Menuju konten utama

Kasus Natuna: Tindakan Tegas RI ke China Tak Akan Ganggu Investasi

Pemerintah Indonesia dinilai perlu tetap tegas atas persoalan kedaulatan di perairan Natuna dan tak boleh terlihat lembek hanya karena investasi.

Kasus Natuna: Tindakan Tegas RI ke China Tak Akan Ganggu Investasi
kapal perang as di laut cina selatan. antara foto/reuters

tirto.id - Tak ada yang membantah bahwa Indonesia masih membutuhkan investasi atau penanaman modal asing. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke angka 5,3 persen saja—berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan—Indonesia memerlukan Penanaman Modal Tetap Bruto (PTMB) sebesar Rp4.221,3 triliun.

Karena itu, upaya pemerintah mendorong kemudahan bisnis dan menjaga iklim investasi kondusif dengan berjilid-jilid paket kebijakan, deregulasi aturan perundang-undangan hingga pemangkasan birokrasi masih dinilai wajar.

Yang tidak wajar adalah jika demi investasi, Indonesia terlihat lebih lemah di hadapan negara lain. Imbauan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan agar masyarakat tak meributkan pelanggaran batas wilayah oleh China, misalnya, dinilai sikap lemah tersebut.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, Indonesia memang punya kepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan negeri tirai bambu.

Ini bisa dimaklumi sebab, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China adalah negara dengan investasi terbesar kedua di Indonesia. Sepanjang Januari hingga September 2019, realisasi penanaman modal asing (PMA) dari China mencapai 3,3 miliar dolar AS.

Namun, menurut Bhima, ketegasan Indonesia untuk mempertahankan Natuna tidak akan mengganggu iklim investasi Cina ke Indonesia. Sebaliknya, sikap lembek yang dipertontonkan pemerintah justru bisa membawa dampak negatif bagi realisasi penanaman modal China di dalam negeri.

"Takutnya kalau enggak tegas nanti akan ada sentimen anti China. Itu akan mengganggu jalannya investasi Cina yang ada di Indonesia. Karena adanya ketidakpuasan. Jadi lebih baik memang krisis ini segera diredam dengan jalan yang memang keras. Itu enggak apa-apa," ujar dia, Senin (6/1/2020).

Penegakan hukum atas kapal-kapal China yang masuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) penting dilakukan terus menerus demi menjaga kedaulatan Indonesia di perairan Natuna.

Pasalnya, selama ini China banyak mengklaim ZEE sebagai traditional fishing zone dan menganggap aktivitas mereka wajar dan legal.

"Soal itu [protes] juga dilakukan juga kok sama negara lainnya. Misalnya Vietnam, Vietnam itu juga memprotes soal Laut Cina Selatan. Tapi investasi Cina ke Vietnam itu makin deras masuknya apalagi paska perang dagang begitu juga dengan Filipina. Jadi hampir tidak ada korelasi antara ketegasan dengan investasi yang masuk," terang Bhima

Jika Indonesia tegas mengklaim Natuna milik indonesia, justru dampak positifnya kata Bhima negara-negara Asean masih kompak. Tak perlu ada kekhawatiran investasi China akan lari sebab China membutuhkan Indonesia baik sebagai pasar maupun tempat mencari sumber daya alam.

Potensi sumber daya ikan laut Natuna berdasarkan studi identifikasi potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau, tahun 2011, adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun.

Angka itu hampir 50 persen dari potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan atau WPP 711 (Laut China selatan, Laut Natuna, dan Selat Karimata).

Pakar geodesi hukum laut Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, I Made Andi Arsana mengatakan, kondlik di Laut China Selatan sudah terjadi sejak tahun 1990.

Pangkal perkaranya adalah peta wilayah yang dikeluarkan pemerintah China mengklaim daerah berdasarkan historis sejarah pada tahun 1947.

Padahal di saat yang bersamaan, China juga mengakui Konvensi Hukum Laut Internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Namun, konvensi tersebut kerap dilanggar karena China lebih mengaplikasikan hukum berdasarkan aturan di negaranya.

Lantaran itu lah Indonesia melakukan protes terhadap China pada tahun 1990, berlanjut ke tahun 1993, dan 1995.

"Cuma di jaman itu China enggak terlalu agresive lah. Dia cuma mengeluarkan pernyataan tidak ambil ikan. Dulu kan orang tidak terlalu memperhatikan. Mereka datang ke kita itu sering. Nelayan dia datang lagi kita tangkap. Kemudian selalu lolos karena ada coast guard-nya," kata Andi Arsana kepada Tirto, Kemarin (6/1/2020).

Kendati klaim sepihak yang menimbulkan konflik di perairan tersebut telah berlangsung sejak lama, hubungan bilateral kedua negara tetap berjalan dan kerja sama investasi tak pernah terganggu.

"2016 juga cukup besar sampai Pak Jokowi datang ke Natuna. Sampai sekarang [masih berlangsung]. Itu isu lama, enggak ada yang baru," terangnya.

Baca juga artikel terkait NATUNA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana