Menuju konten utama
UU ITE

Kasus Siswi SMP Jambi & Mengapa Masih Ada Kriminalisasi Kritik?

Dalam kebebasan berekspresi, Wahyudi menyoal sikap aparat yang langsung proses hukum siswi SMP di Jambi meski berakhir damai.

Kasus Siswi SMP Jambi & Mengapa Masih Ada Kriminalisasi Kritik?
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Publik kembali diramaikan soal sikap pemerintah yang dinilai arogan. Hal ini menyusul kasus yang dialami siswi SMP berinisial SFA di Jambi. SFA dilaporkan ke Polda Jambi lantaran mengkritik kinerja Pemerintah Kota Jambi (Pemkot Jambi).

Kasus berawal ketika SFA menyampaikan keprihatinan atas kediaman neneknya yang rusak. Siswi SMP ini menilai, kediaman neneknya rusak akibat kendaraan bermuatan berat berlebihan milik salah satu perusahaan swasta yang rutin melintas hingga merusak jalan. Ia menyoalkan perizinan perusahaan yang dinilai eksploitasi hasil hutan dan perjanjian perusahaan dengan Wali Kota Jambi, Syarif Fasha.

Kritik SFA malah direspons dengan pelaporan ke polisi oleh Pemkot Jambi. Kabag Hukum Setda Kota Jambi Gempa Awaljon, melaporkan SFA ke polisi akibat video SFA yang berjudul “Surat dari Kerajaan Fir'aun Kota Jambi ke Polda Jambi” pada 4 Mei 2023. SFA lalu dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) dan 27 ayat (3) UU ITE oleh kepolisian akibat video yang berisi upaya mediasi pemerintah dengan SFA.

Usai kasus SFA viral di publik, sejumlah pihak mendorong agar kasus SFA tidak diproses hukum. Salah satunya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang berpendapat bahwa SFA adalah seorang anak sekaligus warga sipil yang menggunakan haknya untuk berpendapat di muka umum, yang juga berhak melayangkan kritik kepada pemerintah kota, apalagi berdasarkan pengalaman keluarganya.

“Secara umum pendapat yang disampaikan oleh SFA adalah kritik yang sama sekali tidak dapat direspons dengan pemidanaan,” kata peneliti ICJR, Johanna Poerba dalam keterangan tertulis, Selasa, 6 Juni 2023.

Selain itu, kata Johanna, yang dinyatakan oleh SFA bukan merupakan ujaran kebencian yang dapat dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Pemerintah bukanlah kelompok yang dilindungi oleh unsur “antargolongan” dalam pasal ini, pasal hanya ditujukan untuk melindungi kelompok/individu berdasarkan identitas yang membuatnya rentan didiskriminasi, pemerintah yang mana memang merupakan sasaran kritik, bukan suatu identitas yang dilindungi oleh pasal ini, kata dia.

“SFA pun tidak dapat dijerat dengan pemidanaan penghinaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Penjelasan Pasal 27 ayat (3) poin f SKB UU ITE menegaskan bahwa pelapor penghinaan hanya dapat orang perseorangan, bukan institusi maupun jabatan. Oleh karena itu, Gempa Awaljon tidak berhak melaporkan SFA atas tuduhan pencemaran nama baik institusi Pemerintah Kota Jambi maupun Wali Kota Jambi," terang Johanna.

Johanna mengatakan, kasus SFA menadakan bahwa norma UU ITE masih dipakai untuk membungkam kritik.

“Kasus ini menandakan permasalahan mendasar UU ITE, sejumlah permasalahan norma dan praktiknya selalu dijadikan ‘senjata’ untuk pihak yang antikritik, menimbulkan iklim ketakutan di masyarakat, yang saat ini menjerat seorang anak, yang seharusnya dilindungi,” kata Johanna.

Menko bidang Polhukam, Mahfud MD pun turun tangan dalam kasus tersebut. Menurut Mahfud, SFA memang bersalah, tetapi sudah meminta maaf. Ia mengatakan, SFA minta maaf karena emosi memfitnah kepolisian.

Namun, Mahfud MD menegaskan, proses hukum tetap akan dikawal olehnya. Ia juga mengaku sudah mengirim staf untuk menyelesaikan kasus tersebut.

“Tadi anaknya sudah muncul di tv minta maaf karena emosi, memfitnah kantor polisi. Tentu nanti akan kita selesaikan. Tidak kemudian kasusnya hilang, kita tangani,” kata Mahfud di Jakarta, Selasa (6/6/2023).

Pihak kepolisian pun menyatakan laporan hukum Pemkot Jambi dihentikan. Hal itu terjadi setelah ada mediasi dari pihak SFA dan kuasa hukum, ketua RT kediaman setempat, Pemkot Jambi lewat Pelapor, Gempa Awaljon, dan UPTD PPA Jambi.

“Telah dilaksanakan keadilan restoratif, dihadiri para pihak yang terlibat. Setelah diuraikan berbagai persoalan yang terjadi, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai,” ucap Kabid Humas Polda Jambi, Kombes Pol Mulia Prianto, ketika dikonfirmasi Tirto, Rabu, 7 Juni 2023.

Pada kesepakatan damai tersebut, SFA bersungguh-sungguh meminta maaf dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Kemudian, Pemerintah Kota Jambi yang diwakili Kabag Hukum juga telah mencabut pelaporan.

“Karena pihak pemkot telah melihat iktikad baik SFA yang membuat video permintaan maaf. Kedua pihak juga telah sepakat tidak akan melanjutkan permasalahan ini ke ranah hukum,” kata Mulia.

Catatan dari Kasus Siswi SMP di Jambi

Meski demikian, upaya kasus SFA mencapai keadilan bukan berarti tidak ada catatan. Sebelum akhirnya dimediasi, beragam kritik di media sosial muncul setelah kasus SFA menjadi sorotan.

Salah satu akun yang vocal menyampaikan kritik adalah @PartaiSocmed. Dalam salah satu cuitan, @PartaiSocmed menyatakan bahwa upaya perdamaian SFA berjalan sepihak dan ada upaya menekan SFA lewat masalah sekolah.

PartaiSocmed pun sempat menunjukan tangkapan layar perbincangan grup Whatsapp yang diduga adalah Pemerintah Kota Jambi.

Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar mengakui, ada dua permasalahan dalam kasus SFA. Pertama, adanya penggunaan pasal pidana untuk membungkam ekspresi publik. Kedua, adalah pengungkapan informasi di media sosial.

“Dua-duanya ini problematis, membungkam kritik menggunakan pasal pidana padahal kritik yang disampaikan itu bagian dari legitimate expression, itu kan tentu dampaknya panjang bagi kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi itu sendiri,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto, Rabu (7/6/2023).

Dalam kasus kebebasan berekspresi, Wahyudi menyoalkan sikap aparat yang langsung memproses hukum. Ia menilai, penegak hukum seharusnya jeli apakah pernyataan SFA masuk sebagai ekspresi kritik atau pernyataan yang mengarah pidana.

Ia juga mengkritik SKB 3 menteri sebagai filter agar UU ITE tidak menjadi pasal “karet” justru tidak digunakan sebagai pegangan, tetapi malah tetap memproses hukum.

Wahyudi mengkritik soal legislasi. Ia mengakui bahwa pasal di UU ITE seperti Pasal 27 ayat 1, 27 ayat 3, 27 ayat 4 maupun Pasal 28 ayat 2 adalah pasal karet. Meskipun 'pasal karet' tersebut sudah diperbaiki lewat Undang-Undang 1 tahun 2023 tentang KUHP, pasal tersebut masih aktif. Sebab, kata dia, UU Nomor 1 tahun 2023 baru efektif berlaku pada 2026. Selain itu, masih ada kekhawatiran ada upaya merumuskan kembali pasal tersebut lewat UU ITE.

“Ada kekhawatiran juga bahwa revisi Undang-Undang ITE yang saat ini berjalan di DPR justru malah ingin memodifikasi ketentuan-ketentuan itu, meskipun sudah eksplisit dinyatakan dicabut oleh sejumlah pasal di dalam KUHP karena memang digantikan oleh ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP," kata Wahyudi.

Di sisi lain, Wahyudi berharap, publik mulai tidak menggunakan pendekatan pidana dalam merespons isu seperti yang dialami SFA. Ia menilai, informasi yang bersifat tudingan sebaiknya mulai menggunakan pendekatan klarifikasi dengan data di platform serupa.

Pada masalah doxing, Wahyudi berharap agar publik harus mulai menyadari urgensi menjaga privasi. Ia mengatakan, upaya membagikan informasi tangkapan layar grup tanpa izin bisa dikategorikan sebagai pelanggaran privasi. Ia mengingatkan, Indonesia memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang bisa menjerat penyebar informasi yang tidak resmi. Ia mengingatkan bahwa ada ruang dugaan kriminalisasi dalam UU PDP yang baru.

“Kalau kita cek misalnya ketentuan Pasal 65 ayat 2 di dalam UU PDP itu, kan, dikatakan di situ setiap orang yang dengan sengaja, ya maksudnya yang secara melawan hukum mengungkapkan data pribadi gitu kan seseorang itu bisa dikenakan pidana," tutur Wahyudi.

“Artinya orang yang di-doxing itu kalau kemudian dia bisa mengetahui adanya materi gitu, dia bisa juga menggunakan di dalam ketentuan Undang-Undang PDP untuk memidanakan, untuk mengkriminalkan orang lain,” kata Wahyudi.

Wahyudi menilai, kejadian seperti SFA memiliki pola serupa. Ia tidak memungkiri kasus yang hampir serupa terjadi dalam kisah Baiq Nuril yang sempat tersandung kasus UU ITE. Saat itu, publik membela dan mengungkap profil para pelapor dan mengawal kasus tersebut.

Menurut Wahyudi, permasalahan seperti SFA yang serupa di masa depan bisa tidak terulang. Pertama, Wahyudi menekankan agar tidak menggunakan pendekatan pidana, melainkan penguatan literasi dan kapasitas kemampuan warganet, serta penegak hukum.

Sebagai contoh, kata Wahyudi, pemerintah mengedukasi publik soal kebebasan berekspresi di internet serta regulasinya. Ia mencontohkan agar edukasi tersebut dimasukkan ke kurikulum sekolah dalam kasus SFA.

Ia juga mendorong penyelenggara sistem elektronik untuk mengedukasi pengguna. "Nah termasuk juga pemerintah dan penegak hukum sendiri agar tadi tidak kemudian kupingnya cepat panas," kata Wahyudi.

Sementara itu, peneliti kebijakan publik dari IDP-LP, Riko Noviantoro menilai, fenomena SFA sebagai bagian dari fenomena speak up di mana publik ingin menyampaikan pendapat dan ekspresi. Hal itu, kata Riko, adalah hal yang dilindungi. Kedua, media sosial menjadi wadah mereka untuk menyampaikan ekspresi.

“Yang menarik sebetulnya adalah speak up. Dengan sarana itu, persoalan utama ada sesuatu keluhan dari masyarakat yang tidak tersampaikan,” kata Riko.

Riko menilai, publik seperti SFA lantas menggunakan media sosial pribadi karena merasa tidak diperhatikan pemerintah. Masyarakat seperti SFA lantas menyuarakan informasi yang tidak pernah didengar pemerintah lewat kanal resmi.

“Pemerintah nggak punya kanal yang bisa menjadi sarana untuk publik menyampaikan pendapat. Kalau pun ada, mungkin dia tidak responsif terhadap itu, sehingga publik menggunakan sarana pribadinya untuk menyampaikan pendapat-pendapat yang sesuai pemikiran mereka,” kata Riko.

Riko menilai, setiap warga tentu punya keluhan kepada pemerintah dan pemerintah perlu menangani keluhan tersebut. Pada kasus SFA, ia menduga publik bingung untuk melapor, sementara ingin menyampaikan ekspresi. Masalah SFA seharusnya bisa diselesaikan dengan merespons keluhan yang ada.

Di sisi lain, Riko juga menilai Pemkot Jambi berlebihan. Ia mencontohkan, para pendemo yang mengritik pemerintah tidak diproses hukum dan mengedepankan dialog. "Seharusnya pemerintah Jambi mengajak dialog anak muda itu, bukan kemudian dia reaktif dan kedua dia tidak profesional karena itu anaknya sendiri," kata Riko.

Riko mengatakan, situasi di Pemkot Jambi adalah cerminan realita pemerintahan Indonesia saat ini. Menurut Riko, pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan ketimuran dengan berupaya mengayomi rakyat layaknya orangtua dan anak.

Karena itu, ia mendorong agar Pemkot Jambi untuk mendidik publik supaya tidak berbicara berlebihan sambil memperkuat respons cepat kanal pengaduan.

“Kalau memang jalur hukum ya bisa, tapi kan dengan cara-cara non-litigasi, bukan litigasi di depan,” kata Riko.

Ia menilai, situasi Pemkot Jambi mirip dengan pemerintah pusat yang menyasar pengkritik pemerintah. Ia mengambil contoh kasus Fatia dan Haris Azhar yang dilaporkan Luhut Binsar Pandjaitan ke polisi dengan dugaan pencemaran nama baik. Kasus ini sedang bergulir di pengadilan.

Riko juga mendorong agar pemerintah mengedepankan upaya non-hukum dalam kasus seperti SFA dan pemerintah bisa merespons dialog.

Ia mencontohkan bagaimana akun polda-polda mulai mendengar keluhan publik. Ia menilai, pengelolaan akun media sosial secara professional dan menjawab keluhan masyarakat bisa menjadi solusi pemerintah agar kejadian Pemkot Jambi dan SFA tidak terulang.

“Kalau sudah dua hal itu disiapkan, maka persiapan berikutnya mempersiapkan ruang dialog tatap mukanya," kata Riko.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz