Menuju konten utama

Kebohongan Jessca Krug, Kulit Putih yang Menyamar Jadi Kulit Hitam

Jessica Krug mengundurkan diri dari George Washington University. Ia ketahuan menyaru sebagai orang kulit hitam.

Kebohongan Jessca Krug, Kulit Putih yang Menyamar Jadi Kulit Hitam
Jessica Krug dengan bukunya “Fugitive Modernities” di stan Duke University Press pada pertemuan tahunan American Historical Association 2019 di Chicago. Duke University Press/Facebook

tirto.id - George Floyd tewas empat bulan lalu setelah lehernya diinjak kaki Derek Chauvin, polisi yang sudah 19 tahun tergabung di Minneapolis Police Department (MPD). Kematian Floyd memicu gelombang protes anti-rasis di Negeri Paman Sam, khususnya terkait perlakuan polisi ke orang kulit hitam.

Wali Kota Minneapolis, Jacob Frey percaya, Floyd “masih akan hidup jika dia adalah orang kulit putih”.

Jessica Krug punya cerita lain. Jika hingga tahun 1960-an banyak warga kulit hitam menyembunyikan identitasnya untuk menghindari persekusi, Krug menyaru sebagai kulit hitam. Tak hanya itu, ia juga membangun karier akademiknya selama 12 tahun di George Washington University lewat penyamaran.

Pada 3 September 2020, akun bernama Jessica A. Krug mengunggah tulisan di Medium berjudul “The Truth, and the Anti-Black Violence of My Lies”. Paragraf pertama menjelaskan bahwa Krug bukanlah orang kulit hitam. Sang penulis mengaku menggunakan identitas kulit hitam untuk menutupi fakta dirinya adalah orang Yahudi kulit putih yang tinggal di pinggiran Kansas City.

Kebohongan ini sudah dia tanamkan sedari kecil. Krug beralasan mengidap gangguan kejiwaan sejak dulu. Menurut ahli kesehatan mental yang ia percayai, menyamarkan identitas rasial adalah tindakan umum akibat trauma semasa usia kanak-kanak dan remaja.

Namun, Whitney Laster Pirtle, profesor sosiologi di University of California, Merced, melakukan penelitian kecil untuk menguji apakah "ketidakstabilan ras" (racial fluidity) memengaruhi kondisi kesehatan. Tolak ukur peneliti adalah gejala depresi, keinginan bunuh diri, dan kebutuhan akan konseling kejiwaan.

Hasilnya: “Mengubah identitas ras seseorang tidak ada kaitannya dengan kondisi kesehatan mental yang buruk.”

Menurut Pirtle, dengan mengganti identitas ras, orang bisa menyamarkan garis keturunan keluarganya. Di sisi lain, ketika ada diskriminasi terhadap ras tertentu, mereka yang mengalami ketidakstabilan rasial bisa saja mengaku bukan bagian dari ras tersebut.

“Kami berkesimpulan ketidakstabilan identitas ras ini tidak mewakili kondisi diri yang bermasalah atau lemah. Sebaliknya, ketidakstabilan ini justru menunjukan mereka punya kontrol atas identitas diri,” tegas Pirtle.

Terlepas dari benar-tidaknya alasan Krug, dia sendiri tidak meminta orang-orang memaklumi tindakannya. Dampak penggantian identitas ini, menurut Krug sendiri, telah menyakiti orang-orang dekatnya, terutama orang kulit hitam. Krug mengakui tindakannya sebagai pencurian identitas orang kulit hitam.

“Pelecehan dan pengasingan yang saya terima dari keluarga dan lingkungan bukan beban siapa pun, tetapi beban saya sendiri. Orang kulit hitam tidak berkewajiban untuk menyediakan tempat pelarian bagi mereka yang ditolak oleh kaum non-kulit hitam. Aku sudah melakukannya. Aku tahu ini salah dan tetap saja melakukannya,” catat Krug lagi.

Sewaktu surat Krug terbit, George Washington University belum bisa mengklarifikasi penulis dan cerita di dalamnya. Krug pun bungkam dan kebenaran ini justru diceritakan oleh koleganya, seperti Yomaira Figueroa, dosen kajian diaspora State University of Michigan.

Figueroa sempat memuji buku Fugitive Modernities: Kisama and the Politics of Freedom karangan Krug sebagai karya yang “menakjubkan”. Tapi tiba-tiba saja pengujung Agustus 2020, beberapa akademisi Amerika Latin berkulit hitam meragukan latar belakang Krug setelah muncul pengakuan saudari novelis H.G. Carrillo. Dia memberitahu Washington Post bahwa Carrillo bukanlah orang kulit hitam berdarah Afrika-Kuba, melainkan Afrika-Amerika.

Salah satu akademisi itu kemudian menduga Krug adalah contoh lain dari Carrillo.

Dalam tulisannya, Krug mengaku sudah berkali-kali ingin mengakui kekeliruannya, tapi selalu tertunda. Satu alasannya: Krug adalah pecundang yang tak berani berkata jujur saat itu.

“Aku pecundang. Aku pecundang,” dua kali Krug mengulangi pengakuan itu. “Tidak ada ketidaktahuan, tidak ada kepolosan, tidak ada sesuatu yang bisa saya klaim atau pertahankan. Saya sudah mengambil langkah yang salah ini selama bertahun-tahun.”

Salah Kaprah Transrasial dan Penghinaan Bagi Kulit Hitam

Kisah Krug bukan sesuatu yang baru di Amerika Serikat. Selain Carrillo, kasus yang sempat menjadi sorotan masyarakat luas melibatkan seorang aktivis bernama Rachel Anne Dolezal. Pada 2014, Dolezal menjabat sebagai Presiden kelompok National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), sebuah organisasi anti-diskriminasi kulit hitam legendaris di AS.

Dalam salah satu wawancara dengan KXLY, media lokal di Spokane, Washington, Dolezal bercerita panjang lebar soal kejahatan berdasakan kebencian (hate crime) yang menimpanya selama ini. Di akhir sesi, reporter Jeff Humphrey tiba-tiba mengeluarkan selembar foto dari kantong kemejanya.

“Apa betul ini ayahmu?” kata Humphrey seraya menunjukan foto itu kepada Dolezal.

Tanpa memastikan lagi dengan teliti wajah dalam foto itu, Dolezal membalas: “Ya, itu ayahku” tanpa keraguan. Kepalanya mengangguk.

Seakan tak percaya, Humphery kemudian menanyakan sekali lagi apa Dolezal yakin itu adalah ayahnya. Dolezal tidak mengubah jawabannya sama sekali. Dia justru bertanya balik apa poin yang ingin Humprey tanyakan dari fakta itu. Pertanyaan berikutnya membuat Dolezal bungkam seribu bahasa.

“Apa betul ayahmu orang keturunan Afrika-Amerika?”

“Aku tidak tahu apa yang coba kamu sampaikan,” jawab Dolezal terbata-bata. Tapi Humphrey tidak berhenti.

“Apa kamu benar-benar orang keturunan Afrika-Amerika?”

“Aku tidak tahu maksud pertanyaanmu. Aku sudah mengaku dia adalah ayahku dan dia tidak bisa datang di bulan Januari,” Dolezal menghindar.

Humphrey masih ingin mencecar Dolezal. Tapi setelah jawaban terakhir, Dolezal melengos begitu saja dari Humphrey dan kamera tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sesi itu menjadi momen tersingkapnya tabir kebohongan Dolezal.

Bedanya dengan Krug, Dolezal tidak mau mengakui dia berbohong kendati sudah tertangkap basah. Perempuan yang pernah menuding Universitas Harvard telah bertindak diskriminatif karena memperlakukannya sebagai orang kulit putih ini justru mengaku bahwa dirinya adalah seorang "transrasial". Dalam deskripsi Dolezal, transrasial sama dengan transgender: sama-sama merasa punya identitas ras yang berbeda dengan yang diberikan kepadanya sejak lahir.

Dolezal juga merasa tidak bersalah karena sejak awal bukan dia yang mendaku sebagai orang kulit hitam. Bahkan orang lain mengakui dia sebagai bagian dari orang kulit hitam, tanpa menyinggung ada pula orang yang menanggapnya sebagai kulit putih, seperti dalam kasus Harvard.

“Aku sebenarnya diidentifikasi sebagai transrasial pertama ketika melakukan kerja kemanusiaan di Idaho Barat,” katanya dalam wawancara dengan The Today Show. “Aku diidentifikasi sebagai orang kulit hitam.”

Ellie Freeman, seorang transrasial Korea-Australia mengungkapkan bahwa terminologi transrasial yang digunakan oleh Dolezal salah besar. Freeman mendaku transrasial, tapi “sama sekali berbeda dengan orang macam Rachel Dolezal".

Freeman mengartikan transrasial sebagai orang-orang yang dibesarkan dalam budaya dan ras yang berbeda saat dilahirkan. Ellen misalnya, lahir di Korea Selatan pada akhir tahun 1980-an. Karena kesulitan ekonomi, keluarganya di Korea meminta Freeman diadopsi oleh sebuah keluarga di Australia. Orangtua angkatnya merupakan keturunan Irlandia, Jerman, Skotlandia, dan Inggris.

Setelah dewasa, Freeman baru paham bahwa dia memang berbeda dengan kawan-kawan sekitarnya. Dia sering menerima diskriminasi sebagai orang Asia. Namun setelah kembali ke Korea Selatan dan belajar sebentar di sana, dia tidak bisa menampik kenyataan bahwa dia lebih nyaman di Australia. Situasi pelik untuk memilih dua kebudayaan inilah yang kemudian menjadikannya seorang transrasial.

“Menjadi transrasial sama sekali berbeda dengan “merasa sebagai orang kulit hitam” belaka,” tegas Freeman dalam tulisannya di Media Diversified berjudul “Transracial Doesn’t Mean What Rachel Dolezal Thinks It Means”.

dari University of Cape Town menulis di The Conversation bbahwa ada masanya sejumlah orang kulit hitam harus menyamar menjadi orang kulit putih karena rasisme dan perbudakan. Namun, pemalsuan identitas oleh orang kulit putih seperti Krug dan Dolezal pada dasarnya sama saja dengan mengejek penderitaan orang kulit hitam.

Bagaimanapun, baik Dolezal maupun Krug tidak punya latar belakang penderitaan akibat rasisme seperti halnya yang dirasakan orang kulit hitam. Menjadi orang kulit hitam tidak semata-mata mengarang cerita sedih soal tindakan rasisme dan kemiskinan atau menggelapkan kulit (tanning).

Infografik Jessica Anne Krug

Infografik Jessica Anne Krug. tirto.id/Fuadi

Mencuri Identitas Orang Kulit Hitam

Ada istilah yang lebih tepat bagi orang-orang seperti Dolezal dan Kru, yakni passer. Sederhananya mereka punya sesuatu (biasanya tampilan fisik) untuk diakui sebagai ras yang berbeda dari ras kelahirannya demi mendapat keuntungan tertentu. Dalam buku berjudul berjudul A Chosen Exile: A History of Racial Passing (2014), Allyson Hoobs, Profesor Sejarah dari Universitas Stanford menilai itu sepenuhnya benar. Ada dari mereka yang terpaksa menjadi passer atau penyaru demi menghindari diskriminasi, misalnya warga kulit hitam itu sendiri.

Albert Johnston dan keluarga adalah salah satunya. Demi mendapat kesempatan untuk bisa sekolah kedokteran dan mendapat izin praktik, dia mengklaim sebagai orang kulit putih pada 1930-an. Selama 20 tahun suami-istri Johnston menyimpan rahasia bahwa mereka sejatinya adalah orang kulit hitam, bahkan anak mereka pun tidak tahu. Konsekuensinya, ia harus kehilangan hubungan dengan keluarga besarnya yang merupakan orang kulit hitam.

Yang dilakukan oleh Dolezal dan Krug tentu berbeda dengan Johnston. Keduanya juga bisa bisa hidup tanpa diskriminasi karena secara alamiah mereka berkulit putih, kendati hidup bak orang kulit hitam. Namun di sisi lain, orang kulit hitam harus waspada setiap hari dengan ketakutan akan diskriminasi dan persekusi sampai-sampai beberapa dari mereka harus menyamar.

Ironisnya, orang-orang Amerika juga seakan menyukai figur seperti Dolezal.

Selain kasus Dolezal diangkat oleh media-media besar, Dolezal malah menerbitkan buku. Menulis untuk The Stranger, Ijeoma Oluo menduga kultur supremasi kulit putihlah yang melahirkan orang seperti Dolezal, sosok yang merasa bisa mengambil identitas orang kulit hitam setelah ia disingkirkan oleh orang-orang dari rasnya sendiri.

Bagi Oluo, Dolezal hanya berusaha melarikan diri dan tidak lebih dari contoh "perempuan kulit putih yang selalu ingin jadi pusat perhatian, termasuk dalam aktivisme anti-rasisme." Kasus Dolezal tak lebih dari perlambang keistimewaan orang kulit putih.

Kolumnis CNN, Ed Morales mencatat bekal-bekal penelitian dan pengetahuan Krug selama ini dilandasi oleh pengalaman empiris yang palsu atau setidaknya bias. Dalam sebuah seminar, Krug mengaku bergabung dengan kelompok Harlem Police Watch, sebuah komunitas yang berbasis di New York, tempat banyak kriminalitas terjadi.

Dia mengaku tumbuh besar di Bronx dan menyaksikan kekerasan polisi terhadap orang kulit hitam, termasuk saudara laki-lakinya.

“Saya merasa jijik,” catat Morales.

Namun satu yang paling berbahaya, orang-orang seperti Krug bisa menjadi noda bagi sejarah orang kulit hitam. Dengan terbongkarnya kepalsuan Krug, bukunya yang berjudul Fugitive Modernities tentang kaum kulit hitam yang berusaha lari dari perbudakan juga dipertanyakan keabsahannya.

Dan Krug, seperti juga Dolezal, telah merebut pekerjaan atau jabatan yang seharusnya bisa diisi oleh orang kulit hitam. Krug sendiri mengakui dalam tulisannya bahwa kebohongan ini adalah demi keuntungan pribadinya belaka.

“Untuk kehidupan saya yang lebih baik, semua langkah yang saya ambil, semua hubungan yang saya bentuk, berakar dari kebohongan yang merusak,” tulis Krug.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf