Menuju konten utama
Kekerasan Seksual

Kasus Staycation Buruh di Bekasi: Pekerja Perempuan Makin Rentan

Praktik pemaksaan staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak di dunia kerja adalah bentuk kekerasan seksual.

Kasus Staycation Buruh di Bekasi: Pekerja Perempuan Makin Rentan
Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/istockphoto

tirto.id - Seorang buruh perempuan berinisial AD, 24 tahun, melaporkan seorang atasan di tempatnya bekerja atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual ke Polres Metro Bekasi pada Sabtu (6/5/2023).

Dalam surat laporan polisi bernomor LP/B/1179/V/2023/SPKT/POLRES METRO BEKASI/POLDA METRO JAYA yang wartawan Tirto terima dari salah satu pendamping AD, Nyumarno, diketahui bahwa AD melaporkan seorang atasannya, B, karena diduga melakukan tindak pidana kekerasan seksual pada 3 Mei 2023.

AD bekerja di PT Ikeda Indonesia, yang berada di Kawasan Industri Jababeka di daerah Wangunharja, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Oleh AD, B dilaporkan menggunakan Pasal 6 dan/atau 5 UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, juncto Pasal 335 KUHP.

Beberapa waktu yang lalu, viral isu soal AD yang mengaku beberapa kali diajak jalan berdua oleh seorang atasannya di tempatnya bekerja namun ditolak. Jika AD menolak, kontrak kerjanya diancam tidak akan diperpanjang di perusahaan tersebut, yang kebetulan akan habis pada 13 Mei 2023.

AD juga beberapa kali ditanyai soal lokasi indekosnya. Dan si atasan juga pernah mengirim pesan ke AD soal lokasi dan foto hotel. Dari sinilah muncul dugaan adanya praktik pemaksaan staycation sebagai syarat perpanjang masa kerja kontrak.

Nyumarno, yang juga merupakan anggota DPRD Kabupaten Bekasi dari Fraksi PDIP, mengatakan bahwa saat ini AD sedang dalam pemeriksaan psikologis oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pemkab Bekasi.

“Hari ini juga rencana akan rapat dengan Dinas Ketenagakerjaan, Pengawas Ketenagakerjaan dan DP3A. Nanti saya update," kata Nyumarno kepada wartawan Tirto, Rabu siang (10/5/2023).

RP3 Tak Efektif

Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandan menyebut, kasus yang dialami AD yang menjadi korban relasi yang timpang antara bos dan buruh adalah kasus eksploitasi seksual. Kata dia, kasus serupa kerap ditemukan dalam berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan di ranah publik yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan.

“Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2023, terdapat 57,6 % atau 1.127 bentuk kasus kekerasan seksual dari total 1.956 bentuk kasus kekerasan di ranah publik. Termasuk di dalamnya adalah kasus eksploitasi seksual, yang terjadi di dunia kerja dan lembaga pendidikan," kata dia pada 9 Mei 2023.

Berkaca dari kasus AD, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi menyebut, praktik pemaksaan staycation sebagai syarat perpanjangan kontrak, rekrutmen, atau keberlanjutan di dunia kerja adalah bentuk kekerasan seksual.

“Aparat penegak hukum harus memprosesnya dengan menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Dian saat dihubungi reporter Tirto.

Ia menyebut, terkuaknya kasus yang dialami oleh AD merupakan pecahnya "gunung es" kekerasan seksual yang selama ini terjadi, namun tertutup rapat akibat budaya patriarkal yang kerap mempersalahkan korban.

"Sangat perlu memberi apresiasi kepada korban yang berani melapor dan memproses kasusnya. Karena akan mendorong korban lain juga berbicara," kata Dian.

"Menjadi penting pula bagi negara untuk melindungi korban yang berani berbicara ini dari serangan balik pelaku dan dari beragam stigma serta intimidasi di dunia digital maupun di sekitar korban," tambahnya.

Dalam film dokumenter berjudul “Angka Jadi Suara” yang digarap oleh Dian beberapa tahun lalu, banyak kasus kekerasan seksual di tempat kerja yang diadvokasi membuka jalan bagi terbentuknya Rumah Perlindungan Perempuan Pekerja (RP3) di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada 2019.

“Sayang, RP3 setelah diluncurkan justru tidak pernah beroperasi," kata Dian mengeluh.

Dian mendesak agar pemerintah bisa memastikan setiap perusahaan di berbagai kawasan industri mengefektifkan RP3 dan memperketat pencegahan kasus kekerasan seksual.

“Terlebih, relasi kuasa antara pemberi kerja dan buruh perempuan yang sangat timpang akibat sistem ekonomi kapitalisme dan budaya patriarkal," kata Dian.

Omnibus Law Makin Menindas Buruh Perempuan

Deputi Bidang Pemberdayaan Perempuan Partai Buruh, Jumisih menyebut, kasus yang dialami oleh AD tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ada posisi yang tidak setara antara bos dan buruh dalam kejadian tersebut, terlebih buruhnya adalah perempuan.

“Jadi buruh atau pekerja, memproduksi, punya atasan, atasan-atasannya punya relasi kuasa untuk memerintah, memperpanjang kontrak, memberi pekerjaan, menegur, itu dimanfaatkan para atasan yang punya posisi di institusi untuk memanfaatkan mereka-mereka yang lemah," kata Jumisih, Rabu siang.

"Hal-hal seperti ini sangat disayangkan karena hubungan ketenagakerjaan kita yang tidak baik-baik saja," tambahnya.

Yang dimaksud tidak baik-baik saja oleh Jumisih karena sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia, mulai dari UU Ketenagakerjaan hingga UU Cipta Kerja, masih melegitimasi sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dua sistem tersebut, kata Jumisih, bikin ketidakpastian bagi para buruh karena bekerja dalam jangka waktu yang pendek-pendek.

"Tidak pasti. Tidak tetap. Praktik kerja outsourcing, harian, borongan, kerja kontrak, itu marak. Asal ada perjanjian kerja secara tertulis," kata Jumisih.

"Itu membuka peluang kerja yang tidak pasti, tak hanya manufaktur dan garmen, tapi semua sektor. Elektronik, farmasi, dan lain-lain," tambahnya.

Jumisih melanjutkan, ketika ada ketidakpastian dalam sistem tenaga kerja, itu artinya ada ketidakpastian pendapatan untuk para buruh.

"Artinya, UU Cipta Kerja hari ini mempengaruhi kondisi kerja yang tidak aman. Ini dimanfaatkan oknum perusahaan untuk ambil kesempatan dalam situasi seperti yang dialami AD," katanya.

Kendati sudah ada UU TPKS yang disahkan DPR pada 2022, namun menurut Jumisih hingga saat ini masih sulit diandalkan karena aturan turunannya belum ada. Ia mendesak para elite partai politik di DPR untuk bisa mengawasi sejumlah aturan turunan dari UU TPKS yang sedang dirancang pemerintah.

"Proses ini perlu dikawal supaya menghasilkan pasal-pasal yang bisa implementatif berpihak ke korban, dengan menjunjung tinggi rasa keadilan dan kemanusiaan," tambahnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz