Menuju konten utama
Periksa Data

Kebiri Kimia Terpidana Kekerasan Seksual: Solusi atau Masalah Baru?

Kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan serius. Namun, apakah kebiri kimia pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan solusi yang tepat?

Kebiri Kimia Terpidana Kekerasan Seksual: Solusi atau Masalah Baru?
Ilustrasi Periksa Data Kebiri kimia. tirto.id/Quita

tirto.id - Indonesia kembali dikejutkan dengan peraturan baru, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tertanggal 7 Desember 2020. PP ini menjadi panduan pelaksanaan penggunaan kebiri kimia sebagai hukuman bagi terpidana yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

"Segala Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap Pelaku Persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," bunyi pasal 2 ayat 1 PP tersebut.

Menurut PP tersebut, tindak kebiri kimia berlangsung paling lama dua tahun. Pelaku harus menjalani penilaian klinis sebelum dikebiri, kemudian kesimpulan dari hasil penilaian klinis menentukan apakah pelaku layak dihukum kebiri kimia atau tidak. Ketika dinyatakan layak dihukum kebiri, korban diberitahu pelaku dikebiri kimia. PP tersebut juga menegaskan pengebirian ditunda jika pelaku melarikan diri.

PP tersebut bertujuan untuk memberikan arahan lebih lanjut bagi pelaksanaan Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak yang diamandemen pada tahun 2016. Dalam UU tersebut, pasal 81 ayat (7) memberlakukan kebiri kimia sebagai hukuman tambahan bagi “setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.”

Secara umum, kebiri kimia merupakan pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain untuk menurunkan kadar testosteron pria yang memengaruhi nafsu seks pria. Di Indonesia, Pengadilan Negeri Mojokerto dan Pengadilan Tinggi Surabaya pernah menjatuhkan hukuman kebiri kimia terhadap Muhammad Aris, pelaku pemerkosaan sembilan anak, pada tahun 2019. Putusan ini membuat Aris menjadi pelaku pemerkosaan pertama yang dihukum kebiri kimia di Indonesia.

Kendati demikian, PP ini dikritik oleh pegiat HAM yang menganggap bahwa putusan ini tidak manusiawi dan masih mengabaikan korban kekerasan seksual. Sejauh mana PP baru ini dapat mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual, khususnya untuk anak-anak?

Tidak Efektif?

Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri dalam siaran pers, Senin (4/1/2021), menilai kebiri kimia adalah hukuman yang kejam dan tidak efektif. "Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang mengerikan. Tapi menghukum pelaku dengan kebiri kimia hanya memperparah kekejaman," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa saat ini tidak ada bukti ancaman kebiri kimia efektif untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak. Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diterima Tirto pada 7 Januari 2020 menunjukkan bahwa pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur meningkat lebih dari tujuh kali lipat dari 30 kasus pada 2016 menjadi 219 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada 2020.

Peningkatan yang pesat ini terjadi meskipun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengizinkan kebiri telah dikeluarkan oleh Presiden dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi undang-undang pada tahun 2016 silam.

Selain tidak efektif, Nurina menilai bahwa kebiri kimia secara paksa melanggar hukum dan konvensi internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Konvensi ini disebut juga sebagai Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT)

"Kami mendesak pemerintah untuk mencabut amandemen undang-undang yang mengizinkan kebiri kimia dan fokus pada upaya yang benar-benar mencegah dan menangani kejahatan seksual seperti mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Kekerasan Seksual (RUU PKS)."

DPR telah menunda pengesahan RUU PKS sejak 2012. RUU ini bahkan dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada tahun 2020 karena "pembahasannya agak sulit," ungkap Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 30 Juni 2020.

Korban Masih Diabaikan?

Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu dalam keterangan tertulisnya menilai korban masih belum menjadi prioritas dalam PP Nomor 70 Tahun 2020. Ia menganggap PP ini sebagai peraturan yang populis.

Secara umum, ia menilai komitmen pemerintah untuk penanganan korban sampai saat ini masih minim dan "cenderung mundur." Sebagai contoh, masih ada belum satu aturan yang menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual, jelas ICJR. Ketentuan tersebut saat ini masih tersebar di setidaknya 5 UU.

Menurut catatan kritis ICJR dengan beberapa organisasi lainnya pada tahun 2016, praktik kebiri kimia di negara lain juga membuktikan bahwa kebiri kimia membutuhkan banyak sumber daya dan mahal. "Padahal korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri," ucap Erasmus.

Mahalnya kebiri ini dikarenakan adanya rehabilitasi psikiatri, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana selain pelaksanaan kebiri, masih dari Erasmus. PP ini pun tidak memberikan keterangan yang jelas terkait mekanismenya, termasuk besaran biaya dan jenis obat yang akan digunakan.

Pemangkasan anggaran yang diberikan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan pula bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara, menurut Erasmus. ICJR mengklaim adanya penurunan anggaran LPSK dari Rp 148 miliar pada tahun 2015 menjadi Rp 54,5 miliar pada 2020.

Namun, penelusuran Tirto seputar anggaran LPSK menunjukkan bahwa sebagian besar (Rp83 miliar) dari anggaran pada tahun 2015 digunakan untuk biaya pembangunan gedung. Alhasil, hanya sekitar Rp65 milyar yang efektif digunakan untuk layanan dan administrasi LPSK. Selain itu, terdapat tambahan anggaran untuk pagu periode 2018-2020 sehingga terjadi kenaikan anggaran selama periode tersebut.

Sementara itu, kebutuhan korban terus meningkat. Berdasarkan data LPSK, ditemukan bahwa jumlah layanan secara keseluruhan yang diberikan LPSK terus meningkat dari hanya 148 layanan pada 2015 menjadi 4.618 layanan pada tahun 2020.

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo kepada Tirto, Rabu (6/1/2020), mengatakan bahwa korelasi antara PP 70/2020 dan kenaikan kasus pelecehan seksual terhadap anak masih sebatas asumsi karena PP ini baru saja disahkan. Namun, ia menilai PP ini kurang efektif dalam memberikan efek jera kepada pelaku, meskipun ia mengapresiasi "niat baik" untuk melindungi korban pelecehan seksual.

Selain itu, ia mengatakan keterbatasan anggaran menghambat penanganan korban kekerasan, terlebih dengan adanya realokasi anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19 tahun lalu. Oleh karena itu, ia mengusulkan adanya anggaran dari APBN maupun dana perwalian (trust fund) khusus untuk penanganan korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga harus memfasilitasi pemulihan bagi korban kekerasan seksual melalui pemulihan psikologis dan pemberian lingkungan hidup yang lebih sehat. "Negara lebih baik memberikan perhatian justru kepada korban [...] itu jauh lebih bermanfaat buat korban sebenarnya," kata Hasto.

Pemerintah Optimis

Di tengah kritik dari pegiat HAM, pejabat pemerintah saat ini cenderung optimistis bahwa peraturan baru ini dapat melindungi anak dari bahaya kekerasan seksual. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bahkan mengatakan masyarakat semestinya merasa beruntung dengan diterbitkannya PP ini.

"Persoalan ini membuat gelisah semua orang, khususnya anak kecil dan harus mendapat perlindungan ekstra [dari] pemerintah," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/1/2021).

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berharap PP ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul. Dikutip dari siaran pers Kemen PPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 5,640 kasus pada periode 1 Januari 2020 hingga 11 Desember 2020.

"Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia karena para pelakunya telah merusak masa depan bangsa Indonesia. Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 tahun 2020 ini [...]," tegas Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Senin (04/01/2020).

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara