Menuju konten utama

Kasus Mira: Kejanggalan Penyidikan Polisi. Transpuan Berhak Hidup.

Polisi tidak menjerat para pelaku dengan pasal pembunuhan. Alasannya: mereka "tidak sengaja" membakar Mira.

Kasus Mira: Kejanggalan Penyidikan Polisi. Transpuan Berhak Hidup.
Ilustrasi LGBT. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Pembunuhan terhadap transpuan berulang. Sabtu dini hari, 4 April, transpuan bernama Mira dibakar oleh sedikitnya enam preman kampung setelah dituduh mencuri telepon genggam. Mira meninggal akibat 90 persen tubuhnya terbakar.

Kejadian itu berlangsung di pangkalan kontainer Cilincing, Jakarta Utara, pada Sabtu dini hari, 4 April lalu.

Aparat Polres Jakarta Utara telah menangkap tiga pelaku dan memburu sisanya. Polisi mendakwa mereka dengan pasal pengeroyokan yang mengakibatkan kematian (Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP), dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun.

Penyidik menjerat pelaku dengan pasal penganiayaan, bukan pembunuhan. Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Budhi Herdi Susianto berdalih pelaku "tidak sengaja" membunuh Mira.

“Para tersangka ini awalnya [menyiram bensin ke tubuh Mira] hanya untuk menggertak agar korban menceritakan kepada mereka di mana HP yang diduga diambil oleh korban ini dijual ke mana,” katanya.

“Ketika [pelaku] mengeluarkan korek, mereka mencoba menakut-nakuti agar korban mengakui kepada siapa HP tersebut dijual. Ternyata api itu menyambar karena ada bensin. Dan dari yang mereka lakukan, ada upaya untuk memadamkan api,” jelasnya.

Kejanggalan Penyidikan Polisi

Hasil penyidikan polisi bertentangan dengan temuan Tim Advokasi Kasus Mira, yang menggali fakta dengan mewawancarai saksi peristiwa dan warga setempat.

Ryan Korbarri, anggota Tim, berkata ada unsur kesengajaan saat pelaku membakar Mira.

“Mereka [pelaku] memegang korek, menyalakan api, dan itu dilakukan dengan sengaja,” kata Ryan.

Dalam kondisi nyaris seluruh tubuhnya terbakar, Mira masih dapat berjalan. Saat berusaha menuju rumahnya, ia ambruk.

Warga setempat membawanya ke Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara. Mira meninggal pada pukul 11.00.

Tim advokasi mendesak polisi terus mencari sisa pelaku yang diyakini Tim lebih dari enam orang "sebagai bentuk pemenuhan hak korban,” kata Ryan.

Transpuan Berhak Hidup

Kanzha Vinaa, anggota Tim Advokasi Kasus Mira, mengatakan pembunuhan transpuan adalah bentuk transfobia. Akar dari kekerasan kepada transpuan adalah propaganda kebencian dari negara terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, transpuan, interseks dan queer (LGBTIQ).

“Tim Advokasi Kasus Mira mendesak pemerintah memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dari kelompok LGBTIQ sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap LGBTIQ dapat berakhir,” kata Kanzha.

Kasus pembunuhan terhadap transpuan meningkat sejak 2016. Pada 2019 ada 6 transpuan terbunuh. Pada 2018, ada 5 pembunuhan transpuan. Pada 2017 ada 4 kasus pembunuhan.

Hak hidup transpuan setara kelompok mayoritas heteroseksual di Indonesia, merujuk Pasal 28A dalam Konstitusi Indonesia.

Dalam ‘Prinsip-Prinsip Yogyakarta 2007’ yang disusun para pakar hukum internasional dan ditujukan kepada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), ada 29 butir rekomendasi agar siapa pun menggunakan pendekatan hak asasi manusia terhadap orang dengan orientasi seksual dan identitas gender berbeda dari mayoritas.

Transpuan memiliki hak atas rasa aman. Merujuk Prinsip 5, dalam situasi terjadi kekerasan, aparat harus menyelidiki secara serius untuk menemukan bukti yang tepat.

Proses hukum dari penuntutan hingga vonis harus dijalankan sebagaimana mestinya terhadap pelaku. Korban berhak atas perawatan, pengobatan dan ganti rugi sebagai kompensasi.

Mira seharusnya berhak bebas dari penyiksaan, bebas dari perbuatan yang merendahkan martabat manusia, termasuk atas alasan identitas gender, merujuk Prinsip 10.

Merujuk penelitian organisasi minoritas gender Yayasan Arus Pelangi, transpuan adalah target kekerasan tertinggi berbasis orientasi seksual dan gender di Indonesia.

Selama 12 tahun (2006-2018), transpuan menempati urutan tertinggi dengan persentase 88 persen sebagai korban tindak pidana kelompok LGBT.

Indonesia termasuk negara dengan tingkat kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ di dunia. Ada 49 produk undang-undang dan kebijakan oleh pemerintah Indonesia yang bersifat diskriminatif dan bertujuan mengkriminalisasi komunitas LGBTIQ.

“Tim Advokasi Kasus Mira meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk turut bersama menghentikan kekerasan, stigma, dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ atas dasar keberagaman dan kesetaraan sesama manusia,” ujar Ryan.