Menuju konten utama

Kasus Rachel Vennya dan Muslihat Aparat "Penyedia Layanan"

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut penyedia jasa tes PCR ditaksir mendapat laba hingga Rp 10,46 triliun dalam periode Oktober 2020-Agustus 2021.

Kasus Rachel Vennya dan Muslihat Aparat
Peserta Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjalani tes usap antigen COVID-19 di halaman The Sultan Convention Center, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (3/9/2021).ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

tirto.id - Kasus Rachel Vennya yang kabur dari karantina dan bepergian dengan anak berusia di bawah 12 tahun adalah fenomena gunung es. Ia yang semestinya melakukan karantina selama delapan hari, belakangan mengaku tidak melakukan karantina sama sekali. Kemudian setelah itu anak-anaknya ketahuan turut pergi ke Bali merayakan ulang tahun Rachel.

Padahal Surat Ederan Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 17 tahun 2021 dan Surat Edaran Kementerian Perhubungan Nomor SE 62 Tahun 2021 menyebut, anak-anak di bawah umur 12 tahun sementara waktu tidak diperkenankan melakukan perjalanan dalam negeri antarbatas wilayah administrasi provinsi atau kabupaten atau kota. Kecuali ikut perjalanan dinas karena alasan pindah tugas.

“Ada diskresi sebagaimana yang disampaikan pihak Kementerian Perhubungan untuk ikut perjalanan dinas atau pekerjaan saat hendak melakukan pindah tugas,” kata Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, melansir dari Kompas.

Tak perlu uang banyak untuk memenuhi persyaratan khusus demi lolos dari aturan pembatasan saat pandemi. Karena ternyata para “penyedia layanan” ini cuma mematok harga standar dalam menjalankan aksinya.

Narasumber kami pernah menggunakan layanan ini pada awal bulan Oktober kemarin, saat Jakarta masih menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3.

Sebut saja AH, pada awal Oktober orang tuanya meminta AH pulang ke Bangka Belitung. Bapak AH terkonfirmasi positif Covid-19 dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Takut tak punya waktu berkumpul lagi, ibu AH meminta keluarga besarnya untuk berkumpul.

AH bingung, di satu sisi ia khawatir pada risiko penularan virus kepada anaknya. Tapi ketakutan akan momen yang tak bisa diulang, ditambah rasa bakti mengalahkan semuanya. AH beserta istri dan anaknya yang belum genap setahun mencari jalur alternatif untuk sampai di kampung halamannya.

“Awalnya mau lewat jalan darat, lalu lanjut kapal laut, tapi makan waktu lama. Akhirnya kami coba datang ke Soeta (Bandara Soekarno Hatta) dan tanya ke Satgas Covid,” kata AH kepada Tirto.

Maksud Satgas Covid dalam obrolan kami merujuk pada seorang aparat militer yang berada di Posko Satgas Covid di Terminal 2. Setelah menyatakan maksud dan tujuan mereka, anggota tersebut langsung menyodorkan nomor telepon.

“Hubungi saya saja, nanti saya bantu belikan tiket,” begitu katanya, seperti diceritakan kembali oleh AH.

Aparat "Penyedia Layanan" Berkeliaran

Setelah mengantongi alternatif “jalan keluar”, AH dan keluarganya tak langsung pulang, mereka pergi berkeliling di Terminal 2. Melihat AH membawa bayi, seorang aparat berseragam lain langsung menghampirinya. Kali ini dari kepolisian.

“Sudah beli tiket? Sini saya bantu, sekalian PCR (Polymerase Chain Reaction),” kata aparat tersebut blak-blakan.

Bersama si aparat polisi, AH memesan tiket penerbangan dari sebuah aplikasi dan mengirimkan sertifikat vaksin. Mereka tidak melakukan prosedur swab PCR secara mandiri, karena dijanjikan tindakan keesokan paginya, sebelum pemberangkatan.

Tapi saat hari keberangkatan, AH langsung mendapat hasil PCR sebagai syarat kelayakan terbang tanpa harus melakukan swab. Hasilnya pun terkoneksi dengan aplikasi pedulilindungi.id dan Electronic Health Alert Card (EHAC).

“Nah, alamat laboratorium [yang mengeluarkan PCR] itu dekat sama rumah saya di daerah Kota,” terang AH, entah hanya kebetulan atau memang dikondisikan demikian.

Setelah itu aparat tersebut mengawal mereka sampai proses masuk pesawat. AH baru melakukan pembayaran jasa setelah sampai di tempat tujuan. Jumlahnya Rp 450 ribu per orang, hampir sama dengan biaya PCR di Bandara Soeta sebesar Rp 495 ribu.

“Di dalam satu pesawat yang sama ada tiga bayi lain, total 4 dengan anak kami.”

AH juga bercerita alasan lain memilih menggunakan cara jahat untuk meloloskan diri dari aturan PPKM, “Kakak saya ikut terbang juga, dan takut nggak lolos kalau PCR sungguhan, karena keluarganya baru terkonfirmasi positif.”

Bisnis Menjanjikan

Melalui aturan anyar, kini anak-anak berusia di bawah 12 tahun memang sudah diperbolehkan menaiki moda transportasi. Namun persyaratannya harus melampirkan hasil negatif tes Covid-19, bisa antigen atau PCR.

Tapi khusus untuk penerbangan, baik anak maupun dewasa wajib melampirkan hasil PCR. Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Aturan ini berlaku efektif mulai 24 Oktober 2021 bagi penerbangan antarkota di Pulau Jawa dan Pulau Bali serta daerah yang menerapkan PPKM level 4 dan 3. Wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali yang masuk kategori PPKM level 4 dan 3 juga wajib menunjukkan tes RT-PCR.

Melihat pola “bisnis jahat” meloloskan orang dari aturan PPKM, aturan anyar ini berpeluang membuka celah lebih besar. Sejumlah warganet di akun media sosial Kereta Api Indonesia (KAI) dan Angkasa Pura banyak yang protes, terutama para orang tua yang memiliki anak di bawah 5 tahun.

Infografik bisnis PCR MILD

Infografik bisnis PCR MILD. tirto.id/Quita

Beberapa kali polisi pernah menangkap pelaku pemalsuan PCR, termasuk di Bandara Soeta dan Halim. Pada kasus Rachel, aparat TNI yang meloloskannya adalah Satgas Covid di Bandara Soeta.

Selama ini penyelenggaraan beragam tes Covid-19 di Indonesia memang diduga memiliki motif bisnis. Lihat saja bagaimana penyelenggara mengakali Harga Eceran Terendah (HET). Sebelum keluar aturan tentang HET tes Covid-10, harga PCR di awal pandemi bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta.

Kemudian keluar Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang ditandatangani Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir pada 5 Oktober 2020. Isinya membatasi tarif tes PCR tertinggi Rp 900 ribu.

Aturan ini berlaku hampir setahun lamanya hingga pemberlakuan tarif PCR baru, maksimal Rp 495 ribu di Pulau Jawa dan Bali, serta Rp 525 ribu di luar Pulau Jawa dan Bali sesuai Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2845/2021 yang ditandatangani Abdul Kadir pada 16 Agustus 2021.

Itupun pengaplikasiannya tak sesuai praktik di lapangan.

“HET PCR banyak diakali provider dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam,” kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, melansir dari Antara, Sabtu, (23/10/2021).

Tulus menilai syarat wajib PCR pada aturan PPKM kali ini lebih baik dibatalkan atau minimal direvisi. Misalnya dengan memperpanjang waktu pemberlakuan PCR, atau cukup antigen dengan syarat wajib vaksin dua kali. Ia juga mengusulkan HET PCR turun sampai angka Rp 200 ribuan.

“Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan,” ujarnya.

Sebelumnya, pada pertengahan tahun ini Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut perhitungan biaya tes PCR dari Oktober 2020-Agustus 2021 mencapai Rp 23,2 triliun. Penyedia jasa tes PCR ditaksir mendapatkan keuntungan hingga Rp 10,46 triliun.

Baca juga artikel terkait TES PCR atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Irfan Teguh