Menuju konten utama

Kasus Pembakaran Rumah Direktur Walhi NTB Ditangani Polisi

Polisi tengah melakukan olah TKP di lokasi pembakaran rumah dan mobil milik Direktur Walhi NTB.

Kasus Pembakaran Rumah Direktur Walhi NTB Ditangani Polisi
Sejumlah aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel melakukan aksi di Bundaran Air Mancur (BAM) Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (18/11). Aksi tersebut untuk menuntut pemerintah agar bersungguh-sungguh melawan kejahatan lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/kye/16

tirto.id -

Kasus pembakaran rumah dan mobil Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB Murhadi kini tengah ditangani polisi. Ronald Siahaan selaku Kuasa Hukum dari Murhadi mengatakan bahwa kini polisi sedang melakukan olah di tempat kejadian perkara (TKP).

“Kasus sudah ditangani oleh Polda, dan agenda hari ini olah TKP (tempat kejadian perkara), dari Polda,” kata Ronald kepada reporter Tirto pada Jumat (1/2/2019).

Murhadi melaporkan kasus teror di rumahnya itu ke pihak Polda NTB. “Sebelumnya, olah TKP sudah dilakukan oleh Polres Lombok Tengah,” kata Ronald.

Rumah Murhadi terbakar dengan api yang berasal dari dua titik, yakni dua pintu masuk rumah. Selain rumah, mobil Murhadi pun dibakar pada 28 Januari 2019 dini hari.

"Kami menduga keras pembakaran rumah ini berkaitan dengan advokasi yang dilakukan Walhi NTB," kata Edo Rakhman selaku Wakil Kepala Departemen Advokasi Walhi, saat ditemui di Kantor Walhi, Tegal-Parang, Jakarta, pada Rabu (30/1/2019).

Sejak tahun 2016, Murhadi telah mendapatkan ancaman pembunuhan sejumlah kali. Pihak Walhi menegaskan ancaman pembunuhan, maupun dugaan atas pembakaran rumah, yang terjadi menunjukan bagaimana selama ini Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak bekerja secara maksimal.

"Kalau ancaman dalam bentuk pesan singkat atau melalui sosial media, itu sudah sering dilakukan, terutama pada tahun 2016, 2017," kata Edo.

Ronald menjelaskan bahwa saat ini Murhadi telah mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Mudah-mudahan LPSK memberikan perlindungan yang melekat ke seluruh anggota keluarga,” kata Ronald.

Kasus pembakaran rumah dan mobil Direktur Walhi NTB ini juga menjadi perhatian dari Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII).

Kepala Badan Advokasi, YPII, Ainul Yaqin menegaskan, sudah saatnya membentuk perjanjian kesepahaman atau MoU antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan sejumlah aparat penegak hukum untuk melindungi hak para pembela lingkungan.

"Perlu MoU, agar bagaimana mengkonkretkan UU kami yang sudah bagus ini, menjadi sesuatu yang operasional," kata Ainul saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, pada Rabu (30/1/2019).

Pasalnya, kata Ainul, selama ini para pembela lingkungan rentan mendapat kriminalisasi dan jarang dilindungi meskipun sudah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ainul mengusulkan bentuk MoU itu berisi perjanjian antara Komnas HAM, Kejaksaan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sehingga ketika terjadi kriminalisasi, tindak kekerasan, atau ancaman, tidak langsung ditangani oleh kepolisian, melainkan langsung mendapatkan perlindungan dari Komnas HAM.

Menurut dia, bentuk MoU tersebut hampir serupa dengan perjanjian antara Dewan Pers dengan kepolisian. Dalam perjanjiannya, setiap tuntutan yang masuk ke wartawan atau media harus diselesaikan melalui Dewan Pers, baru kemudian ke kepolisian apabila dibutuhkan.

"Jadi Komnas HAM biar bisa punya intervensi cukup kuat, itu butuh MoU," kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBAKARAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Agung DH