Menuju konten utama

Kaum Muda Dominasi Kredit Bermasalah, Fintech Mesti Berbenah

Mengacu pada standard perbankan, rasio TWP90 yang sebesar 3,07% masih dinilai aman.

Kaum Muda Dominasi Kredit Bermasalah, Fintech Mesti Berbenah
Ilustrasi HL Pinjaman Online. tirto.id/Lugas

tirto.id - Ido Sinaga (25 tahun) mengarahkan kamera ponsel ke wajah sembari memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP). Walau berulang kali sistem menyatakan unggahannya gagal, lelaki yang tengah menganggur ini tak patah arang.

Ido merupakan warga Kota Medan, Sumatera Utara, yang berupaya meminjam uang melalui platform pinjaman online atau financial technology (fintech) legal yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ini bukan kali pertama bagi Ido mengajukan pinjaman online (pinjol).

Seperti sebelum-sebelumnya, dia tidak berniat mencicil apalagi melunasi pinjaman tersebut seandainya permohonan diterima. "Kalau mencicil urusan nanti, yang penting cair dulu. Kalau ditagih, tinggal bilang saja tidak punya uang," ujar Ido kepada Tirto, Minggu (13/11/2022).

Tak jauh berbeda dari Ido, Jefri (34 tahun) juga punya niat yang sama. Dia sama sekali tak ambil pusing apalagi khawatir bila tidak membayar cicilan pinjaman yang diterimanya. Jefri paham, urusan utang-piutang tidak bisa diseret ke ranah pidana.

"Paling juga perdata, bukan dipenjara (pidana). Jadi buat apa takut?" ujar Jefri kepada Tirto.

Ido dan Jefri hanya dua dari sekian debitur "nakal" yang kerap berurusan dengan penagih utang alias debt collector suatu platform fintech berizin.

Keberadaan mereka terekam di data Otoritas Jasa keuangan (OJK) yang membeberkan lompatan kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) fintech peer-to-peer lending (Fintech P2P Lending) di Indonesia.

Per September 2022, total kredit bermasalah Fintech P2P Lending mencapai Rp5,1 triliun atau lompat 125% secara tahunan (year on year/yoy). Jumlah itu terdiri atas Pinjaman Tidak Lancar senilai Rp3,6 triliun dan Pinjaman Macet senilai Rp1,5 triliun.

Peningkatan kredit bermasalah menyebabkan rasio Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) Fintech P2P Lending melandai. Pada Agustus 2022, rasio TKB90 tercatat 97,11%. Nilainya sedikit turun menjadi 96,93% pada September 2022.

Selaras dengan penurunan TKB90, Tingkat Wanprestasi/Kelalaian Penyelesaian Kewajiban 90 Hari (TWP90) juga naik ke 3,07% pada September 2022. Angka ini menjadi yang tertinggi sepanjang 2022, dan naik signifikan dari TWP90 September 2021 yang sebesar 1,9%.

TWP90 adalah ukuran tingkat wanprestasi kegagalan pembayaran kewajiban yang diperjanjikan dengan kemoloran 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Indikator ini mirip seperti rasio NPL yang biasa digunakan oleh perbankan.

Data tersebut membuat kerja John (28 tahun)—bukan nama sebenarnya, penagih utang yang mewakili pihak P2P Lending, semakin berat. Dia mengungkapkan terjadi peningkatan kredit macet sejak beberapa waktu belakangan sehingga beban kerjanya semakin bertambah.

"Meningkat. Kami yang sebelumnya hanya ditarget Rp100 jutaan, sekarang hampir Rp250 jutaan," kata Jhon.

Dia hafal betul jawaban klasik para debitor tersebut, mulai dari belum mengantongi uang hingga terang-terangan menolak bayar. Jhon pun sudah hafal betul dengan karakter demikian karena telah terbiasa menghadapi sikap mereka.

"Bermacam-macam alasan mereka. Bahkan semakin banyak yang memang tidak mau bayar. Kalau sudah begitu, saya biasa negosiasi lagi dengan mereka," ujarnya.

Kaum Muda Pengutang Terbanyak

Secara keseluruhan, industri Fintech P2P Lending di Indonesia mencatat rugi bersih senilai Rp141,2 miliar pada September 2022. Tahun lalu, industri ini mampu mencetak laba Rp203 miliar.

Kerugian terjadi meski pendapatan pelaku Fintech P2P Lending justru melesat 72% (yoy), dari Rp3,6 triliun menjadi Rp6,3 triliun. Artinya, kinerja penyaluran kredit tidaklah terkendala. Yang bermasalah adalah penagihan utang (collection).

Pinjaman Tidak Lancar didominasi oleh debitur kategori perorangan mencapai Rp3,34 triliun. Dari angka tersebut, generasi Milenial dan Gen Z ternyata menjadi debitur atau peminjam yang paling banyak. Secara total, mereka menunggak Rp2,17 triliun melalui 1,28 juta akun.

Debitur kategori perorangan juga mendominasi Pinjaman Macet dengan total outstanding mencapai Rp1,33 triliun. Peminjam berusia 19-34 tahun menjadi kontributor terbanyak, yakni senilai Rp902 miliar dari 349 ribu akun.

Di sisi lain, total outstanding pembiayaan Fintech P2P Lending meningkat 77,5% (yoy), dari Rp27,5 triliun menjadi Rp48,7 triliun per September 2022. Jumlah itu terdiri atas peminjam perorangan senilai Rp41,1 triliun dan peminjam kategori badan usaha senilai Rp7,6 triliun.

Untuk kategori perorangan, pembiayaan senilai Rp12,14 triliun disalurkan ke pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Rp28,97 triliun untuk non-UMKM. Sementara itu, penyaluran badan usaha ke UMKM senilai Rp5 triliun dan non-UMKM senilai Rp2,62 triliun.

Menurut Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot, Generasi Milenial dan Gen Z terdata mendominasi layanan Fintech P2P Lending di Indonesia. Sebagai pengguna mayoritas, tak heran jika mereka juga berperan besar terhadap rasio kredit bermasalah.

Untuk itu, kata Sekar, OJK terus berupaya meningkatkan literasi keuangan melalui edukasi untuk kalangan Generasi Milenial dan Gen Z.

"Kredit bermasalah yang didominasi milenial ini terkait dengan jumlah pengguna fintech lending yang memang mayoritasnya dari kalangan tersebut," ujar Sekar seperti dikutip Tech in Asia.

Di sela-sela acara 4th Indonesia Fintech Summit di Bali yang berlangsung 10-11 November 2022 kemarin, tren kenaikan rasio kredit bermasalah Fintech P2P Lending juga mendapat sorotan dari sejumlah stakeholder.

"OJK mencermati tren kenaikan risiko kredit dan kecenderungan penurunan kinerja di beberapa fintech P2P Lending," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan NonBank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono dalam berita Kontan.

Menurut Ogi, peningkatan tren gagal bayar tak lepas dari dinamika perekonomian global yang menimbulkan berbagai ketidakpastian. Seiring kenaikan suku bunga acuan berbagai bank sentral, ongkos pembiayaan (cost of fund) lembaga keuangan pun naik, termasuk fintech.

Masih Tergolong Aman

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta memperkirakan terjadi perlambatan penyaluran dana Fintech P2P Lending pada tahun depan. Perkiraan ini mengacu pada prediksi buruk perekonomian global 2023 mendatang.

Walau begitu, Tris optimistis industri fintech bakal tetap survive dan bahkan berkontribusi pada perekonomian nasional nantinya. "Tapi saya masih yakin tumbuh karena ini juga komitmen dari para pelaku untuk memberikan layanan," kata Tris kepada CNBC Indonesia, Kamis (10/11/2022).

Melihat perkembangan yang ada, Tris yakin industri Fintech P2P Lending akan lebih selektif menyalurkan modal pada tahun depan. Faktor ini juga diperkirakan bakal memperlambat pertumbuhan penyaluran kredit.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong platform Fintech P2P lending lebih efisien, sehingga lebih meringankan peminjam. "Untuk masyarakat kita yang bermasalah, kreditnya bermasalah, bagaimana lender melakukan restrukturisasi dan lain-lain," kata Tris.

Di tengah tren kenaikan utang tak lancar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko menilai fenomena kredit macet di P2P lending masih tergolong aman.

Mengacu pada standard NPL perbankan yang masih dikategorikan aman ketika rasionya di bawah 5%, maka rasio TWP90 yang sebesar 3,07% pun masih dinilai terkendali.

Senada dengan Ogi, Sunu juga tak menampik jika rasio tersebut bisa semakin turun di tengah dinamika perekonomian global, terutama tatkala ancaman resesi membayang pada tahun depan. Oleh karenanya, langkah pencegahan harus diperkuat.

Menurut Sunu, AFPI juga sedang mempersiapkan algoritma kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Tujuannya untuk meningkatkan kualitas penilaian kredit atau credit scoring guna mengukur risiko kredit dari calon peminjam tidak memiliki riwayat pinjaman kredit.

"Saat ini kami sedang menganalisis lewat studi internal, apakah beberapa platform dengan kredit macet tinggi punya pengaruh terhadap industri secara keseluruhan, alias apakah ada Efek Pareto atau tidak," ujar Sunu dilansir dari Kontan.

Algoritma tersebut kemungkinan akan membuat debitor seperti Ido dan Jefri kian kesulitan mengajukan pinjaman P2P secara manasuka, tak peduli berapa kalipun mereka mengunggah foto KTP dari telepon pintarnya.

Baca juga artikel terkait ARTA atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Bisnis
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono