Menuju konten utama

Kasus Paniai, Bukti Penyelesaian HAM Berat Tergantung Pemerintah

Ketua Komnas HAM menilai naiknya kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai bukti penyelesaian kasus HAM berat tergantung political will pemerintah.

Kasus Paniai, Bukti Penyelesaian HAM Berat Tergantung Pemerintah
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (tengah), Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara (kanan), dan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (kiri) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait kasus ricuh pengukuran lahan Wadas di Jakarta, Kamis (24/2/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Komnas HAM menilai naiknya kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai ke tahap penuntutan membuktikan bahwa berkas penyelidikan dugaan pelanggaran HAM yang tertahan di Komnas HAM bisa diproses hingga ke pengadilan.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa naiknya kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai merupakan bukti bahwa penyelesaian kasus HAM berat ada pada keinginan politik (political will) dari pemerintah.

"Kami mempercayai bahwa itu tidak bergerak ke penyidikan penuntutan belajar dari tiga kasus pertama tadi karena kemauan politik dari pemerintah. Pernyataan itu ternyata terbukti ketika Presiden Jokowi ketemu Komnas HAM karena kami terus meyakinkan [penyelesaian kasus HAM berat]," kata Taufan saat berbincang dengan wartawan di daerah Menteng, Jakarta, Senin (30/5/2022).

Taufan menuturkan, Jokowi kemudian menggelar rapat dan meminta perkara HAM berat diproses hingga penyidikan dan masuk pengadilan. Hal ini, kata Taufan, menandakan bahwa argumen berkas Komnas HAM tidak memenuhi syarat adalah tidak benar.

Kemudian, ada poin lain yang membuat peradilan HAM Paniai ini membawa keadilan, yakni pengadilan bisa memberikan putusan adil.

Ia mengingatkan bahwa peradilan HAM sudah tiga kali digelar, yakni dugaan pelanggaran HAM berat Timor-Timur, insiden Abepura dan insiden Tanjung Priok. Akan tetapi tidak mampu menjerat pelaku sebagaimana dalam dakwaan.

Ia pun tidak akan ikut campur dalam proses peradilan, tetapi berharap agar putusan bisa membawa rasa keadilan.

"Independensi kami hormati. Peradilan harus memiliki otonomi tapi kami berharap kali ini di balik otonomi dan peradilan itu betul-betul mau menegakkan keadilan," kata Taufan.

Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab juga menegaskan bahwa upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat bukan karena masalah regulasi, tetapi lebih pada upaya kemauan menyelesaikannya. Ia pun berharap, kejadian Paniai bisa memicu kasus pelanggaran HAM berat lain bisa diproses secara hukum.

Ia lantas menyinggung bahwa upaya penyelesaian HAM berat awalnya ada dua metode yakni penyelesaian secara yudisial dan non-yudisial.

Yudisial diatur dalam pasal 47 UU 26 tahun 2000 tentang peradilan HAM sementara non-yudisial diatur dalam UU 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Setelah tidak ada UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Amiruddin berharap agar kasus pelanggaran HAM berat selain Paniai ikut ditangani.

Di sisi lain, Amiruddin mengingatkan bahwa kasus Paniai akan membawa dampak positif bagi Indonesia di tanah Papua. Sebab, publik Papua memiliki ketidakpercayaan tinggi kepada pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum pelanggaran HAM berat.

"Peristiwa pengadilan untuk Paniai akan menjadi modalitas pemerintah untuk membangun kepercayaan saudara kita di Papua bahwa masalah penyelesaian kasus HAM berat di Papua bisa diselesaikan secara fair," pungkas Amiruddin.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI PANIAI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto