Menuju konten utama

Kasus Penyelundupan Uang Rp90 M: Apakah Terkait Serangan Fajar?

Polisi masih mendalami terkait kasus penangkapan enam kurir yang membawa mata uang asing senilai Rp90 miliar yang ditangkap di Seotta.

Kasus Penyelundupan Uang Rp90 M: Apakah Terkait Serangan Fajar?
Ilustrasi rupiah. FOTO/Antaranews

tirto.id - Polisi menangkap enam kurir yang diduga membawa mata uang asing senilai Rp90 miliar di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Jumat malam (12/4/2019). Mereka berasal dari PT Solusi Mega Artha, perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa keuangan.

Dalam penangkapan itu, polisi menyita 10 juta yen, 90 juta won, 45 ribu riyal, 100 ribu dolar Selandia Baru, dan 3.677.000 dolar Singapura. Total uang yang diamankan sekitar Rp90 miliar.

Para pelaku yang ditangkap berasal dari beberapa rute penerbangan, seperti Gofur dari Singapura (Rp17,4 miliar), Yunanto dan Edi Gunawan (Rp42,050 miliar), Giono dari Hong Kong (Rp12 miliar), Kevin dan Yudi dari Bangkok (Rp18 miliar).

“Mereka membeli uang kertas asing (UKA) namun sampai sekarang belum bisa menunjukkan bukti pembelian uang asing tersebut,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono di Hall Jiexpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (14/4/2019).

Penyidik, kata Argo, mempertanyakan bukti pembelian UKA dan masih akan memeriksa tersangka untuk mengusut perkara ini.

Namun, saat ditanya apakah duit sebanyak itu berkaitan dengan “serangan fajar” serta dugaan tindak pidana Pemilu, Argo hanya menjawab polisi masih menyelidikinya.

Hal senada diungkapkan Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Senin (15/4/2019). Ia mengatakan, Polri akan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut perkara tersebut.

“Kami punya Satgas Anti-Politik Uang, nantinya KPK akan membantu kepolisian melakukan monitoring dan asistensi penanganan,” kata Dedi.

Dedi menambahkan Polri dan KPK akan bersama menganalisis duduk perkara terkait masalah tersebut. “Itu untuk menemukan unsur tindak pidana,” kata Dedi menambahkan.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan institusinya berkomitmen akan tetap melakukan pencegahan praktik politik uang pada masa tenang. Menurut dia, komisi antirasuh juga terus berkoordinasi dengan Bawaslu RI terkait pelaksanaan Pemilu 2019.

Saut mengatakan, KPK pun mengingatkan kepada penyelenggara pemilu untuk tidak melakukan money politics. Jika kedapatan masih ada penyelenggara pemilu yang tersangkut politik uang, maka KPK tidak segan-segan untuk melakukan penindakan hukum.

Money politics bisa menyerang siapa saja. Untuk itu agar dihindari termasuk menghindari money politics kepada penyelenggara Pemilu. Itu sebabnya KPK bisa saja akan melakukan penindakan di semua level mulai dari KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), Panwas, rekapitulasi suara di KPUD Kab/Kota dan Provinsi,” kata Saut dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/4/2019).

Selain itu, Saut meminta agar seluruh pemilih tidak melanggar UU Pemilu, seperti memotret pencoblosan atau menjanjikan sesuatu kepada pemilih lain. Ia berharap publik merenung kembali siapa yang hendak dipilih, baik legislatif maupun capres-cawapres.

Aturan Bank Indonesia

Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/2/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean Indonesia, maksimum uang valuta asing yang boleh dibawa ke Indonesia adalah maksimum ekuivalen Rp1 miliar.

“Badan berizin atau misalnya money changer yang membawa uang valas lebih dari Rp1 miliar harus meminta persetujuan [per kuota mata uang dan setiap pembawaan] kepada Bank Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Onny Widjanarko saat dihubungi reporter Tirto, Senin (15/4/2019).

Dalam kasus enam orang pegawai money changer yang bawa duit tersebut, kata Onny, jika tidak memiliki persetujuan kuota per mata uang dan setiap kali pembawaan, maka mereka termasuk melanggar ketentuan PBI.

“Kalau mereka melanggar artinya belum ada permintaan persetujuan,” kata Onny.

Hal itu berdasarkan Pasal 19 PBI yang mengatur soal sanksi bagi mereka yang belum mendapatkan persetujuan BI.

Aturan itu berbunyi: “Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atas ketentuan Pembawaan uang kertas asing (UKA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 10 persen dari seluruh jumlah UKA yang dibawa dengan jumlah paling banyak setara dengan Rp300 juta.”

Sementara Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual menyatakan dengan nominal Rp90 miliar, dikhawatirkan uang itu dapat digunakan untuk tindakan yang melanggar hukum.

Sebab, kata David, berdasarkan pemeriksaan sementara kepolisian, terduga pelaku tidak memiliki bukti transaksi uang asing itu.

“Bisa saja dikhawatirkan ada spekulasi tertentu, itu mengapa Bank Indonesia membatasi mata uang yang masuk maupun rupiah yang beredar di luar negeri,” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto.

Spekulasi itu, kata David, dapat berupa tindak kriminalitas, seperti transaksi yang mencurigakan bagaimana asal usul duit tersebut, hingga dipergunakan untuk kepentingan apa.

“Transaksi kriminal bisa menggunakan cash yang sedemikian besar jumlahnya,” kata dia.

Karena itu, David menilai dana mata uang asing sebesar Rp90 miliar itu patut dicurigai akan digunakan untuk tindak kriminal. “Sulit bagi pemerintah khususnya aparat perpajakan untuk menelusuri uang tersebut,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Andrian Pratama Taher
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz