Menuju konten utama

Kasus Penembakan Nduga Buka Kelalaian Istaka Karya Soal BPJS TK

Sebagai BUMN, Istaka Karya semestinya memberikan contoh yang baik kepada perusahaan swasta soal BPJS Ketenagakerjaan.

Kasus Penembakan Nduga Buka Kelalaian Istaka Karya Soal BPJS TK
Prajurit TNI dan Polri mengangkat peti jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang tiba di Landasan Udara Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Jumat (7/12/2018). ANTARA FOTO/Abriawan abhe

tirto.id - Para pekerja proyek jembatan Trans Papua yang tewas dalam penembakan di Nduga, Provinsi Papua oleh kelompok bersenjata, pada 2 Desember lalu, disebut tidak mendapatkan jaminan sosial dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK).

Hal itu dikarenakan PT Istaka Karya selaku pihak yang mempekerjakan mereka tidak mendaftarkannya sebagai peserta BPJS. Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan, Khrisna Syarif pun membenarkan kabar tersebut.

“Pekerja proyek jembatan di Papua yang menjadi pemberitaan, belum didaftarkan dalam perlindungan jasa konstruksi BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerjanya tidak mempunyai perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan,” kata Khrisna saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (9/12/2018).

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, pekerja yang terdaftar dalam program jaminan sosial akan mendapat santunan sebesar 48 kali upah yang dilaporkan.

“Jika meninggal bukan karena kecelakaan kerja, maka [pekerja] akan mendapatkan santunan sebesar Rp24 juta, ditambah beasiswa untuk satu orang anak,” kata Khrisna.

Sebaliknya, pekerja yang tidak didaftarkan dalam program jaminan sosial itu, akan menjadi tanggung jawab perusahaan jika yang bersangkutan mengalami kecelakaan kerja.

“Besarnya jaminan dan santunan harus minimal sama dengan standar yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan,” kata Khrisna menambahkan.

Sekretaris PT Istaka Karya, Yudi Kristianto awalnya mengaku masih menghitung besaran santunan dan beasiswa yang hendak diberikan kepada keluarga korban.

Namun Yudi berdalih seharusnya yang mendaftarkan jaminan sosial para pekerja yang tewas itu bukan manajemen perusahaan, melainkan bagian administrasi yang berada di lokasi proyek. “Ada mandor pekerja yang mengkoordinir,” kata dia.

“Karena administrasi ada di [lokasi] proyek. Kami akan cek dan evaluasi. Yang penting langkah pertama adalah segera membayarkan hak para korban,” kata Yudi kepada Tirto, Minggu siang.

Selanjutnya, pada Minggu malam, Yudi menambahkan melalui pesan WhatsApp kepada reporter Tirto, bahwa "santunan sebagian di awal pada saat penyerahan jenazah telah disampaikan kepada semua ahli waris korban. Sisanya maksimal satu minggu setelah semua data ahli waris lengkap.”

Tak Mau Rugi

Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjuntak mengatakan, banyak perusahaan yang keberatan mendaftarkan pekerjanya ke dalam program jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan.

Padahal, menurutnya, adalah sebuah keuntungan bersama bila perusahaan mendaftarkan pekerjanya dalam program tersebut.

"Masih ada perusahaan yang melihat itu sekadar sebagai ‘biaya pengeluaran' ketimbang sebagai manfaat yang mereka dapatkan," kata Ricardo.

Ricardo mengemukakan, sebagai perusahan milik BUMN, PT Istaka Karya semestinya memberikan contoh yang baik kepada perusahaan swasta. Sikap PT Istaka Karya yang demikian dikhawatirkan dapat membuat perusahaan-perusahaan swasta memandang sebelah mata jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan.

“Jika BUMN saja tidak mau mendaftarkan, bagaimana dengan perusahaan lain?” tutur Ricardo.

Di sisi lain, lanjut Ricardo, kasus ini juga menunjukkan betapa jaminan sosial dari BPJS Ketenagakerjaan masih belum dipercaya oleh perusahaan. Dari momentum ini, BPJS diminta untuk lebih aktif meyakinkan para pelaku usaha bahwa jaminan sosial itu penting.

"BPJS Ketenagakerjaan harus membuktikan bahwa mereka adalah lembaga yang dapat memberi manfaat penting dan berguna. Bukan sekadar memaksakan undang-undang,” Ricardo menambahkan.

Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago mengatakan parlemen akan memanggil PT Istaka Karya melalui Kementerian Tenaga Kerja agar penyelesaian perkara dapat mereka kawal.

Ia meyakini yang menjadi faktor penyebab perusahaan tidak mau mendaftarkan pekerjanya di BPJS Ketenagakerjaan adalah uang.

“Ini pasti soal nominal [uang]. Sesungguhnya BPJS Ketenagakerjaan itu membantu perusahaan untuk membuat pekerjanya terlindungi,” kata Irma.

Adapun sesuai Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), perusahaan wajib mendaftarkan seluruh karyawannya ke BPJS Ketenagakerjaan.

Jika tidak tunduk pada peraturan, izin usaha perusahaan dapat dicabut sesuai Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Pengenaan Sanksi Administratif terdapat pada Pasal 5 ayat (2) yakni dapat berupa teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

“Ada sanksi yang akan diterima perusahaan jika tidak mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS yaitu akan dicabut perizinan usaha dan izin-izin lainnya serta menghentikan atau tidak mendapatkan layanan publik peserta perorangan seperti SIM, KTP, STNK dan lainnya,” jelas Irma.

Baca juga artikel terkait KASUS PENEMBAKAN DI PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abul Muamar