Menuju konten utama

Kebrutalan Kartel Narkoba Ekuador di Dalam Penjara

Di Ekuador, tahanan mengalami penyiksaan bahkan pembunuhan. Biang keroknya bukan sipir, melainkan sesama tahanan yang terlibat rivalitas antar geng.

Kebrutalan Kartel Narkoba Ekuador di Dalam Penjara
Kerabat narapidana menunggu berita di luar penjara Litoral setelah kerusuhan, di Guayaquil, Ekuador, Selasa, 28 September 2021. (AP Photo/Angel DeJesus)

tirto.id - Puluhan bahkan mungkin ratusan orang berkerumun di depan kompleks penjara Guayas atau Lembaga Pemasyarakatan Litoral di Guayaquil, Ekuador, akhir September lalu. Mereka memikirkan nasib keluarga yang sedang ditahan. Sebagian percaya mereka masih hidup, sebagian lain hanya menunggu untuk setidaknya bisa melihat jasad.

Di dalam sana sedang terjadi peristiwa mengerikan: perang antargeng.

“Tahanan berteriak minta tolong: ‘Mereka membunuh kami, panggil polisi! Mereka harus masuk ke paviliun lima’. Lihat polisi di mana, mereka malah ada di luar sini. Yang berteriak itu saudara laki-laki saya, dia bukan anjing!” kata seorang keluarga tahanan, dilansir BBC.

Polisi kesulitan meredam situasi. Mereka mengerahkan 900 pasukan ke penjara terbesar di Ekuador tersebut, yang kapasitasnya mencapai 5.000 orang tapi dihuni kira-kira 8.500 orang—alias kelebihan 55 persen—yang terbagi ke dalam 12 blok. Akibatnya fatal. Perang mengakibatkan setidaknya 119 tahanan tewas.

Konflik berawal pada 28 September dan selesai 1 Oktober 2021. Setelah perang mereda, ditemukan banyak jenazah yang sulit diidentifikasi.

Daniel Villacis, salah satu keluarga tahanan, harus bertemu dengan tiga anaknya, David, Darwin, dan Johnny di kamar mayat. Villacis tak bisa berduka dengan tenang. Ia masih khawatir sebab anaknya yang keempat masih berada di lapas. “Dia anak laki-laki terakhir yang saya miliki,” kata Villacis, dilansir CNN. “Dia ditahan karena penyalahgunaan narkotika. Saya tahu dia membuat kesalahan, tapi di dalam dia merisikokan nyawanya.”

Belum sampai dua bulan berlalu, November ini, perang kembali pecah di lapas yang sama. Kali ini jumlah korban mencapai 68 dan lebih dari 24 luka-luka. Sementara pada Februari korban jiwa mencapai 79, berasal dari empat lapas, termasuk Litoral yang terletak di kota paling besar Ekuador.

Hampir 300 narapidana tewas sepanjang tahun ini di Ekuador dan kejadian di pengujung September adalah kekerasan yang terkait gangster terburuk dalam sejarah negara tersebut.

Kejadian pada September sebenarnya membuat pemerintah Ekuador berencana memberi amnesti bagi 2.000 tahanan. Rencana itu belum terealisasi dan perang antar geng meledak kembali.

“Apa yang [Presiden Ekuador Guillermo] Lasso tunggu? Korban jiwa lebih banyak lagi?” kata anggota keluarga tahanan lainnya, Maritza Vera. “Tolonglah, di mana hak asasi manusia? Kami mengira situasi ini akan berubah, tapi malahan lebih parah.”

Tidak Berdaya

Penguasa sesungguhnya Lapas Litoral adalah geng yang punya bisnis penyelundupan narkotika. Ada sekitar 7 kelompok gangster dalam lapas tersebut: Los Lobos, Los Choneros, Los Cubanos, Los Tiguerones, Chone Killer, Los Lagartos, dan Latin King. Dua yang paling berkuasa adalah Los Choneros dan Los Cubanos. Keduanya disebut punya hubungan dengan kartel Meksiko.

Salah satu pemimpin Los Choneros adalah José Adolfo Macías Villamar alias Fito yang dijuluki “Pablo Escobar dari Ekuador”. Kekuasaannya mencakup blok 5 dan 12 di Lapas Litoral. Pembantaian dan adegan-adegan pembunuhan yang ada dalam film-film benar-benar bisa terjadi dengan perintah Fito.

Bukti nyatanya menimpa Telmo Castro yang sempat jadi kaki tangan El Chapo. Dia meninggal di Lapas Litoral dengan keadaan telanjang, tangan dan kakinya terikat, serta 15 luka tusuk di bagian belakang, juga kepala. Peristiwa itu berlangsung di dalam selnya setelah Castro selesai mandi.

Kesaksian juga datang dari Peter Tritton, warga Inggris yang berkecimpung dalam bisnis penyelundupan narkotika dan berhasil ditangkap. Dia harus menjalani hukuman 9 tahun di Lapas Litoral. Saat itu Lapas Litoral adalah penjara paling berbahaya keempat di seantero Amerika Selatan.

“Tempat di mana tak seorang pun mau dikirim ke sana,” catat Tritton dalam bukunya El Infierno: Drugs, Gangs, Riots and Murder: My Time Inside Ecuador’s Toughest Prisons (2017).

Pemerintah, dengan kondisi penjara yang begitu jahanam, tidak bisa berbuat banyak sebab konflik di antara geng bukan hanya melibatkan batu atau pisau, tetapi juga senjata api. The Conversation melaporkan tahanan bisa mengakses senjata api dengan mudah, termasuk juga granat tangan. Sementara sipir, seperti di Indonesia, hanya bersenjatakan tongkat pemukul.

Sebagai respons terhadap kejadian berdarah di akhir September, yang merupakan kekerasan penjara terburuk dalam sejarah Ekuador, Presiden Guillermo Lasso mengumumkan “state of emergency” demi memudahkan penugasan polisi dan militer ke berbagai lapas. Pada 20 November kemarin, status darurat ini diperpanjang hingga 30 hari ke depan.

Bisnis Besar Narkotika

Kekerasan berakar dari masalah klise di antara para bandit: jatah perdagangan narkotika. Terletak di antara Kolombia dan Peru menjadikan Ekuador lokasi transit ideal untuk perdagangan obat-obatan terlarang dengan Meksiko.

Awalnya grup gerilyawan The Revolutionary Armed Forces of Colombia—People's Army (FARC) yang membuka jalur transportasi narkotika. Kemudian masuklah kartel Sinaloa asal Meksiko yang dipimpin oleh Joaquin “El Chapo” Guzman lalu menyusul kelompok-kelompok lain.

Dari penyelidikan Insightcrime.org ditemukan setidaknya dua jalur distribusi kokain yang melalui Ekuador: Rute Pasifik dan Rute Amazon. Rute Pasifik biasanya mendapat kiriman kokain yang diproduksi dari Nariño, daerah perbatasan Kolombia dengan Ekuador; sedangkan Rute Amazon menampung barang dari Putumayo, daerah penghasil kokain terbesar di Kolombia setelah Nariño.

Dari masing-masing titik pengantaran, kiriman dipisahkan lagi jadi dua jalur untuk dibawa masuk ke Ekuador: darat dan air. Setelah berhasil melewati perbatasan, sebagian besar kiriman diteruskan melalui jalur darat dengan truk, kendaraan pribadi, atau bahkan transportasi publik.

Di Ekuador, barang diantar ke titik pengiriman berikutnya dengan dikawal oleh kendaraan militer, menurut pengakuan salah satu jaringan kartel Sinaloa. Dia mengambil untung 100 dolar AS per kilogram dan pada saat itu pembayarannya bisa mencapai 600 ribu dolar AS. Artinya Telmo “El Capi” Castro setidaknya mengirimkan sekitar 6.000 kg kokain per satu kali pengiriman.

Kapal cepat dan kapal nelayan digunakan untuk meneruskan kokain ke luar Ekuador. Satu lagi yang juga jadi andalan adalah jalur udara, dengan pesawat Cessna, yang bisa membawa setidaknya 600-700 kg sekali perjalanan.

Seluruh kokain itu biasanya berakhir di Amerika Tengah dan menuju tujuan akhir Meksiko—yang tentu disebarkan lagi ke berbagai wilayah lain terutama ke Amerika Utara termasuk Amerika Serikat.

Laporan dari United Nation on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2021 menyebutkan bahwa “penyelundupan kokain ke Amerika Utara biasanya berawal dari negara Andean (Peru, Venezuela, Kolombia, Bolivia, Ekuador) yang kebanyakan berasal dari Kolombia dan Ekuador melalui jalur Pasifik timur. Jumlahnya kurang lebih 74 persen dari total seluruh kokain yang diselundupkan ke Amerika Utara.”

Laporan yang sama menyebutkan ada sekitar 275 juta penikmat narkotika di seluruh dunia. UNODC juga memperkirakan penjualan obat-obatan terlarang melalui situs gelap (dark web) mencapai rata-rata 315 juta dolar AS setiap tahun.

Melihat angka-angka fantastis tersebut, tak mengherankan jalur penyelundupan narkotika di Ekuador jadi rebutan dan para gangster sangat berupaya untuk berkuasa, bahkan di dalam penjara.

Baca juga artikel terkait KARTEL NARKOBA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino