Menuju konten utama

Kawin Dijegal Modal

Pernikahan adalah sesuatu yang tidak pernah mudah. Dari mulai sejak pacaran, merencanakan pernikahan, hingga melewati pernikahan itu sendiri. Bagi yang lajang menikah perkara mengumpulkan modal. Cinta yang putus karena mahar pernikahan itu nyata dan banyak terjadi.

Kawin Dijegal Modal
Karyawan menata perhiasan pernikahan di sebuah toko emas di Malang, Jawa Timur, Selasa (2/8). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

tirto.id - Jane Austen, penulis novel Pride and Prejudice, pernah berkata bahwa seorang pria yang kaya pasti menginginkan seorang istri sebagai suaminya. Austen yang mati lajang itu kerap kali menulis tentang perempuan-perempuan kuat yang limbung dalam menghadapi hubungan. Pernikahan bagi Austen adalah sebuah peristiwa yang mesti dipikirkan dengan akal sehat ketimbang perasaan.

Memang demikian adanya. Pernikahan dari sejak awal harus sudah dipikirkan, termasil soal biaya pernikahan. Dalam beberapa kasus, mengumpulkan uang untuk mahar itu bisa jadi usaha seumur hidup. Di Cina dan Iran, selama dua tahun terakhir banyak pria melajang karena tak mampu memenuhi tuntutan mahar. BBC melaporkan naiknya "harga" mempelai perempuan membuat banyak pria kesulitan menikah hingga usia tua. Akibatnya, ditemukan desa yang dihuni mayoritas laki-laki karena penduduknya yang miskin tak mampu memenuhi mahar untuk menikah.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika anda bingung tentang konsep mahar, anda bisa menonton film Uang Panai Maha(R)L. Film yang berlatar budaya Bugis di Sulawesi Selatan ini bercerita tentang Uang Panai yaitu adalah sejumlah uang yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita di luar uang mahar. Uang itu digunakan untuk keperluan mengadakan pesta dan belanja pernikahan. Jumlahnya disepakati oleh kedua belah pihak atau keluarga, namun serangkali Uang Panai mencapai angka fantastis atau tak masuk akal.

Uang Panai jelas beda dengan mahar. Mahar adalah sejumlah uang atau harta yang diberikan kepada seorang perempuan dari laki-laki yang hendak menikahinya. Mahar seluruhnya menjadi hak milik mempelai istri tanpa ada hak keluarga di dalamnya. Mahar dalam budaya Indonesia tidak selalu bernilai uang. Dalam banyak peradaban mahar bisa jadi diberikan dalam bentuk aksi keberanian atau tantangan agar teruji nilai si lelaki sebagai calon suami. Tetapi seiring perkembangan zaman, kepentingan materi lebih mengutamakan aspek kemapanan sebagai syarat utama seorang laki-laki pantas dinikahi.

Tim Riset Tirto lantas melakukan penelitian terkait besaran mahar yang diminta oleh pihak keluarga untuk pernikahan. Hasilnya lumayan membuat seorang perjaka tanggung dengan penghasilan pas-pasan berhenti berharap untuk menikah. Misalnya jika kamu menginginkan pernikahan dengan seorang gadis Aceh, maka menyediakan menyediakan Mayan. Besaran satu mayan setara dengan 3,13 gram emas. Untuk menikahi satu perempuan Aceh harus menyediakan 3-30 mayan emas disesuaikan dengan strata si perempuan. Misalnya dia seorang doktor, lulusan luar negeri, atau bahkan keturunan keluarga bangsawan.

Di Nias mahar disebut Bowo, untuk mempersunting seorang perempuan di Nias anda mesti menyediakan 20 ekor babi dewasa. Satu ekor babi dewasa bisa bernilai empat sampai lima juta rupiah. Maka untuk menikahi satu perempuan anda mesti menyediakan 100 juta. Namun, besaran itu sekali lagi disesuaikan dengan mempelai perempuan dan keluarga, makin tinggi pendidikan perempuan maka makin besar pula mahar yang dikeluarkan.

Di Banjar, Kalimantan Selatan, mahar disebut sebagai Jujuran. Besaran mahar tergantung dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, asal keluarga, serta status lainnya; semakin tinggi, semakin mahal. Sejauh ini mahar bisa dinegosiasikan asalkan pihak mempelai pria bisa memberikan alasan yang masuk akal. Tetapi ada banyak pula kasus di mana kisah cinta sepasang kekasih kandas karena mahar. Ini tentu lebih pedih dan menyakitkan daripada putus karena cinta beda agama.

Mahar bukan masalah di Indonesia saja, di Afrika mahar bisa jadi urusan hukum mati. Suku-suku di Afrika beternak sapi dan babi sebagai persiapan mahar. Beberapa suku menjaga sapi-sapi mereka dengan senjata api agar sapi mereka tidak dicuri atau dirampok. Suku Mundari di Sudan Selatan misalnya, mereka menggembala ternak hingga berpindah tempat untuk menghindari perampokan. Sapi-sapi itu merupakan titipan dari seluruh anggota suku yang kelak digunakan untuk menebus calon istri. Menjaga ternak adalah upaya menjaga kelangsungan suku agar bisa menikah dan berkembang biak.

Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak mengatur besaran mahar. Dalam undang-undang pernikahan umum tidak ada aturan soal mahar. Soal mahar ini ada dalam hukum Islam, yang menyebutkan calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat kedua adalah penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Tetapi perlu dipahami, mahar dalam budaya pernikahan di Indonesia tidak serupa dengan pembelian. Perempuan bukan benda yang diperjualbelikan, besaran mahar merupakan representasi penghormatan terhadap sosok perempuan tadi. Ia mesti diniatkan sebagai hibah ketimbang transaksi, agar tak ada pemikiran bahwa karena telah membayar mahar maka pihak suami bebas melakukan apa saja terhadap istrinya. Pemikiran mahar adalah besaran angka pembelian manusia tak jauh beda dengan jual beli budak. Padahal mahar pada mulanya adalah bentuk penghormatan lelaki terhadap perempuan sebagai manusia merdeka.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti