Menuju konten utama
Tindakan Intoleransi

Kasus Penendang Sesajen & Mengapa Sebaiknya Kedepankan Dialog?

Ghufron menilai dialog dan pendekatan persuasif akan membuat efek jera sehingga dapat meminimalisir kasus serupa di kemudian hari.

Kasus Penendang Sesajen & Mengapa Sebaiknya Kedepankan Dialog?
Polisi menginterogasi FH, pria penendang sesajen di lokasi bencana Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang di Polsek Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Kamis (13/1/2022). ANTARA/HO-Polda DIY/am.

tirto.id - Polisi akhirnya menangkap Hadfana Firdaus (HF), pria yang menendang sasajen di Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur yang sempat viral di media sosial. HF ditangkap di Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 13 Januari 2022. Usai diintrogasi, HF dibawa ke Polda Jatim.

Kasus ini berawal saat tindakan HF viral di media sosial. HF yang saat kejadian memakai rompi hitam membuang sesajen di depannya, bahkan ada yang ditendang. Aksi HF kemudian mendapat kritik dari sejumlah kalangan, termasuk Bupati Lumajang Thoriqul Haq yang mengaku kecewa dengan ulah HF.

Menurut dia, HF bukan mengurus tugasnya sebagai relawan, tapi malah melanggar nilai-nilai yang ada di masyarakat lokal sekitar Gunung Semeru. “Apa pun motifnya, tentu saya kecewa. Itu melanggar tata nilai yang kami hidup berdampingan bersama dengan seluruh agama, seluruh suku di Lumajang,” kata Cak Thoriq, sapaan akrabnya seperti dikutip Antara.

DPD Prajaniti Hindu Indonesia Jawa Timur bahkan pada 10 Januari 2022 melaporkan HF ke Polda Jatim. Selain itu, Pengurus Cabang GP Ansor Lumajang juga ikut melaporkan. Laporan ini yang akhirnya membuat Polda Jatim mulai mengusut dan mengejar pelaku dan akhirnya ketangkap di Bantul, DIY.

Tindakan Intoleransi yang Terus Berulang

Halili Hasan, peneliti Setara Institute –salah satu lembaga yang fokus pada isu keberagaman dan HAM-- menilai, tindakan HF merupakan perilaku intoleran terhadap umat Hindu dan kelompok pemeluk agama penghayat. Dia menyayangkan aksi HF yang mempublikasi tindakannya itu di media sosial.

“Harusnya itu tidak dipublikasikan, kalau dipublikasikan membuat teman-teman Hindu dan penghayat kepercayaan akan merasa dihina, dilecehkan sebagai sesama bangsa,” kata Halili saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/1/2022).

Halili mengatakan, kasus penendang sesajen di Lumajang merupakan satu dari sekian banyak tindakan intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia. Misal properti sedekah laut yang pernah diobrak-abrik oleh sekelompok orang di Bantul, DI Yogyakarta. Bahkan, sampai panitia acara tersebut trauma atas kejadian itu.

Kemudian kasus pengrusakan rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Sintang, Masjid Miftahul Huda di Desa Bale Harapan di Sintang, Kalimantan Barat pada 3 September 2021 oleh sekelompok orang atas nama Aliansi Umat Islam (AUI) Sintang.

“Itu jelas perisitiwa intoleran yang mesti jadi pelajaran buat semua, terutama negara. Kita sebutkan ke negara kalau intoleran sudah mewabah di masyarakat,” kata Halili.

Hal senada diungkapkan Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri. Ia menyatakan tindakan yang dilakukan oleh HF merupakan praktik intoleransi. Dia menilai, tindakan tersebut bentuk pemahaman eksklusivitas dari pelaku yang melakukan tindakan itu.

Menurut Ghufron, tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai minimnya penghormatan terhadap keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat.

“Bagaimanapun dalam konteks keyakinan dan agama, setiap entitas itu kan memiliki cara untuk meyakininya, bisa melakukan seremonial seperti itu. Tentu saja kalau ada seseorang menghalangi atau melakukan hal itu, itu termasuk bentuk intoleransi,” kata Ghufron saat dihubungi reporter Tirto, Senin (18/1/2022).

Perlu Kedepankan Restorative Justice

Meski demikian, Halili mengatakan pendekatan hukum pidana bukan satu-satunya cara dalam menangani kasus HF. “Apalagi pasal yang digunakan pasal penodaan dan penistaan agama, itu tidak tepat,” kata dia.

Menurut Halili, sebaiknya polisi menggunakan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara ini. Misalnya, seperti berdialog atau menengahi perkara antara pelaku dan pihak yang merasa keberatan.

“Setiap kasus tidak melulu menggunakan pendekatan pidana, tapi bisa menggunakan dialog. Kalau pendekatan pidana itu jalan terakhirlah. Kalau itu digunakan terus, kita hanya mengatasi permukaannya saja, tapi akar permasalahan tidak terselesaikan,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Ghufron. Ia menyarankan sebaiknya kasus HF ini tidak menggunakan pendekatan pidana, melainkan dialog antara pihak terkait untuk mencari solusinya. Terlebih, pelaku sudah mengakui perbuatannya salah dan meminta maaf.

Menurutnya, tidak sepakat dengan sesuatu sebaiknya tidak menggunakan pendekatan pidana. Kecuali memang sudah ada kekerasan yang menimbulkan korban dan dapat dijerat pidana, seperti kasus kelompok yang melakukan pengurusan Masjid Ahmadiyah di Sintang.

“Saya menyayangkan yang seharusnya diproses hukum secara tegas seperti perusakan masjid Ahmadiyah malah dikenakan [vonis] ringan. Tapi ini kasus tendang sesajen yang lebih efektif melalui dialog justru dihukum berat,” kata dia.

Ghufron mengatakan, dengan menggunakan dialog dan pendekatan yang persuasif, lebih mungkin akan membuat efek jera kepada pelaku sehingga dapat meminimalisir kasus serupa terjadi di kemudian hari.

Sebagai langkah pencegahan, Ghufron menyarankan agar pemerintah mulai mengawasi lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai intoleran. Pasalnya, lembaga pendidikan merupakan dasar pemikiran seseorang dan sangat rentan disusupi nilai-nilai intoleran.

“Mulai dari kurikulum, matpel yang hanya mempelajari enam agama, sementara yang lain tidak. Kemudian ada diskriminasi dengan kewajiban menggunakan simbol-simbol agama tertentu. Di sini dunia pendidikan penting sebagai ruang untuk membentuk keberagaman tadi untuk menumbuhkan toleransi,” kata dia.

Selain itu, kata Ghufron, pemerintah juga berkewajiban mengedukasi publik, terutama kelompok agama agar tidak main hakim sendiri.

“Jadi pemerintah harus mengedukasi jika terjadi seperti ini, buat ruang yang dapat ditempuh para pemangku kepentingan, baik pemerintah dan masyarakat melalui proses yang konstruktif,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz