Menuju konten utama

Kasus Reynhard Sinaga: Kekerasan Seksual Tak Kenal Orientasi Seks

Pegiat isu kekerasan seksual Tunggal Pawestri menilai reaksi masyarakat yang justru menyoroti orientasi seksual Reynhard menunjukkan sikap diskriminasi dan tak adil.

Kasus Reynhard Sinaga: Kekerasan Seksual Tak Kenal Orientasi Seks
Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/istockphoto

tirto.id - Kasus pemerkosaan yang dilakukan Reynhard di Inggris ramai diperbincangkan. Pria bernama lengkap Reynhard Tambos Maruli Tua Sinaga (36 tahun), asal Indonesia ini tengah menjadi headline di sejumlah media di Inggris usai mendapatkan hukuman seumur hidup atas 159 kasus pemerkosaan yang dilakukan, serta serangan seksual terhadap 28 pria.

Namun, saat menengok ke media sosial, masyarakat Indonesia justru banyak yang menyoroti soal orientasi seksual Reynhard, alih-alih membahas masalah kekerasan seksual yang dilakukan pria asal Depok, Jawa Barat itu.

Lebih jauh lagi, bahkan ada komentar yang memaklumi saat pemerkosaan terjadi kepada perempuan, daripada terhadap laki-laki seperti halnya yang dilakukan Reynhard.

Ketua Arus Pelangi --organisasi yang fokus dalam advokasi LGBT-- Ryan Kobarri menilai komentar tersebut justru tak lain adalah bentuk diskriminasi yang berdampak pada generalisasi kelompok homoseksual lain.

“Kejahatan Reynhard tidak ada hubungannya dengan orientasi seksualnya. Menganggap homoseksual sebagai pelaku kekerasan adalah tuduhan yang tidak berdasar,” kata Ryan saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (7/1/2020).

Ryan menambahkan, “Banyak juga heteroseksual yang jadi pelaku kekerasan seksual, tapi tidak pernah disangkut pautkan dengan orientasi seksualnya.”

Sorotan atas orientasi seksual Reynhard, kata Ryan, tak lain adalah bentuk penguatan stigma buruk terhadap kelompok LGBT. Padahal, kata dia, kasus tersebut justru menunjukkan bahwa siapapun rentan untuk menjadi korban, baik orang tersebut berjenis kelamin laki-laki, perempuan, maupun transgender.

“Menganggap homoseksual adalah pelaku kekerasan merupakan stigma yang ada dan merupakan homophobia. Pemerintah Indonesia cenderung abai dalam membangun sistem untuk penanganan kekerasan seksual terbukti dengan RUU PKS yang belum disahkan,” kata Ryan.

Dalam catatan Komnas Perempuan, terdapat 406.178 kasus yang tercatat sepanjang tahun 2018. Angka tersebut naik sekitar 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 348.446 kasus.

Dari data tersebut, angka pemerkosaan justru banyak terjadi dalam ruang privat, di mana korban telah mengenal pelaku.

Kekerasan seksual dalam relasi privat tertinggi pada tahun 2018 ada inses dengan jumlah 1.071 kasus, dengan pelaku yang kebanyakan adalah paman atau ayah dari korban. Kemudian diikuti dengan pemerkosaan (818 kasus) yang terjadi dalam ranah privat.

Berdasarkan data tersebut, Co-Director Hollaback! Jakarta, Anindya Restuviani menilai mendiskusikan masalah kekerasan seksual hanya melihat berdasarkan orientasi seksualnya menjadi hal yang tak relevan.

“Setiap kali saya melihat cuitan di Twitter yang menyerang LGBT saat membahas soal pemerkosa Reynhard membuat saya mau menampar mereka dengan sekitar 407 ribu kasus kekerasan seksual di Indonesia dengan mayoritas pelakunya adalah laki-laki heteroseksual” kata Anindya dalam twitnya yang telah dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (7/1/2020).

Pelajaran dari Kasus Reynhard

Anindya menegaskan, “Apa yang penting dari kasus ini adalah melihat bagaimana perilaku dari seorang predator, bagaimana memastikan korban mendapatkan akses untuk pemulihan, dan melihat bagaimana kekerasan seksual bisa terjadi ke siapapun, termasuk laki-laki.”

Pegiat isu kekerasan seksual Tunggal Pawestri menyampaikan bahwa reaksi masyarakat yang malah menyoroti orientasi seksual Reynhard menunjukkan sikap diskriminasi dan menjadi hal yang tak adil.

“Aku memperhatikan di media sosial gimana isu ini berkembang dan muncul narasi-narasi kebencian dan rasanya tidak adil [terhadap kelompok LGBT]. Karena pelaku dalam kasus ini adalah heteroseksual, tak ada sorotan atau generalisasi atas orientasinya,” ujar Tunggal kepada reporter Tirto.

“Contohnya, kakek-kakek memerkosa anak gadis, tak ada generalisasi bahwa seluruh kakek-kakek adalah pihak yang cabul. Jadi ya ini memang bagian dari kebencian yang terus dilanggengkan,” kata dia.

Menurut Tunggal, dalam kasus Reynhard, terdapat beberapa hal penting untuk dilihat, misalnya bentuk perlindungan terhadap korban yang dapat dilakukan oleh aparat, maupun media.

“Langkah perlindungan terhadap korbannya di mana sedikit sekali informasi mengenai korban, bahkan inisial saja susah dicarinya. Kalau dilihat dari beritanya, bagaimana aparat penegak hukum sangat hati-hati dalam menangani kasus kekerasan seksual, bahkan menjaga korban,” ungkap Tunggal.

Perlindungan terhadap korban, dalam konteks Indonesia, kata dia, masih banyak kekurangan. Bahkan, dalam salah satu kasus pengungkapan kasus prostitusi online yang menyeret nama artis dengan inisial VA di Jawa Timur, justru aparat yang mengungkapkan namanya. Padahal, saat itu status mereka masih menjadi saksi.

Tak hanya itu, sejumlah korban kekerasan seksual di Indonesia justru menjadi korban ganda akibat hukum yang masih belum berpihak kepada korban.

Baiq Nuril merupakan salah satu contohnya. Ia selaku korban kekerasan seksual justru dituntut oleh pelakunya menggunakan UU ITE.

Selain itu, korban pemerkosaan di Jambi, WA (15), justru dijerat pasal aborsi akibat dari pengguguran yang dilakukan dia selepas pemerkosaan oleh kakak kandungnya.

“Lalu kita juga bisa penyediaan konseling dari negara. Ini penting untuk dilihat,” kata Tunggal.

Baca juga artikel terkait KASUS REYNHARD SINAGA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz