Menuju konten utama

Kecam Pembunuhan Jurnalis Khashoggi, Erdogan Berangus Pers di Turki

Erdogan terus mendesak Saudi untuk mengungkap dalang pembunuhan jurnalis Khashoggi. Di Turki sendiri, kebebasan pers makin terancam selama Erdogan berkuasa.

Presiden Recep Tayyip Erdogan di tengah massa. FOTO/cbc.ca

tirto.id - Sudah lebih dari sebulan berlalu Jamal Ahmad Khashoggi, jurnalis Arab Saudi yang bekerja di Washington Post dinyatakan hilang di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki pada 2 Oktober 2018.

Belakangan Khashoggi dinyatakan tewas dibunuh di dalam kantor konsulat. Setelah dimutilasi, tubuh Khashoggi dilarutkan dalam cairan asam atau bahan kimia lain.

Sejak dinyatakan hilang dan terbunuh, kasus Khashoggi menyita perhatian dunia. Hujan tekanan terus mendera Kerajaan Arab Saudi. Putra Mahkota Kerajaan Arab, Muhammad bin Salman (MBS) jadi sosok yang dinilai paling bertanggung jawab atas pembunuhan Khashoggi.

Beberapa minggu setelah terdengar kabar bahwa Khashoggi telah terbunuh di dalam konsulat, Presiden Recep Tayyip Erdogan menyatakan terus memantau kasus tersebut dan menuntut tanggung jawab Saudi.

"Saya mengikuti (kasus ini) sebagai Presiden Republik Turki," kata Erdogan dikutip dari CNN. "Saya kejar. Tentunya kami akan membagi hasil kepada dunia," sambil menambahkan bahwa semua rekaman dari pintu masuk atau keluar kedutaan tengah diselidiki.

Otoritas Turki mendesak Saudi untuk mengorek keterangan dari 18 orang tersangka. Turki juga menegaskan bahwa otak di balik pembunuhan Khashoggi, yang mengarah pada MBS, juga harus ditemukan.

"Siapa lagi? Seperti yang telah saya katakan, terlepas dari para pelaku (18 pejabat tinggi Saudi), orang yang memberi mereka perintah juga harus ditemukan," kata Erdogan dilansir dari harian Turki Hurriyet Daily New, Selasa (13/11).

Rekaman audio detik-detik pembunuhan Khashoggi oleh otoritas Turki dibagi-bagikan ke Saudi, Amerika Serikat, Perancis, Kanada, Jerman, dan Inggris. Dilansir dari Gulf Times pada Rabu (14/11), Erdogan disebut membahas rekaman tersebut dengan AS, Perancis, dan Jerman.

Turki bersikeras agar 18 tersangka pelaku pembunuhan Khashoggi diekstradisi ke Turki untuk diadili sesuai hukum setempat.

"Biarkan unit hak asasi manusia dari semua organisasi yang dihormati, dari PBB ke Uni Eropa, datang dan menyaksikan persidangan ini," kata Omer Celik jubir Erdogan dilansir dari Reuters. "Biarkan mereka menilai apakah persidangan itu sesuai dengan standar hukum internasional," tambah Celik pada Rabu (14/11) kemarin.

Konvensi Wina 1961 mengatur bagaimana negara tuan rumah harus menghormati kekebalan diplomatik dari kedutaan asing di teritorinya. Di sisi lain, ketentuan yang sama juga menyatakan bahwa diplomat asing harus menghormati hukum setempat. Beberapa ahli berpendapat bahwa kasus pembunuhan Khashoggi bisa masih bisa ditangani oleh hukum Turki karena terjadi di teritori Turki.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/07/02/kemenangan-erdogan--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik Kemenangan erdogan" /

Gimik Erdogan, Kebebasan Pers Terjun Bebas

Jika Saudi beringas kepada pers, demikian pula Turki.

Di bawah rezim Recep Tayyip Erdoğan, Turki menjadi negara yang sangat memusuhi perbedaan pendapat dan kebebasan pers. Kegagalan percobaan oleh sebagian faksi militer pada 2016 menjadi dalih bagi Erdogan untuk memberangus lawan politik yang turut menyasar kebebasan pers. Siapapun bisa dicap makar dan terlibat aktivitas terorisme. Fethullah Gulen, bekas mitra politik Erdogan, dituduh sebagai dalang di balik kudeta sampai-sampai para pengikut diburu dan disingkirkan dari jabatan-jabatan mereka di pemerintahan.

Pasca-kudeta 2016, ada lebih dari 150 jurnalis yang dijebloskan ke penjara dengan . Beberapa di antaranya bahkan diganjar hukuman penjara seumur hidup. Lebih dari 180 media ditutup dan sekitar 2.500 jurnalis kehilangan pekerjaan.

Meski sejumlah jurnalis dibebaskan pada 2017, Turki tetap menjadi negara terburuk dalam 81 tahun terakhir untuk urusan kebebasan pers, menurut rilis laporan Committee to Protect Journalists (CPJ) pada 2017. Wajar bila kemudian Word Press Freedom Index 2018 menempatkan Turki di peringkat 157 dari 180 negara.

Di tengah pidato berapi-api Erdogan mengutuk pembunuhan jurnalis Khashoggi, Ankara kembali membredel surat kabar Cumhuriyet pada Oktober 2018 demikian dilaporkan Ahval News. Manajemennya diganti oleh orang-orang Erdogan. Beberapa jurnalis diberhentikan, sebagian lagi masuk penjara. Ada juga yang memilih mundur.

Pada Juli 2017, sebanyak 17 jurnalis Cumhuriyet diadili di Istanbul. Cumhuriyet adalah salah satu surat kabar harian tertua di Turki yang didirikan pada 1924, tak lama setelah Mustafa Kemal Ataturk memimpin Turki. Cumhuriyet dikenal karena reputasinya yang mempromosikan pluralisme, hak-hak minoritas, perdamaian dengan Kurdi, dan penyelidikan korupsi.

Pada Maret 2018, surat kabar Hürriyet Daily News yang berdiri sejak 1961 dan bekerja sama dengan CNN Turk dibeli oleh sebuah perusahaan bernama Demiroren Holding. Dilansir dari Reuters, perusahaan pembeli yang tiba-tiba muncul itu diduga adalah orang-orang Erdogan sendiri. Menurut surat kabar pro-pemerintah The Daily Sabah, nilai transaksi pembelian Hürriyet mencapai 1,2 miliar dolar AS.

Sejumlah jurnalis dan kolumnis ternama juga pernah merasakan dinginnya lantai penjara Erdogan. Kolumnis Kadri Gursel, pemimpin redaksi Murat Sabuncu, reporter investigasi Ahmet Sik, dan kartunis Musa Kart, misalnya, dituduh memiliki hubungan dengan berbagai kelompok teroris, sebuah tuduhan serius yang tujuannya mendiskreditkan pers.

Ironisnya, buruknya kondisi kebebasan pers di Turki tampaknya masih belum menjadi perhatian besar bagi dunia internasional. Salah satu indikatornya, demikian catat aktivis HAM Joanna Hong dalam opininya di Newsweek, adalah fakta bahwa beberapa media internasional masih menyediakan ruang bagi Erdogan untuk memuat tulisannya.

Setahun setelah percobaan kudeta yang gagal, demikian tulis Hong, Erdogan diberi ruang untuk menulis opini di The Guardian di mana ia mengklaim Turki sedang membela nilai-nilai demokrasi. Tiga bulan lalu, The New York Times memuat kritik Erdogan terhadap kebijakan luar negeri AS di era Trump terhadap Turki. Pada september 2018, Wall Street Journal menampung opini Erdogan soal Suriah.

International Press Institute (IPI) yang peduli terhadap kebebasan pers dan kasus kriminalisasi jurnalis menggunakan kasus Khashoggi untuk menyoroti keprihatinan mereka atas pemberangusan media di Turki.

"Sifat mengerikan dari pembunuhan #Khashoggi seharusnya tidak mengalihkan perhatian dari persekusi yang dilakukan oleh Turki terhadap jurnalis," kicau Press International Institute yang bermarkas di Wina lewat akun Twitternya, Oktober silam.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf
-->