Menuju konten utama

Kasus SNP Finance dan Pertaruhan Rusaknya Reputasi Akuntan Publik

OJK belum mewajibkan penyusun laporan keuangan terutama finance officer harus memiliki sertifikat sebagai akuntan negara.

Kasus SNP Finance dan Pertaruhan Rusaknya Reputasi Akuntan Publik
Ilustrasi akuntansi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Akhir pekan lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjatuhkan sanksi administratif kepada dua akuntan publik (AP) dan satu kantor akuntan publik (KAP). Pangkal soalnya, AP Marlinna dan AP Merliyana Syamsul serta KAP Satrio, Bing, Eny (SBE) dan Rekan dinilai tidak memberikan opini yang sesuai dengan kondisi sebenarnya dalam laporan keuangan tahunan audit milik PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance).

Sanksi yang diterima dua AP dan satu KAP itu berupa pembatalan pendaftaran terkait hasil pemeriksaan laporan keuangan SNP Finance. Kedua AP dan satu KAP itu memberikan opini ‘Wajar Tanpa Pengecualian’ dalam hasil audit terhadap laporan keuangan tahunan SNP Finance. Padahal, hasil pemeriksaan OJK mengindikasikan SNP Finance menyajikan laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang sebenarnya secara signifikan. Sehingga, menyebabkan kerugian banyak pihak termasuk perbankan.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK, Anto Prabowo mengatakan pengenaan sanksi terhadap dua AP dan KAP itu berlaku untuk sektor perbankan, pasar modal maupun industri keuangan non bank (IKNB). Artinya untuk sementara mereka tidak dapat melakukan proses audit jasa keuangan. Pembatalan pendaftaran KAP SBE berlaku efektif setelah KAP tersebut menyelesaikan audit Laporan Keuangan Tahunan Audit (LKTA) tahun 2018 para klien yang masih memiliki kontrak.

KAP SBE juga dilarang untuk menambah klien baru. Sementara untuk AP Marlinna dan AP Merliyana Syamsul, pembatalan pendaftaran efektif berlaku sejak ditetapkan OJK pada Senin (1/10).

“Sanksi yang dijatuhkan berlaku sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sanksi ini juga berlaku bagi emiten-emiten yang menerbitkan efek dan saham, yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia,” jelas Anto kepada Tirto.

OJK menilai AP Marlinna dan AP Merliyana Syamsul telah melakukan pelanggaran berat sehingga melanggar POJK Nomor 13/POJK.03/2017 Tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik. Ini sebagai mana tertera dalam penjelasan Pasal 39 huruf b POJK Nomor 13/POJK.03/2017 (PDF), bahwa pelanggaran berat yang dimaksud antara lain AP dan KAP melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi, dan atau memalsukan data yang berkaitan dengan jasa yang diberikan.

Sementara itu, KAP SBE yang merupakan partner lokal Deloitte Indonesia, menegaskan belum menerima salinan resmi putusan OJK tersebut. Dengan begitu, pihaknya belum bisa memutuskan langkah apa yang akan ditempuh. KAP SBE menambahkan, pihaknya telah menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan. Namun KAP SBE menyatakan sama sekali tidak pernah diminta untuk memberikan keterangan terkait LKTA SNP Finance oleh OJK.

“KAP SBE juga masih mempelajari opsi-opsi yang dapat ditempuh,” tulis KAP SBE dalam keterangan resmi yang diterima Tirto.

Skandal pemalsuan dan manipulasi laporan keuangan dalam skala internasional juga pernah menghebohkan dunia. Enron Corporation, perusahaan energi asal Houston, Texas, Amerika Serikat (AS) bekerjasama dengan kantor akuntan Arthur Andersen (AA) dalam aksi manipulasi laporan keuangan. Enron menggelembungkan nilai laba perusahaan senilai $74 miliar.

Padahal, $43 miliar di antaranya merupakan keuntungan fiktif berkat ‘otak-atik’ neraca laba-rugi. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan nominal $586 juta sebagai pendapatan di muka. Angka laba perseroan yang melantai di New York Stock Exchange (NYSE) dengan kode emiten ESE itu pun melambung. Memasukkan angka proyeksi dalam laba perusahaan memang masih mengikuti prinsip akuntansi dalam penyajian laporan keuangan.

Enron dengan lihai menyembunyikan kerugian dan utang di bawah metode off-balance sheet yang digunakan dalam pembuatan laporan keuangan. Bentuk penipuan lain yang dilakukan termasuk penggelapan dana perusahaan oleh eksekutif Enron yang mencapai $2,9 triliun.

“Tujuan dari manipulasi laporan keuangan adalah untuk menyembunyikan kerugian dan utang dari auditor, investor, analis keuangan dan regulator,” tulis Profesor Edel Lemus M.I.B.A dari Carlos Albizu University, AS dalam jurnal internasional berjudul The Finance Collapse of the Enron Corporation and Its Impact in the United States Capital Market (PDF).

Manipulasi yang tersaji di laporan keuangan Enron dibiarkan oleh akuntan publik Arthur Andersen (AA) dalam auditnya. Untuk memoles laporan keuangan bobrok menjadi kinclong, AA mendapat fee audit sampai dengan $25 juta dari Enron di tahun 2000. Angka itu belum termasuk duit senilai $27 juta sebagai fee konsultan dan pekerjaan lainnya. Akuntan publik AA kemudian dinyatakan bersalah dalam kasus Enron.

“Reputasi Arthur Andersen hancur. Bisnis mereka akhirnya dijual kepada rekan-rekan mereka di ‘Big Five’ –KPMG, Ernst & Young, Deloitte Touche Tohmatsu dan PriceWaterhouseCoopers (yang kemudian menjadi ‘Big Four’)-. AA kemudian hilang terkena seleksi alam karena melanggar etika,” tulis Mustofa dalam buku Manajemen Modern Bisnis Kantor Akuntan (2014:244). Enron sendiri dinyatakan bangkrut pada 2001.

‘Cantik’ Tapi Palsu

Berbagai trik menyulap laporan keuangan ‘bobrok’ menjadi kinclong bertujuan untuk membuktikan bahwa bisnis perseroan berjalan ‘mulus’ tanpa hambatan. Neraca akan terlihat ‘cantik’, jika keuntungan perusahaan tercatat stabil dibanding angka-angka yang berfluktuasi. Upaya ‘mempercantik’ kinerja keuangan perseroan dalam dunia akuntansi disebut juga sebagai ‘creative accounting’.

Istilah akuntansi kreatif ini didefinisikan sebagai ‘suatu proses di mana akuntan menggunakan pengetahuan mereka tentang aturan akuntansi untuk memanipulasi angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan. Sebagaimana tertulis dalam buku Ethical Issues in Accounting, karangan Catherine Gowthrope dan John Blake (1998:25).

Salah satu alasan akuntansi kreatif ini dilakukan adalah untuk menampilkan keuntungan yang merata setiap tahunnya. Tren pertumbuhan laba yang stabil lebih disukai oleh perusahaan daripada menunjukkan keuntungan yang naik-turun kepada investor maupun masyarakat. “Variasi pada pemerataan laba yang dilakukan perseroan adalah memanipulasi laba untuk dikaitkan dengan target atau proyeksi bisnis tahun berikutnya,” Catherine Gowthrope dan John Blake (1998:29).

Praktik ‘akuntan kreatif’ untuk ‘mempercantik’ laporan keuangan menurut Mustofa, sama sekali tidak sesuai dengan standar profesi. Sesuai kode etik, seorang akuntan harus melapor jika menemukan adanya sesuatu hal yang tidak beres dalam sebuah perusahaan.

“Dengan keistimewaan yang dimilikinya, akuntan semesatinya memiliki kewajiban untuk melaporkan segala sesuatu dengan apa adanya, termasuk jika ada hal yang tidak wajar. Apalagi jika di kemudian hari diketahui bahwa penyimpangan yang diprakarsai oleh manajemen tinggi perusahaan memiliki dampak yang luas pada perekonomian,” rinci Mustofa (2014: 259).

Belajar dari pengalaman Enron maupun perusahaan internasional yang bangkrut lainnya, kegagalan auditor untuk melakukan pemeriksaan laporan keuangan secara intensif dan memberikan sinyal peringatan, telah menimbulkan krisis finansial. Kemudian muncul kekhawatiran tentang kualitas audit serta hubungan auditor dengan manajemen perusahaan. Kepercayaan investor dan masyarakat bisa pulih, jika para auditor menerapkan standar yang tinggi.

Karena itu, sangat penting agar para akuntan bertindak proaktif ketika melihat ada hal-hal yang tidak benar. “Tindakan proaktif itu dilakukan dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab profesi dan juga kode etik,” tulis Mustofa (2014:261).

Buku Ethical Issues in Accounting juga menyebut, kode etik merupakan etika penting bagi akuntan dan berbagai pihak yang mengandalkan informasi dari laporan keuangan yang diaudit dengan relevan. Salah satu peran etik, tulis Catherine Gowthrope dan John Blake, adalah untuk meyakinkan orang-orang yang berprofesi sebagai akuntan publik layak untuk mendapatkan kepercayaan, rasa hormat, dan keuntungan finansial.

“Kode etik dapat digunakan untuk meyakinkan orang lain bahwa akuntan publik profesional bisa dipercaya dan tidak akan mengambil keuntungan dari akses informasi yang bersifat istimewa,” tulis buku tersebut (1998:153).

Infografik Prinsip dasar etika akuntan publik

Upaya Mitigasi Kecurangan

Laporan keuangan yang tersaji harus mencerminkan relevansi, tepat waktu dan dapat dipercaya oleh penggunanya. Oleh karena itu, laporan keuangan harus memenuhi standar dan terbukti kualitas auditnya. Kualitas audit merupakan salah satu hal penting dalam sebuah laporan keuangan, selain kredibilitas dan kualitas tinggi.

Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo menyebut auditor dalam memberikan opini, secara spesifik terbatas pada penyajian angka laporan keuangan. Auditor juga memberikan asuransi keyakinan yang memadai atas penyajian informasi keuangan serta laporan keuangan.

“Tapi opini tersebut tidak serta merta memberikan asuransi atas masa depan suatu entitas atau keyakinan apakah perusahaan tersebut dapat membayar utang-utangnya. Opini tersebut juga tidak untuk memberikan keyakinan atas kelangsungan bisnis perusahaan,” jelas Tarkosunaryo kepada Tirto.

Menurut Tarkosunaryo, masih banyak faktor internal dan eksternal yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis suatu perusahaan. Termasuk pula, kemampuan entitas tersebut membayar utang. “Ini semua di luar kontrol auditor. Apalagi auditor adalah pihak eksternal yang hanya ditunjuk untuk mencermati laporan keuangan dan tidak mengawasi operasional perusahaan,” kilah Tarkosunaryo.

Adanya kecenderungan pandangan masyarakat bahwa suatu entitas mengalami gagal usaha ataupun gagal bayar, akibat auditor salah memberikan opini atas penyajian laporan keuangan. Padahal, direksi dan manajemen internal suatu perusahaan lebih bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan. Pihak-pihak tersebut, menurut Tarkosunaryo, adalah pihak yang merancang sejak awal hingga akhir transaksi termasuk merancang sistem pembukuan dan laporan keuangan.

“Bahkan termasuk bertanggung jawab untuk menetapkan pengendalian internal, sehingga laporan keuangan dapat disusun sesuai kondisi sebenarnya,” sebut Tarkosunaryo.

Tanggung jawab auditor atas laporan keuangan adalah melakukan prosedur untuk mendeteksi apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material yang dicerminkan dalam bentuk pemberian opini. Ia menegaskan tanggung jawab auditor terletak pada opini tersebut dan bukan pada laporan keuangan. Oleh karena itu, diharapkan regulator seperti OJK dan juga Kementerian Keuangan dapat mengatur bahwa pejabat penanggung jawab laporan keuangan sebuah perusahaan adalah pemegang sertifikat akuntan negara yang diterbitkan Menteri Keuangan.

OJK maupun Kementerian Keuangan perlu untuk mewajibkan pejabat internal yang bertanggung jawab dalam laporan keuangan untuk memiliki kompetensi profesi dan menjadi anggota profesi. Tujuannya, agar terikat dengan kode etik profesi akuntansi. Saat ini ada tiga organisasi profesi akuntansi yaitu IAPI, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan juga IAMI.

Anggota ketiga organisasi tersebut juga berhak memiliki register negara untuk akuntan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mengusulkan agar direktur keuangan selaku penyelenggara laporan keuangan wajib memiliki sertifikasi sebagai pihak yang diaudit (auditee) sebagai upaya mitigasi kecurangan.

Kewajiban pemegang register negara akuntan itu adalah menjadi anggota di salah satu organisasi akuntan tersebut. “Dengan begitu, jika ada pelanggaran dalam laporan keuangan maka Menteri Keuangan dapat membatalkan register negara dan dapat diawasi dengan lebih ketat oleh organisasi,” kata anggota Dewan Pengurus Nasional IAI, Cris Kuntadi kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait SNP FINANCE atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra