Menuju konten utama

Kebab: Dari Persia, Turki, Lalu Seluruh Dunia

Daging bakar yang ditusuk adalah salah satu jenis masakan tertua di dunia.

Kebab: Dari Persia, Turki, Lalu Seluruh Dunia
Ilustrasi kebab. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kebab adalah makanan yang punya nilai sentimental untuk saya. Pada akhir 1990-an, rutinitas ayah di awal bulan adalah pergi ke Surabaya untuk mengambil gaji di kantor Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Ayah selalu mengajak saya. Sepulang dari sana, dengan bekal segepok uang yang belum dipotong cicilan dan kebutuhan lain, ayah mengajak saya nonton bioskop dan makan-makan. Begitu rutinitas kami setiap bulan.

Salah satu makanan favorit kami, selain apapun yang dijual di Depot Sederhana Gubeng Pojok, adalah kebab. Ayah mengenalkan makanan itu waktu kami berkunjung ke Tunjungan Plaza. Di sana ada satu kios Doner Kebab. Ini makanan baru bagi saya waktu itu. Rasanya bikin saya tersenyum lebar. Potongan daging yang tebal dan besar, berpadu dengan saus putih yang manis-gurih. Kadang saya minta tambahan keju parut. Paling juara ketika disantap hangat, sebab kalau dingin rotinya jadi kenyal dan perlu usaha ekstra untuk mengunyahnya.

Rutinitas mengambil gaji itu kemudian berakhir di awal tahun 2000-an. Gaji ditransfer. Praktis dan hemat biaya. Tapi ada yang hilang di sana. Saya tak lagi rutin ke Surabaya dan makan-makan enak.

Kini sudah hampir dua dekade berselang. Ayah meninggal pada 2010 silam, dan saya sudah pindah ke Jakarta. Tapi setiap melewati kios Doner Kebab --setelah agak besar saya tahu bahwa doner kebab sejatinya bukanlah merek--saya selalu menyempatkan diri membelinya. Kebab, bagi saya, jadi bukan sekadar rasa, tapi tentang roso.

Sejarah Kebab

"Kebudayaan bermula ketika makanan mentah dimasak."

Begitu tulis Felipe Fernandez Arnesto dalam Near a Thousand Tables: A History of Food (2002). Penggunaan api mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Makanan yang awalnya disantap mentah, kini dimasak dengan api.

"Tempat menyalakan api jadi tempat berkumpul dan orang-orang makan di sekeliling api unggun. Memasak jadi bukan sekadar cara menyiapkan makanan, tapi juga mengorganisir masyarakat dan menghasilkan waktu makan," tulis Felipe.

Daging binatang buruan dibakar dan disantap bersama. Daging bakar ini yang kemudian menjadi akar dari kebab. Kata kebab diperkirakan datang dari diksi Persia, kabab, artinya makanan yang ditusuk lalu dipanggang. Jika ditarik lebih lanjut, kata itu juga menginduk pada kata Aramaik, kabbaba, yang artinya dibakar.

Dalam Oxford Symposium on Food and Cookery 1991: Public Eating : Proceedings (1992), kebab diperkirakan menyebar dari Persia ke seluruh Timur Tengah pada abad 8, dan ke India pada abad ke 15.

Infografik Kebab

Tentara Turki di abad 16 kemudian mempopulerkan hidangan ini ke seluruh dunia. Daging dipotong-potong, lalu dibakar dengan pedang. Di era Kesultanan Ottoman, muncul istilah sis, yang artinya pedang. "Kenapa pakai pedang, karena di kawasan padang rumput Eurasia dengan pohon yang jarang, batang kayu itu langka pun mahal. Karena itu shish kebab dipanggang dengan ditusuk ke pedang atau belati," tulis Felipe.

Dari sana lahirlah istilah shish kebab, untuk menyebut potongan daging bentuk kubus dan sayur yang ditusuk lalu dipanggang. Setelah menyebar ke seluruh dunia, ada banyak jenis masakan serupa tapi beda nama.

Di Indonesia, ada sate. Di Iran ada chelow kabab yang juga dinobatkan sebagai makanan nasional. Dari Afrika Barat, ada suya. Di kawasan Suriah dan Lebanon ada halab. Di Jepang ada yakitori. Semua punya akar sama: daging ditusuk dan dipanggang atau dibakar.

Ada beberapa jenis kebab yang dikenal dunia. Selain shish kebab, ada pula doner kebab. Doner kebab juga punya sejarah menarik. Dunia Arab mengenal doner kebab sebagai shawarma. Merujuk Food Culture in the Near East, Middle East, and North Africa (2004), makanan ini diciptakan sekitar 170 tahun lalu di kawasan Anatolia.

Doner dalam bahasa Turki dapat diartikan sebagai memutar. Ini untuk merujuk proses memasak daging yang sedikit berbeda dengan shish. Di doner, daging yang sudah dimarinasi akan ditumpuk vertikal hingga membentuk seperti gulungan benang, lalu dipanggang memutar. Setelah matang, daging akan diiris dan digulung di dalam roti pita berisi sayuran dan saus. Ini adalah kebab yang dikenal di Indonesia.

Doner kebab mulai populer di Indonesia sejak kemunculan Baba Rafi. Didirikan pada 2005, Baba Rafi menjual kebab di gerobak dan dijajakan di pinggir jalan. Konsep ini disukai banyak orang yang sebelumnya tak kenal apa itu kebab.

Kini, Baba Rafi menjelma jadi salah satu gerai makanan waralaba terbesar di dunia. Dalam waktu 13 tahun, Baba Rafi sudah punya 1.500 gerai di 9 negara. Kesuksesan Baba Rafi kemudian membuat banyak lahirnya merek-merek kebab baru. Sekarang, mencari penjual kebab sama mudahnya dengan mencari penjual sate ayam. Tak hanya itu, sekarang di berbagai toko online, banyak yang menjual doner kebab beku.

Doner kebab juga punya akar sejarah panjang di Jerman. Negara yang terkenal dengan bratwurst-nya ini mulai mengenal doner kebab sekitar setengah abad lalu. Dua imigran Turki, Kadir Nurman dan Mehmet Aygun datang ke Berlin dan membuka kedai doner kebab.

Sekarang doner kebab menjadi salah satu makanan yang paling banyak disantap orang Jerman. Selain harganya murah, porsi kebab yang besar juga memuaskan. Setiap harinya, warga di Jerman mengonsumsi dua juta kebab.

Dari data Association of Turkish Döner Producers in Europe (ATDiD) yang dikutip BBC, saat ini ada 40.000 gerai kebab di seluruh Jerman. Kedai-kedai ini menghabiskan 400 ton daging setiap hari, dan membuat perdagangan kebab di Jerman bernilai 4 miliar Euro per tahun.

Di Jerman, doner kebab tidak hanya makanan. Ia juga melambangkan keberhasilan karena kerja keras para perantau. Selain itu, kebab juga bisa merekatkan hubungan dua negara yang berbeda kultur. Maka tak salah kalau ada idiom: makanan bisa membuat orang asing jadi saudara. Kebab telah membuktikannya.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2018 atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti