), namun pada akhirnya Samudera Pasai runtuh juga.

Intrik dan konflik internal di lingkungan istana menjadi penyebab utamanya, bukan semata karena faktor eksternal macam serangan dari Majapahit. Ditambah lagi dengan kemunculan Kesultanan Malaka pada 1405 yang mengikis dominasi ekonomi Samudera Pasai di zona perdagangan tersebut (Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah, 1997:24). Perjalanan panjang Samudera Pasai semakin mendekati akhir setelah lahirnya Kesultanan Aceh Darussalam pada 1496 hingga penaklukan Portugis pada 1521.

Riwayat Samudera Pasai akhirnya benar-benar tamat pada masa pemerintahan sultan terakhirnya, Zain Al-Abidin IV (1514-1517). Sejak tahun 1524, wilayah kekuasaan kerajaan Islam Nusantara pertama ini diambil-alih oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang menjadi penguasa baru di Serambi Mekkah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS