Menuju konten utama

Kebun Binatang Manusia: Jejak Kelam Rasisme di Eropa & Amerika

Kapitalisme+rasisme+neo-imperalisme=kebun binatang manusia di akhir abad 19 hingga awal abad 20. Atas nama “primitif” dan “eksotisme”.

Kebun Binatang Manusia: Jejak Kelam Rasisme di Eropa & Amerika
Orang pribumi Filipina dipamerkan di Dreamland, Coney Island dalam sebuah pertunjukkan "Igorot Village". FOTO/Perpustakaan Kongres Amerika Serikat (Library of Congress).

tirto.id - Sejarah dunia adalah sejarah rasisme. Keyakinan itu dipegang oleh banyak pemikir berdasarkan analisis perilaku tak manusiawi orang-orang kulit putih di masa lampau terhadap orang-orang kulit berwarna.

Perbudakan adalah manifestasinya yang paling umum. Contoh lain, yang barangkali yang belum diketahui orang-orang, adalah kebun binatang manusia.

“Human zoo” adalah pertunjukan anggota suku asli Afrika, Asia, dan Amerika Selatan di dalam sebuah kandang, selayaknya kebun binatang, yang sempat populer di Eropa dan Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Antropolog Shoshi Parks menulis untuk Timeline perihal fenomena ini. Ia menyebut asal-usulnya berangkat dari kelahiran pertunjukan sirkus di London pada 1770-an. Sirkus tidak hanya memamerkan kemampuan atletis atau hewan eksotis, tetapi juga orang-orang aneh.

Konsep “aneh” dalam kepala orang Eropa juga berkembang. Tidak hanya untuk mereka yang lahir dengan kondisi fisik tidak wajar. Tapi juga suku-suku asli dari luar Benua Biru dengan warna kulit, kebudayaan, dan gaya hidup yang berbeda.

Ideologi tersebut selaras dengan rasisme yang melekat pada proyek kolonialisme Eropa. Kebun binatang manusia adalah etalase untuk menunjukkan klaim bahwa strata orang kulit putih (penjajah) lebih tinggi serta lebih beradab dibanding orang kulit berwarna (terjajah) yang “primitif”.

Dalih “Pertunjukan Budaya Asing”

Nigel Rothfels dalam bukunya, Savages and Beasts: The Birth of Modern Zoo (2008), mengungkapkan pelopor kebun binatang manusia adalah Carl Hagenbeck, wirausahawan binatang eksotis asal Jerman.

Hagenbeck punya reputasi bagus berkat kepiawaian mendapatkan binatang liar di sepanjang pertengahan 1800-an. Kebun binatang di Eropa banyak yang disuplai oleh hasil buruannya.

Pada suatu hari, ia disarankan temannya untuk membawa serta orang suku asli yang paham soal binatang eksotis. Hagenbeck menyambutnya sebagai ide brilian. Ia kemudian membawa serta orang suku Sami asal Skandinavia bersama rusa kutub Utara yang hendak ia pamerkan.

Hagenbeck menyulap sebagian kecil lahannya, persis seperti tempat tinggal orang Sami, termasuk rumah tradisional dan aksesoris pelengkapnya. Orang-orang Sami dibiarkan hidup sebagaimana mereka biasa menjalankan aktivitas harian di tempat asal, plus ritual khas mereka.

Selain binatang eksotis, orang-orang Sami ini segera menjadi daya tarik yang luar biasa bagi warga Jerman yang belum pernah melihat orang “primitif”. Hagenbeck mengklaimnya sebagai pertunjukan kebudayaan asing.

Hasil Perkawinan Rasisme & Imperialisme Baru

Seiring membludaknya penonton pertunjukan Hagenbeck, kapitalis Eropa lain ingin juga kecipratan untung. Upaya untuk membikin kebun binatang manusia tandingan mulai muncul pada tahun 1830-1840-an. Namun popularitasnya memuncak sejak 1870—era Imperialisme Baru (New Imperialism).

Kebun binatang manusia makin sering dipertunjukkan di Paris, Hamburg, Berlin dan London. Juga di Barcelona, Milan, New York dan kota-kota besar di Eropa dan Amerika Serikat.

Hagenbeck membawa orang-orang suku asli Samoa dari kawasan Polinesia, suku Nubia dari selatan Mesir, orang Inuit yang tinggal di kawasan Antartika, dan manusia-manusia unik dari berbagai belahan dunia yang baru dijumpai orang Eropa.

Pesaing Hagenbeck mempertunjukkan kebun binatang yang berisi manusia asli Madagaskar, Senegal, hingga Suriname. Ada pula yang membawa orang-orang pribumi dari wilayah Asia, terutama Srilanka, India, dan suku asli di Filipina.

Amerika Tengah dan Selatan, kawasan yang pertama kali dieksplorasi para penjelajah Eropa, tak luput dari bisnis ini. Orang suku asli di Cile hingga ke Puerto Rico diboyong untuk dipamerkan di “world fair” yang diselenggarakan di Saint Louis, AS, hingga ke Antwerp, Belgia.

Komunis & Pendeta Satu Suara: Menolak

Sekali lagi, di era ketika rasisme dan imperialisme bergandengan mesra, praktik tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah. Tapi, bukan berarti tidak ada yang mengkritiknya. Contohnya ada pada pertunjukan tahun 1931 di Paris yang menyedot 34 juta orang selama enam bulan.

Partai Komunis Perancis mengadakan pertunjukan tandingan dengan judul “Apa yang Sebenarnya Terjadi di di Negeri Jajahan”. Penontonnya lebih sedikit, namun pesannya jelas: kebun binatang manusia adalah perbudakan dalam bentuk lain.

Sejumlah pendeta kulit hitam di New York juga menentang pertunjukan manusia Afrika di Kebun Binatang Bronx. Pengelola kebun binatang menampilkan anggota suku asli Kongo bernama Ota Benga. Benga satu kandang dengan orang utan bernama Dojong dan seekor burung beo, tajuknya “The Missing Link”.

Pertunjukan itu, kata para pendeta, melukai hati mereka sebab jelas-jelas menyiratkan bahwa Benga dan orang kulit hitam lain adalah manusia yang belum selesai berevolusi. Sayangnya, suara mereka minoritas. Benga tetap mengundang lonjakan pengunjung, demikian lapor New York Times.

Merujuk kembali ke catatan Shoshi Parks, perlakuan tidak manusiawi sudah diterima para anggora suku asli yang dibawa ke Eropa atau Amerika sejak pertemuan pertama. Ada yang dibawa paksa, ada pula yang ditipu dengan janji pendidikan dan kehidupan yang lebih baik.

Direndahkan Secara Sistematis

Beberapa ada yang ikut penjelajah secara sukarela, atau dipaksa kondisi ekonomi. Salah satu contohnya ialah Theodor Wonja Michaels, narasumber utama Annika Zeitler dalam laporannya untuk Deutsche Welle pada awal 2017.

Pada akhir abad ke-19, Wonja dan keluarganya bersedia pindah dari Kamerun ke Eropa untuk mencari pekerjaan yang layak. Sayangnya, satu-satunya bisnis yang mau menyewa tenaga mereka adalah pengelola kebun binatang manusia.

Zeitler menyebutkan bahwa pebisnis seperti Hagenbeck berkilah bahwa usaha kebun binatang manusia ini adalah kesempatan orang suku asli untuk jalan-jalan keliling dunia.

Kata-kata manis ini ia sebut sebagai ilusi belaka. Orang-orang dari suku asli, entah dipaksa maupun sukarela, pada akhirnya tetap berakhir sebagai komoditas. Wonja dan keluarganya, misalnya, mau dijadikan objek tontonan, karena rasisme membuat mereka kesulitan mendapat pekerjaan yang layak.

Mereka diperlakukan bak buruh kontrak yang akan ditendang jika sudah tidak diperlukan lagi jasanya. Nasib di luar kebun binatang jauh lebih keras sekaligus tidak menentu. Sebagai anggota suku asli non-kulit putih, mereka kesusahan untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern ala Barat.

Kondisi kesehatan mereka juga memprihatinkan. Saking buruknya, banyak yang meninggal karena sakit keras selama perjalanan memakai kapal. Lainnya meregang nyawa saat baru beberapa bulan atau tahun dieksploitasi di Eropa atau Amerika.

Infografik Kebun Binatang Manusia

Kisah Paling Sedih Ota Benga

Shoshi Parks menyatakan kisah paling sedih adalah yang dialami oleh Ota Benga. Orang yang membawanya ke AS adalah misionaris Samuel Phill Verner. Benga ditipu dengan janji akan disekolahkan. Namun, sebenarnya Verner hanya ingin memeras keuntungan dari Benga.

Kabar keberhasilan Verner menyebar dengan cepat. Ia kemudian disewa pengelola kebun binatang dan pertunjukan untuk membawa Benga-Benga lain dari tanah Afrika. Kekayaannya berlipat dengan segera, sementara Benga kian diperlakukan secara semena-mena.

Pada suatu ketika, Benga sempat diminta untuk mengikir giginya menjadi tajam—selayaknya gigi binatang buas.

Benga kemudian menjadi objek tontonan paling populer di antara anggota suku asli lain. Ia tidak hanya dipamerkan di Saint Louis, tetapi dibawa keliling kota-kota besar lain.

Benga dikapitalisasi Verner hingga tahun 1906. Selanjutnya, ia diserahkan ke pihak Kebun Binatang Bronx di New York. Sikap kontra dari para pendeta membuat ia dinonaktifkan dan dipindahkan ke panti yatim piatu.

Benga tak pernah kembali ke Kongo. Pada 1916, setelah lebih dari satu dekade tinggal di Negeri Paman Sam, Benga bunuh diri dengan sepucuk pistol. Usianya kala itu baru 32 tahun.

Popularitas kebun binatang manusia masih terjaga hingga era Perang Dunia II. Faktor penting yang berperan menghapus praktik kebun binatang manusia adalah dekolonialisasi negara jajahan dan menjamurnya organisasi-organisasi kemanusiaan berskala global sejak pertengahan abad ke-20.

Shosi menyatakan faktor lain: televisi. Kehadiran kotak ajaib secara efektif mampu mengenalkan dunia beserta manusia dan kebudayaannya ke masyarakat di benua Eropa dan Amerika Utara.

Dampaknya, jelas Shoshi, adalah berkurangnya rasa penasaran orang kulit putih atas hal-hal “primitif” dan “eksotis”. Efeknya lanjutannya, pengunjung pertunjukan kebun binatang manusia kian sepi. Apalagi suara aktivis anti-rasisme makin mengencang. Bisnis rasis itu pun akhirnya kolaps dengan sendirinya.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf