Menuju konten utama

Kasus Perkosaan Inses di Lampung karena Kurang Kontrol Sosial

Perempuan berusia 18 tahun (dalam kondisi keterbelakangan) telah diperkosa bapak dan 2 saudara kandung.

Kasus Perkosaan Inses di Lampung karena Kurang Kontrol Sosial
Ilustrasi laporan korban perkosaan. Getty Images/iStockPhoto

tirto.id - Perempuan berusia 18 tahun (dalam kondisi keterbelakangan) telah diperkosa oleh ayahnya M (45 tahun) dan kakaknya SA (24 tahun), serta adiknya YF (15 tahun). Kasus inses (hubungan seksual sedarah) ini terjadi di Kabupaten Pringsewu, Lampung.

Terkait kasus ini, Pengamat Hukum Pidana dari Univeristas Riau DR Erdianto Effendi mengatakan, perbuatan menyimpang seperti kasus inses di Lampung muncul antara lain lebih diakibatkan longgarnya kontrol sosial masyarakat di daerah itu.

"Longgarnya kontrol sosial juga dipengaruhi oleh bergesernya hukum adat menjadi hukum pidana yang bercorak civil law, maka wajar jika kejahatan kesusilaan semakin meningkat di masyarakat," kata Erdianto di Pekanbaru, Selasa (26/2/2019).

Erdianto menambahkan kejahatan kesusilaan adalah kejahatan yang sesungguhnya "paling dekat" dengan masyarakat, dan dalam kasus perkosaan, berbagai riset menunjukkan bahwa pelaku adalah orang dekat dan sangat dikenali oleh korban.

Korban saat itu tinggal bersama ibu dan neneknya, saat ibunya meninggal karena sakit, M membawa korban, putrinya itu tinggal di rumahnya di Kabupaten Pringsewu, Lampung.

Setelah putrinya itu tinggal dua bulan lebih, M melancarkan perbuatan bejatnya memperkosa. Perbuatan bejat itu kemudian diikuti kedua putranya SA (24 tahun) dan YF (15 tahun)

Erdianto menuturkan kejahatan kesusilaan adalah setua peradaban manusia itu sendiri, makanya dalam Islam dianggap sebagai salah satu dosa besar, sebagaimana dalam masyarakat adat dianggap sebagai beberapa perbuatan yang paling dicela dan dibenci.

"Dalam masyarakat adat, tidak dikenal istilah tindak pidana, akan tetapi masyarakat adat mengenal istilah sumbang salah atau dalam bahasa Belanda disebut delik adat," katanya.

Di masa kolonial, katanya lagi, Belanda masih mengakui keberadaan hukum adat, sayangnya dalam era Indonesia merdeka, khususnya sejak tahun 1951 peradilan adat justru dihapuskan.

Ia menceritakan, sejak saat itu, hukum pidana yang bersumber dari "Wetboek van Strafrecht" Belanda berlaku di seluruh Indonesia dan semua golongan penduduk.

"Dalam hukum pidana yang bersumber dari Belanda yang bercorak civil law, tindak pidana yang paling dicela adalah kejahatan terhadap keamanan negara, sedangkan dalam hukum adat, perbuatan paling dicela adalah zinah," katanya.

Sementara dalam masyarakat Riau, Jambi dan Sumatera Barat, ada empat perbuatan yang paling dicela yang dianggap sebagai perbuatan yang patut dikutuk, yaitu "menikam bumi" (anak berzinah dengan ibunya), "mencarak telur" (bapak berzinah dengan anaknya), "menyunting bunga sekuntum" (berzinah dengan saudara sendiri), dan "mandi di pancuran gading" (berzinah dengan istri pembesar).

Ia menekankan, keempat perbuatan itu paling dicela dan mendapat pengawasan yang ketat dari masyarakat, namun dengan bergesernya hukum adat menjadi hukum pidana yang bercorak civil law, kontrol sosial masyarakat terhadap perilaku menyimpang tersebut menjadi sangat longgar, maka wajar jika kejahatan kesusilaan semakin meningkat di tengah masyarakat.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMERKOSAAN

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: antara
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Dipna Videlia Putsanra