Menuju konten utama

Kebijakan Represif Cina pada Muslim Xinjiang

Berbagai aturan dan larangan yang dikeluarkan pemerintah Cina membuat umat Muslim di Xinjiang semakin terdiskriminasi. Mulai dari larangan menggunakan nama tertentu, menggunakan burka hingga memiliki jenggot yang panjang.

Kebijakan Represif Cina pada Muslim Xinjiang
Muslim Uighur di Xinjiang. (Getty Images/Kevin Lee)

tirto.id - Apalah arti sebuah nama. Namun bagi Cina, nama bisa jadi persoalan besar. Apalagi jika nama yang "berbau-bau" agama. Itulah sebabnya Otoritas Cina di wilayah Xinjiang yang merupakan wilayah populasi Muslim terbesar di Cina itu melarang para orang tua untuk memberi nama seperti Muhammad, Arafat, Jihad dan beberapa nama lainnya.

Pemerintah setempat mengeluarkan 20 daftar nama yang tidak boleh digunakan pada anak-anak. Jika ada orang tua yang melanggar, maka anak mereka tak akan diberi akses layanan kesehatan masyarakat serta pendidikan.

Aturan serupa sudah diberlakukan di wilayah Hotan, Xinjiang Selatan sejak 2015. Otoritas setempat mengeluarkan “Aturan Penamaan untuk Etnis Minoritas” termasuk mengeluarkan daftar nama yang tidak boleh digunakan oleh warga Muslim di wilayah tersebut. Menurut laporan Telegraph, peraturan yang baru diberlakukan pemerintah Xinjiang di tahun 2017 ini adalah perluasan dari peraturan yang ada di Hotan tersebut.

Tak hanya nama yang diatur oleh pemerintah Cina. Pakaian penduduk Xinjiang juga turut diatur. Pada 2015, pemerintah Cina melarang perempuan Muslim di Urumqi, sebelah barat Xinjiang menggunakan burka.

Pada bulan Ramadan tahun lalu, pemerintah Cina juga melarang Muslim Xinjiang untuk berpuasa. Segala bentuk aktivitas keagamaan di sekolah-sekolah juga dilarang. Orang tua dan guru pun dilarang menyertakan anak-anak mereka dalam berbagai aktivitas keagamaan.

Pada akhir Maret lalu, pemerintah Cina juga mengeluarkan aturan menggunakan jilbab di tempat umum. Urusan janggut pun diatur pemerintah, dengan keluarnya aturan larangan berjanggut panjang. Semua larangan itu dikeluarkan untuk satu alasan yakni melawan radikalisme dan ekstremis.

Akar Permasalahan di Xinjiang

Berdasarkan riset Pew Forum on Religion & Public Life, pemeluk agama Islam di Cina mencapai 23,3 juta pada 2010. Xinjiang adalah wilayah dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di Cina yakni sekitar 10 juta Muslim di wilayah tersebut. Orang Muslim di Xinjiang berasal dari etnis Uyghur.

Dalam beberapa tahun terakhir, Xinjiang menjadi target berbagai serangan teror. Ratusan orang tewas dalam berbagai serangan teror yang terjadi di wilayah tersebut. Pemerintah Cina menyalahkan kaum Uyghur yang mayoritas Muslim atas serangan teroris yang terjadi di Xinjiang.

Misalnya penyerangan di sebuah gedung pemerintahan di wilayah barat Xinjiang pada Desember lalu. Aksi yang menewaskan satu orang itu membuat Cina resah akan peningkatan teror di wilayah Xinjiang. Keempat penyerang langsung ditembak mati.

Pada awal Ramadan 2015, setidaknya 18 orang tewas dalam serangan yang dilakukan oleh etnis Uyghur kepada para polisi dengan menggunakan pisau dan bom di pos pemeriksaan lalu lintas di sebelah selatan kota Kasghar. Pemerintah menyalahkan orang-orang Uyghur dan militan Islam atas teror tersebut.

Menanggapi meningkatnya serangan teror di Xinjiang, pemerintah pun mengambil kontrol terhadap hampir seluruh aspek kehidupan orang Uyghur termasuk agama dan budaya, sehingga muncul berbagai larangan-larangan bagi Muslim Xinjiang.

Infografik Larangan Muslim Xinjiang

Cina menyalahkan ekstremis Uyghur atas berbagai serangan teroris dalam beberapa tahun terakhir. Di sisi lain, beberapa ahli menuduh bahwa aksi teror yang dilakukan orang Uyghur karena tindakan keras Beijing terhadap Uyghur serta kebijakan yang represif.

Cina dituduh mengintensifkan tindakan kekerasan terhadap orang-orang Ayghur setelah adanya demonstrasi besar pada tahun 1990-an serta jelang Olimpiade Beijing tahun 2008. Namun tindakan “kekerasan” pemerintah Cina terhadap orang Uyghur makin meningkat setelah kerusuhan etnis Uyghur dan Han pada 2009.

Sekitar 200 orang terbunuh dalam kerusuhan tersebut dan menurut pejabat setempat kebanyakan dari mereka yang terbunuh adalah etnis Han --etnis mayoritas di Cina. Sejak saat itu, pemerintah Cina meningkatkan keamanan dan banyak orang Uyghur ditahan sebagai tersangka.

Terlepas dari siapa yang salah, menurut Direktur Human Right Watch (HRW) Cina, Sophie Richardson, kebijakan pemerintah Cina yang represif bukanlah solusi dalam melawan kekerasan dan radikalisme di Xinjiang. Kebijakan yang represif malah dapat menimbulkan lebih banyak lagi tindakan radikal.

“Jika pemerintah serius untuk menciptakan stabilitas dan keharmonisan di wilayah tersebut, maka pemerintah harus mencabut kebijakan represif,” ujar Sophie.

Menurut Shopie, kebijakan dan larangan-larangan yang dikeluarkan pemerintah Cina seperti melarang berpuasa, gunakan burka dan lainnya adalah pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berekspresi. Diskriminasi seperti ini rentan menimbulkan berbagai bentuk kekerasan dan tindakan radikal. Sehingga bukannya terbebas dari radikalisme, kebijakan pemerintah Cina itu berpotensi menimbulkan menyuburkan radikalisme dan ekstremisme.

Baca juga artikel terkait UMAT MUSLIM CINA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti