Menuju konten utama
27 Desember 1998

Katakan pada Farid Hardja, Kami Rindu

Farid Hardja adalah seorang pengembara musik. Ia sanggup menjelajahi berbagai genre dan tampil dengan sama baiknya.

Katakan pada Farid Hardja, Kami Rindu
Farid Hardja. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Ia kerap disebut-sebut sebagai “Elton John”-nya Indonesia hanya karena rambut botaknya dan kegemarannya memakai beragam bentuk kacamata. Sebutan itu kian sah dilontarkan ketika melihat perawakannya yang begitu tambun.

Namanya adalah Farid Hardja. Dalam kancah musik Indonesia ia tergolong musisi unik—atau nyentrik—dengan segala pencapaian maupun pengalamannya.

Salah satu keunikan tersebut terjadi pada 1977. Saat itu, sebagaimana diberitakan Tempo, Farid diundang untuk tampil di acara Malam Puisi dan Lagu di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Selain Farid, pentas itu dimeriahkan pula oleh W.S. Rendra.

Namun, entah karena apa, Farid ternyata tak melakukan persiapan dengan cukup. Terlebih ia tampil secara solo. Keadaan ini membikinnya berimprovisasi: mengarang lagu di panggung.

Tak dinyana, Farid berhasil menciptakan beberapa balada baru. Semuanya terjadi hanya dalam waktu yang relatif singkat.

Pengembara Musik

Nama Farid melambung di jagat musik lokal berkat lagu-lagu pop bertemakan cinta dan kasih sayang. Lagu-lagu yang membuat pendengar dapat optimis mengejar pujaan hatinya atau justru merasa nelangsa. Yang pasti: Farid mengajak mereka untuk merayakannya.

Puncak popularitas Farid terjadi kala ia merilis album Ini Rindu (1990) yang digarap bersama Lucky Resha. Album tersebut, seperti dilaporkan Tempo, terjual hampir sejuta kopi dan menjadikannya sebagai album paling laris di era 1990-an. Di saat bersamaan kesuksesan Ini Rindu turut membuat harga pasar Farid melambung: 7 juta rupiah setiap kali tampil.

Perjalanan musikal Farid bisa dikata tak cuma berkubang dalam satu genre. Pop hanyalah satu dari sekian titik perjalanannya.

Karier bermusik Farid, seperti ditulis almarhum Denny Sakrie dalam "Mengenang Farid Hardja (1950-1998)", dimulai sejak pertengahan 1960-an, tak lama setelah Orde Lama tumbang. Waktu itu ia tinggal di Bandung serta bermain di band De Zieger.

Perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru turut mengubah kondisi serta tradisi di ranah musik. Di era Orde Lama-nya Sukarno, musik asing begitu dibenci. Semua mesti kembali pada nasionalisme. Tak boleh ada The Beatles, juga The Rolling Stones.

Kebalikan dari Orde Lama, di masa Orde Baru keran untuk segala hal yang berbau asing justru dibuka selebar mungkin. Dari investasi sampai musik. Tujuannya: memajukan pembangunan nasional. Walhasil, dari sini, terutama di kancah musik lokal, muncul band-band yang berkiblat pada Barat, entah itu Inggris maupun Amerika. Kata rock and roll tak lagi haram; ia disambut dengan gegap gempita.

Farid tak luput menangkap fenomena tersebut. Sepanjang 1960-an sampai 1970-an ia bergabung dengan band-band yang memainkan warna rock, dari De Zieger, Cockpit, Brotherhood, hingga Brown Bear.

Setelah menjelajah ibu kota, pada awal 1970-an Farid memutuskan untuk pulang kampung ke Sukabumi dan mendirikan kelompok kugiran rock bernama Bani Adam. Perihal nama Bani Adam sendiri tergolong unik. Pada era itu band-band Indonesia cenderung memakai identitas yang kental akan nuansa Inggris.

"Kenapa memakai nama Bani Adam? Karena kita ini semua adalah Bani Adam atau umatnya Nabi Adam. Sebagai manusia kita harus paham asal usul kita," terang Farid, seperti ditulis Denny.

Eksplorasi musik Farid di Bani Adam tak sebatas bertumpu atas rock and roll, melainkan juga menyerempet ke country sampai R&B. Pada 1977 mereka melepas debut album yang diproduksi Jackson Records & Tapes. Tajuknya: Farid Bani Adam. Album ini memuat satu track populer yang berjudul “Karmila”.

Lagu tersebut dianggap banyak pihak meniru “Peace of Mind”-nya Boston, terutama di bagian intro. Tak hanya itu, lagu “Ikan Laut Pun Menari di Bawah Tanganmu” yang dimuat dalam album kedua mereka, Specials, terdengar sama dengan “Lyin Eyes”-nya The Eagles. Farid sendiri kemudian mengakui bahwa ia memang melakukan penjiplakan terhadap dua lagu tersebut.

Infografik Mozaik Farid Hardja

Infografik Mozaik Farid Hardja. tirto.id/Nauval

Dalam prosesnya, Bani Adam kerap bongkar-pasang personel. Tercatat nama-nama seperti Jimmie Manoppo, Elfa Secoria, Dodo Zakaria, Oetje F. Tekol, hingga Max Rondonuwu pernah terlibat dalam proses kreatif di band itu.

Karier bersama Bani Adam terjalin sampai awal 1980-an. Setelah itu langkah Farid sama sekali tak terhenti. Ia rajin merilis album solo dan termasuk salah satu musisi lokal yang sangat produktif. Lagu-lagunya pun banyak yang menjadi hits seperti “Lereng Bukit Kelabu,” “Surat Undangan,” sampai “Tragedi Cinta”.

Di saat bersamaan, Farid turut pula menggandeng banyak musisi untuk membuat album kolaborasi. Tak tanggung-tanggung, deretan penyanyi yang diajak berkolaborasi merupakan penyanyi kelas A macam Achmad Albar (1, 2, 3, 1984) hingga Gito Rollies (Sop Dihindangkan, 1986).

Denny Sakrie mengemukakan terdapat dua faktor yang menyebabkan nama Farid Hardja melambung dalam kancah musik nasional. Pertama, Farid memiliki karakter vokal yang lentur. Hal tersebut, terang Denny, “membuatnya mampu menyeruak di arus tren yang tengah kencang mengalir.”

Kedua, Farid cukup cermat dalam menangkap dinamika musik. Ia tak berpaku pada satu genre saja, tetapi juga mampu menyelami genre lain seperti reggae, gospel, jazz, sampai hip hop.

Ketiga, lagu-lagu Farid tak cuma berbicara soal cinta dan asmara. Farid juga kadang-kadang berbicara soal politik (“Runtuhnya Tembok Berlin,” “Partai Sembako,” “Jakarta Malang”) sampai fenomena sosial sehari-hari (“Bercinta di Udara” yang menyentil tren penggunaan radio).

Pada akhirnya, Farid, yang meninggal pada 27 Desember 1998, tepat hari ini 21 tahun lalu, membuktikan bahwa Indonesia tak pernah sepi akan kehadiran talenta-talenta dahsyat.

Ooooo … aku rindu,

katakan padanya aku rindu,

Ooo burung nyanyikanlah,

katakan padanya aku rindu

Baca juga artikel terkait MUSIK POP atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan