Menuju konten utama

Kebijakan Baru Soal Premium Dinilai Rawan Dipermainkan Mafia Migas

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara berharap Presiden Joko Widodo membuktikan konsistensinya untuk memberantas mafia migas, tidak omong kosong.

Kebijakan Baru Soal Premium Dinilai Rawan Dipermainkan Mafia Migas
Sebuah papan pemberitahuan tentang Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium yang telah habis habis, terpampang di SPBU Jalan Tole Iskandar, Depok, Jawa Barat, Selasa (20/2/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Kebijakan baru pemerintah soal BBM jenis premium disinyalir dapat membuka jalan bagi mafia minyak dan gas (migas) bertumbuh. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati atas kemungkinan tersebut.

Marwan menjelaskan bahwa premium sudah tidak banyak diproduksi di luar negeri, sehingga harga rujukannya tidak ada dan rawan dipermainkan. Sementara, dikatakannya, sekitar 60 persen dari konsumsi BBM penduduk Indonesia sebesar 1,6 juta barel per hari, didapat dari impor.

"Keuntungan bagi mafia mengimpor BBM itu sangat besar. Premium ini bisa dibilang BBM yang bisa dioplos. Rentenya sangat besar dan mereka akan menikmati. Itulah yang saya kira masyarakat perlu tahu," ujar Marwan kepada Tirto pada Senin (23/4/2018).

Ia khawatir pemerintah tidak sadar bahwa kebijakannya dapat didomplengi oleh pemburu rente dan perusahaan atau negara importir yang membuat Indonesia tidak bisa mandiri secara energi. Sebab, kebijakan ini menggerus keuangan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas (migas) plat merah. Dampaknya pembangunan kilang migas maupun pengembangan energi baru terbarukan (EBT) menjadi tersendat-sendat.

"Apa pemerintah enggak sadar bahwa ada mafia atau negara atau perusahaan asing menunggangi kebijakan pemerintah alasannya supaya harga BBM tetap, tapi di balik itu mereka mau menghambat pembangunan kilang dengan begitu kita terus impor. Saya khawatir di dalam pemerintah sendiri ada mafianya yang pemburu rente. Syukur-syukur itu enggak termasuk Pak Jokowi," ungkapnya.

Ia berharap Presiden Joko Widodo membuktikan konsistensinya untuk memberantas mafia migas, tidak omong kosong. Pada masa awal pemerintahannya (2014), melalui rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Jokowi berjanji membubarkan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) dan kemudian mengusut orang-orang yang terlibat korupsi di dalamnya.

"Ada rekomendasinya, tapi tidak ditindaklanjuti (optimal). Sekarang malah membuka jalan bagi mafia itu untuk terus mendapatkan rente," ucapnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa kritiknya ini tidak lantas menginginkan harga BBM itu tinggi dan ketersediaan premium bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah ditiadakan. Hanya saja ia menginginkan pemerintah untuk berimbang dalam mengambil kebijakan, tidak sekedar politis yang populis.

Perlu diingat, pada Selasa (9/4/2018), pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan kebijakan baru, yaitu memperluas wilayah penugasan Pertamina untuk mengamankan ketersediaan pasokan Premium. Semula hanya sebatas di luar wilayah pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Namun, kemudian menjadi di seluruh Negara Republik Indonesia (NKRI) tanpa terkecuali.

Hal ini bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Perpres ini telah berlaku dari 31 Desember 2014, yang mana ditandangani sendiri oleh Presiden Joko Widodo. Atas munculnya kebijakan baru tersebut, maka pemerintah hendak merevisi Perpres tersebut.

Tapi, Marwan menegaskan bahwa kebijakan tersebut masih bertabrakan dengan UU No.19/2003 tentang BUMN, Pasal 66 disebutkan pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.

Menurut Marwan, pemerintah dalam mengambil langkah penugasan bagi perusahaan BUMN harus menyertai pertimbangan dari sisi finansial perusahaan tersebut. "Jangan sampai menimbulkan kerugian, kalau menimbulkan rugi, pemerintah harus bisa mengintervensi dengan subsidi," tambahnya.

Sepanjang 2017, Pertamina memasok BBM premium dan solar terdapat kerugian sekitar Rp24 triliun. Kemudian, selama Januari-Februari 2018 saja kerugian sudah sebesar Rp5,5 triliun. Besar potensi kebijakan baru pemerintah mengenai Premium akan mengerek naik kerugian Pertamina.

Selanjutnya, ia menyebutkan lagi bahwa kebijakan baru premium itu juga bertolak belakang dengan penetapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No.20/2017 tentang Penerapan Bahan Bakar Standar Euro 4. Permen ini disusun dengan melibatkan kementerian lain, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian BUMN.

Poinnya, memberlakukan bahan bakar standar Euro 4, terhitung 18 bulan sejak ditetapkannya Permen LHK ini (10/3/2017), untuk kendaraan yang sudah beroperasi dan berbahan bakar bensin. Bagi kendaraan berbahan bensin yang baru diproduksi, pemerintah memberikan waktu dua tahun untuk mulai menggunakan BBM standar Euro 4. Sementara untuk kendaraan baru yang berbahan bakar solar, diberikan jangka waktu empat tahun dari 2017.

Standar Euro 4 meliputi BBM jenis Pertamax, yang memiliki kandungan RON 92, yang kandungan sulfurnya hanya 50 ppm. Semakin tinggi RON, semakin rendah emisi gas buangnya dan lebih ramah lingkungan.

Ia memahami pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat terhadap BBM dan dengan tersedianya BBM jenis premium yang harganya murah pasti masyarakat senang. Itu pun baik pula untuk kepentingan pencitraan pemerintah menjelang Pemilu 2019.

Namun, ia menekankan kepada pemerintah untuk mengingat beberapa hal, yaitu pertama, anggaran subsidi BBM perlu ditambah di tengah tren harga minyak mentah dunia yang naik. Kedua, tidak mengorbankan finansial korporasi Pertamina yang mengakibatkan beberapa proyek kilang migas tertunda dan alhasil akan bergantung impor terhadap negara lain yang kemudian dapat menyuburkan pemburu rente. Ketiga, jangan melanggar aturan yang dibuat sendiri.

Keempat, ia menyarankan untuk pemerintah membenahi sistem penyaluran subsidi BBM. Penyaluran subsidi BBM saat ini adalah pola subsidi barang. Menurutnya, lebih tepat pemerintah menerapkan subsidi kepada orang bersangkutan yang kurang mampu dan perlu disubsidi pemerintah.

"Saya tidak mengatakan bahwa harga BBM itu harus naik untuk rakyat kecil menderita, bukan begitu. Tapi, maksud saya (kebijakan) yang wajar itu seperti apa?" tandasnya.

Baca juga artikel terkait PREMIUM atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri