Menuju konten utama

Kebijakan Mudik Lokal Berpotensi Memicu Ledakan Kasus COVID-19

Mudik lokal di wilayah aglomerasi dinggap dapat memicu ledakan kasus COVID-19.

Kebijakan Mudik Lokal Berpotensi Memicu Ledakan Kasus COVID-19
Sejumlah kondektur menunggu penumpang di Terminal Leuwi Panjang, Bandung, Jawa Barat, Jumat (23/4/2021). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.

tirto.id - Kebijakan mudik pemerintah pada Lebaran tahun ini dikritisi tak bakal mampu menekan angka penularan COVID-19, bahkan berpotensi memperburuknya. Semua ini karena penerapan aglomerasi wilayah, yang memungkinkan mudik dalam skala lokal tetap terjadi.

Pemerintah memberlakukan pelarangan mudik mulai 6-17 Mei 2021. Namun, di sisi lain, mereka mengecualikan delapan wilayah aglomerasi. Warga di wilayah tersebut bisa bebas bepergian tanpa perlu khawatir pembatasan. Warga hanya bisa keluar wilayah tersebut untuk keperluan pekerjaan atau hal mendesak lain, dan dibutuhkan sejumlah dokumen untuk membuktikan itu.

Wilayah aglomerasi terdiri dari pusat kota yang padat, umumnya kotamadya, dan kabupaten yang terhubung. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 mengatur 36 kota yang termasuk dalam 8 wilayah aglomerasi, yaitu:

  1. Medan, Binjai, Deli Serdang, dan Karo.
  2. Jabodetabek: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
  3. Bandung Raya: Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat.
  4. Yogyakarta Raya: Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunungkidul.
  5. Semarang, Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi.
  6. Solo Raya: Kota Solo, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen.
  7. Gerbang Karto Susila : Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan
  8. Mamminasata : Makassar, Sungguminasa, Takalar dan Maros.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mengatakan membebaskan mobilitas di wilayah aglomerasi sangat riskan meningkatkan penularan COVID-19. Pandu mencontohkan dengan Jabodetabek. Menurutnya penanganan pandemi yang sulit di wilayah itu karena mobilitas penduduk sangat tinggi dan tidak pernah ada pembatasan serius.

Menurutnya ini adalah "blind spot pemerintah" sejak tahun lalu. Mereka hanya fokus melarang mudik tetapi tidak membatasi mobilitas seperti kunjungan keluarga atau berwisata, katanya. "Selalu mendua karena ekonomi atau apa, selalu ada kompromi-kompromi. Kalau mau mencegah seperti kejadian di India harus benar-benar dibatasi, tidak ada pilihan lain," kata Pandu kepada reporter Tirto, Kamis (22/4/2021).

Pandu juga khawatir akan terjadi perubahan warna zonasi karena mobilitas dari dan ke kawasan dengan risiko yang lebih tinggi. Dari sejumlah wilayah aglomerasi, memang ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki warna zonasi berbeda. Di Gerbang Karto Susila, misalnya, Mojokerto dan Lumajang termasuk zona kuning sementara wilayah lainnya oranye.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito berharap seluruh otoritas wilayah mengikuti aturan dari pusat ini. "Saya mengimbau kepada pemerintah daerah agar menindaklanjuti surat edaran satgas dengan instrumen hukum yang selaras dan tidak bertentangan demi menyukseskan program nasional," kata Wiku dalam konferensi pers, Kamis

Namun tak semua otoritas daerah menyanggupinya. Misalnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang membawahi Gerbang Karto Susila. "Kalau mudik itu berkunjung membawa keluarga, membawa orang banyak, enggak ada dasarnya keperluannya apa, ndak boleh," kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jatim Nyono, Kamis (15/4/2021).

Pandemi COVID-19 di Indonesia masih jauh dari terkendali. Per Kamis (22/4/2021), tercatat 6.243 orang dinyatakan positif COVID-19 dari 55.681 orang yang dites sehingga positivity rate mencapai 11,2 persen. Angka itu lebih dari dua kali lipat ambang batas ideal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 5 persen.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan bahwa angka-angka tersebut adalah "indikator sangat jelas dan valid yang menunjukkan mudik tidak bisa dilakukan." "Pergerakan dengan mobilitas yang bisa ratusan ribu atau bahkan jutaan pada level lokal berbahaya sekali," kata Dicky kepada reporter Tirto, Kamis.

Dicky pun mengingatkan bahwa tsunami COVID-19 terjadi di India persis karena kendurnya pengendalian pandemi setelah kasus menunjukkan tren penurunan. Perbedaannya, India memiliki kapasitas 3T yang mumpuni dan Indonesia tidak. Karenanya pemerintah Indonesia harus sebisa mungkin menekan mobilitas bahkan di lingkup lokal.

"Ini menandakan potensi bom, tsunami kasus Covid. Jangan ini diperbesar kemungkinannya dengan pergerakan yang besar," kata Dicky.

Baca juga artikel terkait MUDIK LEBARAN 2021 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino