Menuju konten utama
Surono:

"Ke Depan Konflik Manusia adalah Rebutan Pangan dan Air"

Pandangan Surono melihat konflik semen Rembang dari basis menjaga kelestarian alam dan apa yang harus dilakukan pemerintah daerah buat melindungi kawasan karst dari eksploitasi tambang.

Surono, mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral

tirto.id - Surono, mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral, menjelaskan pandangannya mengenai peran Kajian Lingkungan Hidup Strategis di tengah konflik pertambangan Semen Indonesia dan warga petani Kendeng Utara di Rembang.

Surono adalah satu anggota dari tim panel pakar, bersama sejumlah ahli lain dari lintas keilmuan, untuk menyusun dan mengevaluasi kajian lingkungan tersebut sebelum hasilnya diumumkan ke publik. Kapasitasnya di tim tersebut sebagai pakar kebumian, yang kecakapannya dipakai buat menjelaskan lapisan-lapisan Bumi dengan menggabungkan pelbagai disiplin ilmu, dari fisika, geografi, matematika, kimia, dan biologi. Penyusunan KLHS ini adalah salah satu langkah pemerintah Jokowi buat menengahi konflik antara PT Semen Indonesia dan petani Kendeng. Di bawah Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tim KLHS dibentuk dan bekerja secara independen.

Surono bukanlah nama asing di pusaran perdebatan kehadiran Semen Indonesia. Ia pernah mengirim surat kepada Gubernur Ganjar Pranowo pada 2014, yang isinya mengingatkan bahwa kehadiran pertambangan di sebuah cekungan air tanah dan kawasan karst dapat mengganggu kandungan air dalam lapisan akuifer. Lapisan ini terbentuk selama jutaan tahun.

Surono berkata, manusia sebagai tamu, harus menjaga alam. "Selayaknya kita sebagai tamu, tidak mengambil seenaknya. Kalau kita mengambil seenaknya, bukan hanya yang punya rumah sakit hati, nanti kita bisa saja menyerempet-menyerempet aturan hukum." Ia menegaskan bahwa apa yang dihadapi manusia di masa depan adalah rebutan sumber pangan dan air. Karena itulah penting bagi kita menjaga alam tetap lestari.

Arbi Sumandoyo dari Tirto mewawancarai Surono dalam dua kali kesempatan. Wawancara perdana perdana pada 26 Desember 2016 saat kami menurunkan laporan serial perdana soal konflik semen Rembang. Wawancara kedua pada Kamis kemarin, 13 April, sehari setelah hasil KLHS diumumkan.

Salah satu poin rekomendasi dari KLHS Tahap 1, pemerintah perlu menetapkan ekosistem CAT Watuputih dan sekitarnya sebagai Kawasan Bentang Alam Karst, tanggapan Anda?

Artinya penetapan KBAK ini inisiatif dari pemerintah daerah. Waktu rapat di Kantor Staf Presiden, yang kebetulan (Gubernur Jawa Tengah) Pak Ganjar Pranowo berhalangan hadir dan diwakili Dinas Pertambangan dan Energi, sanggup untuk mengajukan usulan dari Pemprov Jateng untuk kajian KBAK. Itu suatu yang bagus, ya. Mudah-mudahan dalam waktu relatif dekat usulan itu bisa diajukan.

Tentunya pengajuan itu harus dilengkapi data-data. Pemprov Jateng bisa saja menunjuk ahli-ahli dari Pemerintah Daerah. Kemudian nanti ada penyelidikan bersama, dari Pemprov Jateng dan Kementerian ESDM yang diwakili Badan Geologi, kemudian dari pihak masyarakat. Misalnya, tanah masyarakat masuk KBAK, dia harus mengerti mana yang boleh dan tidak boleh (dilakukan). Nanti dari penyelidikan itu ditemukan, apakah karst memiliki fungsi lindung.

Penentuan itu bukan sudah pasti jadi KBAK, tetapi ada penyelidikan yang membuktikan eksokarst (karst pada bagian permukaan) dan endokarst (karst pada bagian bawah permukaan) membuktikan memenuhi syarat memiliki fungsi lindung, kemudian ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi berupa KBAK. Tentu ditentukan bersama batas-batas dari KBAK, mana yang masuk, mana yang bukan. Harus jelas di lapangan seperti itu.

Bagaimana status CAT Watuputih sekarang? Apa pentingnya kawasan karst sebagai kawasan lindung geologi?

Belum ada penetapan KBAK di CAT Watuputih. Belum ada penetapan kawasan lindung geologi, baru cekungan air tanah. Di cekungan air tanah kan tidak semua kawasan lindung. Seringlah dikatakan, terutama dari pengusaha tambang dan pro penambangan karst, terutama dari pihak semen, mana sih cekungan air tanah? Artinya, cekungan air tanah itu baru ada pada 2011, padahal penambangan batu kapur kan berlangsung sebelum 2011. Sedangkan penetapan KBAK baru ada pada 2012 melalui Permen ESDM No. 17 Tahun 2012. Jadi memang kontradiksinya, semua tambang semen dicabut.

Catatan lagi: Tidak semua cekungan air tanah adalah kawasan lindung, tidak semua daerah kapur adalah karst, dan tidak semua karst adalah kawasan lindung. Jadi, cekungan air tanah yang tidak masuk kawasan lindung boleh dilakukan ekstraksi apa pun, penambangan atau apalah. Asal mengikuti rambu-rambu. Itu saja. Bukan berarti tidak boleh.

Kenapa karst yang memiliki fungsi lindung tidak boleh diapa-apakan? Dalam Permen 17/ 2012 disebutkan, karena demikian sensitifnya karst yang memiliki fungsi lindung, begitu ada intervensi misalnya ada pembukaan tanah, kemungkinan saat air hujan turun—yang memiliki curah agresi tinggi—penyumbatan lubang-lubang karst atau mungkin lubang-lubang itu menjadi lebar. Sehingga ketika hujan, debit air semakin tinggi, cadangan air itu tertekan dan cepat keluar. Artinya, sistem akuifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air dan dapat mengalirkan air) bisa terganggu. Angka debit air itu akan ekstrem, misalnya saat musim hujan itu tinggi sekali, tetapi pada musim kemarau itu justru malah rendah sekali. Itu artinya sistem akuifer sudah terganggu, cekungan air tanah sudah terganggu dan sudah tidak bisa dipulihkan lagi. Belum lagi biota-biota lain yang terganggu.

Jika merujuk data-data dari hasil KLHS Tahap 1, ia mendukung buat dijadikan KBAK?

Terus terang, untuk menjadikan itu kawasan lindung geologi KBAK, inisiatifnya datang dari pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat. Beda dengan cekungan air tanah yang berdasarkan Keputusan Presiden (No. 26/2011).

Bagaimana jika rekomendasi KLHS berbeda dari data penyelidikan di lapangan nantinya, misal tidak mendukung untuk ditetapkan KBAK meski data sekunder justru sebaliknya?

Nah itu, sebenarnya dalam penentuan KBAK, tidak bisa ada intervensi dari Badan Geologi melulu, tetapi ada juga ahli dari Pemda yang mengeluarkan datanya. Ahli-ahli yang netral. Ini harus ada keterbukaan seperti itu. Sebelumnya, dengan kondisi sekarang ini, di mana air menjadi salah satu yang pokok dan kemudian karst itu tidak bisa diganggu, maka di situ ada Peraturan Menteri mengenai karst. Kemungkinan ke depan itu konfliknya adalah pangan dan air. Karena itu, inisiatif bukan dari pemerintah daerah saja, tetapi bisa top down. Pemerintah menjalankan amanat undang-undang dasar; menguasai tetapi juga mengatur.

Anda katakan, Dinas Pertambangan Pemprov Jateng sepakat mengajukan CAT Watuputih dijadikan KBAK, bagaimana Gubernur Ganjar Pranowo?

Kan waktu itu mewakili gubernur. Jadi mewakili pemerintah provinsi. Artinya, tidak mungkin dong, seorang kepala dinas itu ngomong di dalam suatu forum yang penting, akan ditolak oleh gubernur. Namanya mewakili, putusannya bersifat mengikat dan bisa dipercaya.

Bagaimana rekomendasi kemarin, gubernur Jateng kan juga hadir saat pengumuman KLHS Tahap I?

Tanya ke Pak Ganjar.

Anda hadir saat pengumuman KLHS Tahap 1. Dari sana ada niatan dari Ganjar Pranowo mengajukan CAT Watuptih menjadi KBAK?

Tanggal 3 April 2017, Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Tengah mengatakan seperti itu, ya. Artinya kalau melihat KLHS seperti itu, kan tinggal diajukan saja, wong tidak ada ruginya. Sebenarnya KLHS itu bukan peperangan—harus ada yang kalah dan menang—sebetulnya tidak. Kita harus melihatnya demi kejujuran alam dan kepentingan banyak orang. Saya pikir KLHS bukan untuk siapa-siapa tetapi untuk bersama. Saya yakin, saya tidak merasa ini suatu perang, ada yang menang dan ada yang kalah. Semua dimenangkan. Jadi KLHS bukanlah alat untuk diklaim sebagai suatu yang dimenangkan, enggaklah. Saya yakin dan saya mau masuk tim KLHS karena itu (demi Kepentingan menjaga alam).

Hasil KLHS kan bersifat rekomendasi, bisa dijalankan bisa tidak.

Saya berpikir positif sajalah. Kan KLHS ini inisiatif dari presiden kepada masyarakat Kendeng. Nah, misalnya hasil ini dibantah, kita mau apalagi. Kita kan berbangsa dan bernegara ini untuk suatu kompromi agar melestarikan bumi demi kejayaan ibu pertiwi, kan begitu. Tujuan dari KLHS seperti itu. Jadi bukan milik kelompok KLHS, bukan juga yang pro dan kontra, tetapi adalah kemenangan bersama, untuk melestarikan bumi demi kejayaan ibu pertiwi.

Anda pernah menjabat Kepala Badan Geologi ESDM dan tentunya dari data-data Anda ketahui, sebetulnya apakah bisa tanpa dilakukan penelitian ulang, itu langsung ditetapkan KBAK?

Jujur saja, sebetulnya Badan Geologi tak punya banyak data. Waktu tahun 2014 saya mengirim surat kepada Pak Ganjar Pranowo itu kan begini: sebagai Kepala Badan geologi, saya lebih lincah. Saya mencari data di luar Badan Geologi, kemana saja, yang secara ilmiah bisa saya terima. Berdasarkan data-data yang ada, surat Pak Ganjar pun sama seperti surat Badan Geologi yang lalu.

Memang Badang Geologi sekarang tidak menemukan ada gua bermata air, tetapi karena memang kekurangan data itu. Karena begini, yang tahu ada air itu masyarakat yang tinggal di sana. Apakah ini ada mata air? Saya kira kalau ditanyakan kepada mahasiswa yang melakukan penelitian di sana, sedikit-banyak bisa menjawab dengan suatu fakta yang bisa diterima secara ilmiah.

Apakah data dari Dinas Pertambangan Pemprov Jateng menguatkan temuan KLHS?

Ya kalau data-data dari adendum amdalnya PT Semen Indonesia, banyak yang menunjukkan data-data itu, lalu kemudian dari data-data tugas akhir mahasiswa itu juga sama.

Sejauh mengenai data-data, apakah Dinas Provinsi Jateng terbuka kepada Kementerian ESDM ketika Anda dulu menjabat?

Saya selalu koordinasi. Ketika saya menjabat, koordinasi kita ke daerah lewat dinas ESDM provinsi. Masalah terbuka atau tidak, itu yang tahu dinas ESDM. Kalau mereka punya, pasti dikasih. Saya selalu berfikir positif saja. Kalau memang saya cari di sana tidak ada yang punya, ya saya cari yang punya. Begitu sajalah, tidak usah repot-repot.

Ketika dulu Anda ke sana apakah diberikan?

Karena saya tidak meminta.

Waktu Anda mengepalai Badan Geologi ESDM, Anda pernah mengirim surat kepada Gubernur Ganjar Pranowo, bisa diceritakan?

Ya sebetulnya saya tidak menginginkan perdebatan dan baru saya jawab sekarang. Surat pertama itu adalah ada dukungan masyarakat bahwa ada penambangan di situ dan ada cekungan air tanah dan sebagainya. Karena waktu itu saya sebagai Kepala Badan Geologi dan saat ini saya sudah pensiun, saya mengirim surat. Sebetulnya bagaimana sih melakukan penambangan di cekungan air tanah tanpa ada embel-embel karst? Ada peraturan pemerintah, sebetulnya penambangan di kawasan itu boleh asal tidak mengganggu sistem akuifer. Pada prinsipnya boleh. Pada intinya tidak ada larangan untuk menambang di cekungan air tanah selama tidak mengganggu sistem akuifer.

Saya tidak mencabut surat pertama, dan kemudian saya menjawab lewat surat kedua ke Pak Ganjar. Bukan dicabut, dan ini saya koreksi. Saya memang banyak sedikit di-bully oleh teman-teman. Saya pun ditekan untuk mencabut surat itu. Yang penting saya sudah meluruskan apa yang saya harus luruskan. Dan sudah saya lakukan tugas saya waktu itu sebagai pejabat. Saya memberikan penjelasan dan itu yang saya lakukan.

Apa isi surat kedua?

Lebih menguatkan soal isi surat yang pertama.

Soal apa?

Lebih memperjelas bahwa penambangan itu boleh selama tidak mengganggu sistem akuifer. Masalahnya, kalau (menambang) di karst ini menjadi sensitif, misalnya berpotensi mengganggu sistem akuifer.

Yang kedua, saya lebih menjelaskan bahwa cekungan itu tanpa karst. Karena secara hukum kawasan itu belum ditentukan menjadi kawasan KBAK. Tidak boleh saya men-judge kawasan karst sebelum ada pengajuan dari gubernur. Maka saya bilang tadi, syaratnya adalah syarat umum soal penambangan di cekungan air tanah. Surat saya yang kedua menjelaskan soal itu. Beberapa hal yang harus dilakukan.

Tetapi jika itu kawasan karst, itu menjadi persoalan lain. Kalau itu karst, tentunya kalau itu menjadi Kawasan Bentang Alam Karst, saya tidak berandai-andailah. Misal, kawasan karst yang masuk menjadi KBAK, otomatis itu menjadi kawasan lindung geologi. Kalau menjadi kawasan lindung geologi, itu menjadi bagian kawasan lindung nasional. Kalau menjadi kawasan lindung, berarti itu tidak bisa diapa-apakan dong.

Tidak boleh diapa-apakan termasuk ditambang?

Memang seperti itu. Kadang orang mungkin menganggap, nanti bekas penambangan itu bisa direklamasi. Kalau karst itu sulit untuk direklamasi dengan menggunakan karst lagi. Yang khawatir itu ditambang, agresi curah air akan sangat meningkat. Karena air itu harus meresap. Apalagi banyak partikel-partikel yang bisa menyumbat dan mengotori pori-pori yang menyalurkan air ke bawah. Itu kan juga mengganggu sistem akuifer.

Apalagi, misalnya semakin tipis akan mengubah fungsi karst, tidak lagi bisa menyimpan air. Bisa jadi kalau tidak hujan, bisa tidak ada air. Ingat, proses karst ini menjadi air tanah. Ini kan prosesnya ribuan atau jutaan tahun. Kalau saya harus membuktikan, mari kita menunggu ribuan sampai jutaan tahun. Itu kan tidak mungkin. Bahkan membuat pori di daerah gamping itu prosesnya sangat lama, bukan tahunan, tetapi sampai jutaan tahun.

Mari kita lihat lebih jauh lagi. Dengan pertumbuhan penduduk kita, yang menjadi perebutan nanti soal air. Air dan energi. Kita sudah punya bukan hanya CAT Watuputih, cekungan air yang ada karst. Itu alam yang menyediakan dan untuk manusia. Airnya tentu bersih, wong disaring, mungkin baru keluar ratusan sampai ribuan tahun, ia akan bersih. Anda bayangkan, mungkin dengan 20 tahun, kita tidak akan bisa mendapatkan yang seperti itu.

Ia membentuk embung (penampungan air hujan saat musim kemarau untuk irigasi dan air bersih). Ini alam sudah menyediakan tanpa menggunakan biaya. Itu sudah ada. Mbok ya kita harus respek. Karst itu ada sebelum manusia itu berada di sekitarnya. Mari kita berpikir supaya kita jujur.

Memikirkan manusia di masa depan begitu?

Iya. Karst itu seperti tuan rumah. Selayaknya kita sebagai tamu, tidak mengambil seenaknya. Kita harus berhormat, antara tuan rumah dan tamu. Saya kira ada harmoni antara tuan rumah dan tamunya, tidak ada yang perlu dicederai. Kalau kita mengambil seenaknya, bukan hanya yang punya rumah sakit hati, nanti kita bisa saja menyerempet-menyerempet aturan hukum. Marilah kita melihat itu, melihat lebih jauhlah. Saya tidak anti pabrik semen karena dibutuhkan untuk pembangunan di Indonesia. Tetapi apakah harus dipaksakan di daerah yang harus dikonservasi?

Mengapa pengumuman hasil KLHS mundur dari 31 Maret 2007?

Ya memang dinamika penyusunan KLHS tidak semudah dibayangkan. Di situ banyak ahli, banyak yang punya pendapat, perlu diakomodasi semuanya. Ini kan bukan diskusi yang mudah. Kemudian KLHS selesai. Ada quality assurance reviews yang dalam SK Kepala Kantor Staf Presiden, misalnya menurut KSP, ada yang belum memenuhi kriteria, ya dikembalikan ke tim KLHS untuk dilakukan perubahan-perubahan.

Saya kira proses keterlambatan ini bukan karena intervensi. Saya yakinkan itu tidak ada yang sifatnya politis. Saya melihat orang-orang yang ada di KLHS dan tim penilai adalah orang-orang punya kemandirian. Dan perlu diingat, KLHS selesai kan harus di-review lagi. KLHS itu diterima bukan mutlak-mutlakan. Dalam review pun, perlu disepakati secara ilmiah dan bukan disepakati dengan kompromi dan politis. Jadi memang keterlambatan ini karena permasalahan teknis, dan bukan karena ada hal lain.

Perbedaan pendapat apa yang membuat lama?

Ya banyaklah, terutama misalnya di jasa lingkungan cekungan air tanah. Itu juga banyak masukan. Apa yang harus dikemukakan. Apakah perlu ditonjolkan atau sifatnya hanya informasi. Apakah ini besar dan penting. Ada pertimbangan-pertimbangan seperti itu. Itu yang memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SEMEN REMBANG atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam