Menuju konten utama
Andi Yuwono & A. Taroepratjeka

Kedai Kopi Susu Kekinian itu Membuka Pasar Baru

Dua orang pendiri 5758 Coffee Lab ini bercerita banyak tentang merebaknya kedai kopi susu kekinian.

Kedai Kopi Susu Kekinian itu Membuka Pasar Baru
Ilustrasi Andi K. Yuwono & Adi Taroepratjeka. tirto.id/Lugas

tirto.id - Ngobrol kopi dengan Andi K. Yuwono dan Adi Taroepratjeka seperti memasuki pertunjukan teater. Mereka punya lakon masing-masing, dengan percakapan yang hidup dan bersahutan. Sebagai salah dua pendiri 5758 Coffee Lab, kampus kopi kedua di Indonesia, Andi dan Adi—nama mirip ini sedikit mengingatkan saya pada Thomson dan Thompson di komik Tintin—punya peran masing-masing.

Di 5758 yang terletak di kawasan Geger Kalong, Bandung, Andi menjadi instruktur di beberapa kelas—seperti kelas barista atau penyeduhan manual. Dia juga kerap mendapat tugas administrasi dan urusan-urusan yang mewajibkan memakai kemeja dan berpenampilan rapi.

Sedangkan Adi adalah nama masyhur di dunia kopi Indonesia. Dia adalah instruktur Q Grader pertama di Indonesia, dan sekarang satu dari 153 Arabica Q Grader dari Indonesia.

Sebagai informasi, Q Grader adalah orang yang punya kemampuan untuk menilai kopi dengan standar yang telah ditetapkan oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA). Untuk lolos jadi Q Grader, seseorang harus melewati 22 jenis tes. Tentu saja tes ini banyak melibatkan minum kopi.

"Ya sampai muntah-muntah," kata Adi dan Andi terbahak.

Ada anekdot tentang tes Q Grader: Pada hari pertama, kedua, dan ketiga, para peserta masih bisa senyum dan ketawa-ketiwi. Di hari keempat sampai akhir, wajah mereka murung hingga menangis. Anekdot lain: di hari satu, dua, dan tiga, semua makanan dan kudapan selalu habis. Hari keempat hingga hari terakhir, tak ada yang menyentuh makanan itu.

“Keburu stres duluan,” kata Adi, nyengir.

Pada satu pagi Bandung yang hangat, ditemani secangkir latte dari fine robusta Lampung (untuk saya), dan bercangkir-cangkir kopi hitam untuk Andi, kami banyak mengobrol soal fenomena kopi kekinian, bisnis kedai kopi, hingga fenomena kedai kopi yang mendapat pendanaan modal ventura. Adi sesekali nimbrung karena dia sedang sibuk mengajar di kelas barista—satu dari 30-an kelas yang diajarkan di 5758.

Bagaimana kalian memandang fenomena kopi susu kekinian? Atau apa ya sebutannya? Kopi susu gaul?

Andi: Sebetulnya kopi gaul atau enggak gaul itu sama saja. Tapi, trennya kopi ini disebut gaul, kopi susu kekinian. Problemnya dia punya masa jenuh dan membutuhkan waktu untuk berkembang lagi. Dari dulu kan kopi susu juga enggak hilang. Jadi perkara grafik. Ada yang naik, ada yang turun. Jadi, kalau suatu saat nanti tren ini turun, pasti ada lagi tren kopi yang naik. Entah apa.

Adi: Pernah ada satu periode, untuk lihat sebuah kedai kopi itu serius atau enggak, lihat mesinnya. Sekarang, kalau mau lihat kedai kopi kekinian itu gampang. Lihat apa mereka punya plastic cup sealer atau enggak (terkekeh).

Di Bandung, kedai kopi kekinian juga banyak sekali, ya? Kemarin anda menghitung, menyebut angka kasar 400 sampai 600 kedai kopi?

Andi: Itu teman yang bikin survei, menghitung kedai yang (levelnya) di atas warkop. Asal yang spesialisasinya kopi. Hitungannya ya sekitar itu.

Termasuk yang jual kopi saset?

Andi: Wah kalau ditambah itu, jumlahnya jelas ribuan.

Tapi selama ini ada enggak sih survei yang menghitung jumlah kedai kopi secara serius?

Andi: Enggak kebaca. Tidak ada tenaga, siapa yang mau melakukan? Jumlahnya banyak banget.

Terlalu banyak yang datang dan pergi, ya?

Andi: Ibaratnya gini, kita buka jalan. Yang di bagian ini selesai, terus bangun yang di ujung jauh. Sampai sana, yang sebelumnya selesai sudah ditumbuhi rumput lagi. Data yang kami punya simpang siur, ada yg 400, ada 600, ya sudah kami pakai 600 dululah, wong tumbuhnya luar biasa juga, kok.

Sebenarnya, tren kopi susu kekinian itu apa terjadi di seluruh dunia atau cuma di Indonesia?

Andi: Tren ini juga terjadi di negara lain. Tapi menurutku, mungkin yang paling masif adalah Indonesia. Karena pasarnya gede banget. Di Singapura atau Thailand, misalnya, penduduknya kecil. Secara konsumsi, kita per kapitanya memang kecil, tapi jumlah penduduknya buanyak.

Katakanlah, satu orang Indonesia konsumsi cuma 500 gram. Tapi, jumlah penduduk kita lebih banyak dibandingkan di luar yang mengonsumsi satu kilogram tapi penduduknya sedikit.

Tren kopi susu kekinian itu bisa dikategorikan termasuk gelombang keempat kopi enggak, sih?

Andi: Dia malah balik ke gelombang kedua, kira-kira. Tidak serewel kopi gelombang ketiga. Gelombang ketiga ini tempelannya banyak. Soal kesejahteraan petani, soal lingkungan, sampai asal muasal kopi. Soal lingkungan, misalkan.

Kedai-kedai kopi kekinian ini pakai apa? Plastik. Kita coba menghindari plastik, tapi enggak ada replacement. Itu yang susah. Misal, kita anjurin orang-orang bawa wadah sendiri, ya enggak bisa kaku-kaku bangetlah.

Banyak orang menyeletuk: gelombang ketiga saja belum paripurna di Indonesia, mengenalkan specialty coffee saja belum tuntas, sudah diserbu kopi susu kekinian. Apa pendapat kalian soal ini?

Adi: Memang di luar negeri, seperti Amerika, semua orang minum specialty? Enggak. Kopi di Dunkin' Donuts itu enak. Biasanya yang mengaku gelombang-gelombang itu tidak pernah making money, kok. Yang enggak peduli dengan gelombang ini yang biasanya making money, karena mereka melihat pasar maunya apa.

Kalau buat saya, bussiness is bussiness. Harus dihitung kapan balik modal, dan lain-lain.

Menurut kalian, tren kopi kekinian apakah meningkatkan konsumsi kopi lokal?

Adi: Kopi susu kekinian itu membuka pasar baru. Bikin orang makin banyak minum kopi.

Andi: Kalau soal kebutuhan kopi dari coffee shop yang terkenal saja sudah mencapai ton-tonan per bulan. Yang mengkhawatirkan malah harga biji kopi kita yang terlalu mahal.

Untuk specialty atau biji apa pun?

Andi: Iya, yang specialty. Di Indonesia itu terlalu mahal kalau dibandingkan kopi dari luar. Misalkan, kopi Gayo. Bandingkan dengan kopi Ethiopia yang sudah ada di Jakarta. Murah mana? Lebih murah Ethiopia.

Kalau pelaku industri jujur, ketika ditanya milih kopi yang mana, pasti akan memilih kopi impor. Karena marjinnya tinggi. Harga beli bijinya lebih murah, dan harga jual dalam bentuk jadi lebih mahal karena ada embel-embel Ethiopia.

Petani harusnya senang dong harga kopi naik?

Andi: Memang mereka selalu berharap harga kopi naik, tapi sampai segimana kemampuan (pembelinya)? Enggak mungkin kopi kita dari Rp20 ribu naik jadi Rp100 ribu. Siapa yang mau beli?

Ini sama seperti masalah buruh, kan. Perusahaan sebenarnya tidak akan bermasalah kalau UMK naik. Karena ada barang yang bisa dijual. Kan tinggal menyesuaikan angkanya saja. UMK naik, harga barang produksi dinaikkan juga. Cuma ya itu masalahnya: laku atau enggak?

Adi: Kapan hari aku dengar cerita, importir besar dari Eropa dan Amerika mulai mengurangi pembelian kopi dari Indonesia, karena harganya terlalu mahal.

Selama anda aktif mendampingi petani, apa semua barang yang harganya naik terserap pasar?

Andi: Enggak, enggak selalu. Kalau barangnya jelek, siapa yang mau? Balik lagi pasarnya komersial, jadiin saset.

Jadi diserap untuk pabrik kopi saset?

Andi: 75 persen masih dikuasai mereka. Kopi saset mau kalian hilangkan? Gila saja. Ya enggak bisa. Nasib petani? Nasib buruh? Kalau kopi saset mau dihilangkan, kopi dijual harga Rp10 ribu per gelas, buruh mampu beli itu tiga kali sehari?

Jadi industri yang mendukung pertumbuhan konsumsi kopi ini sebenarnya adalah tanggung jawabnya si kopi-kopi saset. Kalau mau ganti specialty, mereka bisa saja. Kapital ada, orang ada, bisnis ada, peralatan lain-lain. Tapi, problemnya, bagaimana nasib petani yang 70 persen barangnya masuk situ?

Menurut anda, apa ada sisi yang patut diperhatikan dari menjamurnya kedai kopi kekinian?

Andi: Gaji barista, mungkin salah satunya.

Kenapa gaji barista? Terlalu kecil?

Andi: Di kota kecil, gaji barista cuma satu juta. Malah banyak yang di bawah itu. Temanku yang survei itu bilang, 95 persen gaji barista (di Bandung) itu di bawah UMK, 4 persennya sesuai UMK, dan 1 persennya di atas UMK. [Catatan: UMK wilayah Bandung antara Rp2,9 juta - Rp3,3 juta.]

Gaji barista di 5758 berapa?

Andi: (Tertawa). Per 1 Januari 2019 sudah di atas UMK. Sebelumnya ya sesuai UMK, sekarang di atasnya, walau masih sedikit.

Jadi masuk yang 4 atau 1 persen?

Andi: 4 persen dan 1 persen. Karena gaji pokok di atas UMK. Dan barista di sini bisa dapat tambahan dari insentif mengajar dan macam-macam. Rekor gaji barista kami Rp9,5 juta. Lebih gede ketimbang gajiku (tertawa).

Jadi barista kami kerja keras? Ya. Apa gajinya cukup? Sangat cukup. Kalau di tempat lain ya kami enggak bisa ngapa-ngapain. Karena skema bisnisnya beda. Skema bisnis di sini bukan coffee shop, tapi ini kantin kayak di sekolah, jadi kami enggak ambil keuntungan dari sini. Bisnis utama kami kan sekolah kopi.

Ada banyak orang yang bermimpi bikin coffee shop untuk jadi kaya. Itu ngimpi. Kecuali dia punya modal gede, bikin gede sekalian, banyak tempat, marjin tipis tapi kan penjualan banyak.

Perkara barista ini, apakah akan jadi masalah yang laten? Maksudnya, selama ini profesi barista dianggap elite. Keren. Tapi ternyata gajinya tidak layak?

Andi: Dianggap elite dan keren karena orang cuma lihat dari permukaannya. Dari filmlah kalau di Indonesia, Filosofi Kopi, yang awalnya dari novel. Problemnya dengan gaji segitu, kebutuhan hidup kan macam-macam. Tato, misalkan. Sepatu? Baju? Motor? Jadi, barista Itu pekerjaan profesi yang menjanjikan atau sebuah jebakan?

Ini terjadi di hampir semua kedai kopi?

Andi: Yang paling menderita dari seluruh rangkaian itu ya buruh, termasuk barista. Karena barista ya termasuk buruh. Kalau mereka enggak mau disebut buruh hanya karena tampilan mentereng, ya lucu, kayak mereka yang merasa kelas menengah tapi enggak sadar dirinya buruh.

Jadi barista ini malah salah satu yang paling rentan. Kalau petani malah tidak termasuk rentan, karena punya aset.

Selain itu, roaster jadi profesi paling rentan karena mahal alatnya. Tapi ya keuntungan paling tinggi salah satunya ada di mereka.

Jadi high risk high return, ya?

Andi: Yup, risikonya tinggi. Salah roasting, kelar. Sementara kalau barista salah dikit, kita masih punya opsi lain. Kalau di-roasting, telat 5-10 detik ya sudah habis, dan itu paling berat.

Setelah itu baru barista yang rentan?

Andi: Kalau ngomongin barista rentan, ya kedai kopinya rentan. Kalau enggak rentan, kenapa coba baristanya enggak dibayar tinggi? Jadi potensi ngos-ngosannya ya ada di coffee shop.

Adi: Di 5758 ini menurutmu berapa pendapatannya? Cuma Rp1,5 juta per hari. Nombok. Tapi kami tidak memakai kopi sebagai jualan utama, tapi sekolah kopi. Jadi kedai kopi di 5758 ini kayak kantin. Karena kami punya sekolahan sebagai pendapatan utama, jadi bisa idealis garis miring tolol.

Di coffee shop lain, yang fokusnya ke jualan kopi, godaannya banyak. Misalkan ada pikiran: biar makin unik, makin hemat, ayo roasting sendiri. Belilah mesin sangrai, investasi lagi, minimal Rp40 juta sampai ratusan juta.

Terus jualan bean. Misalkan satu kilo green bean anggap Rp100 ribu, jadi satu karung Rp6 juta. Itu satu jenis kopi. Kalau tiga jenis biji kopi? Sudah Rp18 juta.

Tapi ada kedai kopi yang dapat pendanaan ratusan miliar?

Andi: Aku banyak berdebat dengan Derby (Sumule, satu dari dua pemilik Coffeewar, Jakarta Selatan) soal sejauh mana sih masifnya itu? Aku masih bingung bagaimana mereka meyakinkan investor. Kalau aku punya duit pun, aku enggak akan masukkan investasi ke kedai kopi.

Gini deh. Kami punya tempat ini, program sudah jalan lama, ada enggak sih yang mau ngasih Rp118 miliar kalau kita bikin proposal? Enggak akan ada yang mau.

Jadi perlu dicari tahu apakah investornya punya kepentingan tertentu atau apa? Apa yang mau ditarik dari investasi itu? Marjin profit? Atau brand awareness? Mau berapa lama? Ini beda dengan, katakanlah, Gojek. Yang dijual memang data.

Adi: sekarang itu banyak orang masuk bisnis kopi karena ego dan sisi nice di luarnya. Investasi alat, mahal-mahal. Tapi utilisasinya rendah. Kapan hari kami ngobrol dengan teknisi mesin kopi, yang baru benerin mesin kopi dari sebuah kedai kopi bagus, yang punya terkenal. Mesinnya jebol karena enggak pernah dipakai. Dia beli mesin yang over kapasitas, tapi jarang dipakai. Jadinya rusak.

Kayak Fore, Kenangan, atau Luckin Coffee (Tiongkok) itu sudah di luar nalar kami. Itu mainannya duit, mainannya para venture capitalist. Luckin Coffee yang di Cina punya 1.000-an outlet aja masih rugi. Tapi tujuan mereka ya IPO di New York. Jadi valuasi.

Soal ini, dunia digital memang banyak membantu dunia kopi?

Andi: Berpengaruh? Iya. Mempermudah, itu iya. Misalkan gue ngopi pengin beli kopi di suatu tempat yang agak jauh, mendingan bayar Rp10 ribu buat delivery Gojek. Suka enggak suka, Gojek itu membantu. Apakah mereka menghilangkan interaksi (antara penjual dan pembeli)? Iya. Tapi buktinya banyak yang hidup dari situ, kok.

Ada pendapat begini: kedai kopi kekinian itu punya kualitas kopi yang tidak terlalu bagus karena dicampur berbagai elemen, seperti susu atau sirup. Bagaimana menurut kalian?

Adi: Memang semua kedai kopi third wave itu kopinya bagus? Ya enggak. Yang pasti, biasanya, kedai kopi yang mendaku diri sebagai kedai kopi specialty, enggak akan pakai kopi specialty.

Andi: Gampang kok liat kopi specialty atau enggak. Cek saja biji kopinya, apa ada retaknya? Kami saja enggak berani mendeklarasikan sebagai kedai kopi specialty. Moto kami: We only brew good coffee. Good coffe itu kan subyektif.

Adi: Kadang muncul militansi enggak jelas, soal kopi enggak boleh pakai gula. Ya harusnya terserah yang beli. Ada juga yang bilang: Minum kopi harus digiling, bukan digunting. Padahal ya sebelum digunting ya tetap digiling (tertawa).

Baca juga artikel terkait KOPI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Indepth
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam