Menuju konten utama

Kasus Mercy Maut di Solo: Petaka di Samping Polresta Surakarta

Berawal dari cekcok di jalan, Iwan Adranacus diduga sengaja menabrak Eko Prasetio hingga tewas.

Kasus Mercy Maut di Solo: Petaka di Samping Polresta Surakarta
Proses rekonstruksi kejadian penabrakan Mercy yang dikendarai Iwan Adranacus terhadap Eko Prasetio yang mengendarai Honda Beat hingga menewaskan korban. FOTO/Istimewa

tirto.id - 22 Agustus 2018. Seperti biasa, Wege Wicaksono, 32 tahun, tengah sibuk melayani pembeli rujak di tempatnya mangkal, di simpang empat Manahan yang terletak di Jalan Adi Sucipto, Kota Surakarta. Sambil melayani pelanggan, ia mendengar suara bentakan antara dua pria yang adu mulut di ujung jalan KS Tubun, sekitar 150 meter dari tempatnya berjualan.

Kae, berantem kae,” ujar salah satu pembeli rujak, menyebut ada yang berkelahi di suatu tempat.

Dua orang itu belakangan diketahui bernama Iwan Adranacus dan Eko Prasetio. Wege melihat, semula Eko yang mengendarai motor Honda Beat AD 5435 OH ada di posisi kiri jalan KS Tubun, nyaris terpepet mobil Mercedes-Benz AD 888 QQ yang dikemudikan Iwan. Sebelum berdua adu mulut, Iwan sempat menghadang Eko yang ingin pulang ke rumahnya di Asrama Polisi Manahan, tepat di belakang Markas Polres Surakarta.

Eko terlihat marah. Ia menendang bagian belakang sedan Mercy sembari mengancam, “Jangan macam-macam kamu,” demikian cerita Wege.

Setelah teriakan itu, Eko yang bekerja sebagai staf Farmasi RS Karima Utama ini putar arah ke KS Tubun, mengendarai motornya dengan pelan, bersisian dengan seorang pengayuh becak, meninggalkan Iwan. Namun, Iwan tak tinggal diam. Ia ikut memutar mobil, mengikuti Eko.

Dari ujung jalan, terdengar Iwan memainkan tuas gas mobil. Ban mobilnya berputar cepat. Bunyi gesekan ban dan aspal terdengar hingga ujung jalan. Iwan seperti mengambil aba-aba. Benar saja. Mobil kemudian dipacu kencang menuju arah Eko.

Dan ... BRAAAAK!

Eko terpental sejauh 15 meter. Helm lepas dari kepalanya. Arang, tusuk sate, dan kipas bambu, yang dibelinya untuk membakar sate daging kurban, berhamburan di jalan. Di samping Markas Polresta Surakarta itu, Eko tergeletak dan memuntahkan darah dari mulut, hidung, dan kuping.

“Dari sini,” kata Wege, “Saya melihat bagaimana tabrakan terjadi. Korban terpental, ndilalah jatuhnya ke kanan. Jadi saya bisa lihat jelas.”

Tak ada yang berani menolong. Eko sempat kejang kecil selama tiga kali, sebelum akhirnya tak bergerak. Eko tewas di lokasi kejadian dengan luka di kepala.

Kurang dari satu jam, Polisi datang. Mereka membungkus jenazah Eko dengan plastik daging kurban, dan mengangkatnya ke pinggir trotoar.

Usai menabrak, Iwan kemudian memacu Mercy ke arah utara Stadion Manahan. Orang-orang mengejarnya. Mobil sempat berhenti di Jalan Menteri Supeno, sekitar 750 meter dari tempat kejadian. Dari dalam mobil, keluarlah tiga pria berbadan kekar yang kemudian mengusir warga. Tiga orang ini sebelumnya sempat terlibat cekcok dan menempeleng kepala Eko.

Badane gedi-gedi,” ujar salah satu saksi mata yang ikut mengejar Iwan menyebut perawakan tiga orang itu yang tinggi-besar.

Awal Kejadian

Copet kae, copet kae!

Seorang saksi mata menggumam ketika melihat Eko dikejar pria berbadan kekar di Jalan MT Haryono, sebelah utara Stadion Manahan. Siang itu, Jalan MT Haryono ramai seperti biasa, apalagi hari itu libur karena bertepatan dengan Iduladha 1439 H.

Adegan kejar-kejaran itu menarik perhatian banyak orang. Para pengguna jalan sempat berhenti dan menyaksikan Eko dikejar-kejar. Begitu pula para pembeli di warung-warung yang berjajar di pinggir jalan.

“Kami semua cuma lihat, karena awalnya tak tahu kenapa dikejar. Awalnya dikira copet, tapi yang ngejar kok enggak teriak,” ujar Dwi, salah satu saksi mata.

Eko memang bukan copet. Beberapa saksi mata melihat Eko dengan sengaja “meledek” pengejarnya. Ketika posisi sekitar 10 meter, Eko berhenti, lalu menoleh ke belakang, membiarkan pengejarnya mendekat. Ketika jarak tinggal dua tiga depa, Eko memacu motornya lagi. Lalu berhenti lagi ketika jarak sudah cukup jauh. Adegan itu berulang tiga kali.

Tidak seperti orang lain yang bertanya-tanya kenapa Eko dikejar, Maria—bukan nama sebenarnya—cukup mengerti awal mula perkaranya. Siang itu Maria janjian dengan seorang koleganya di sekitar Stadion Manahan. Sekitar dua meter dari tempatnya menunggu, Maria melihat Eko cekcok dengan Iwan di lampu lalu lintas Simpang Pemuda Teater, di Jalan RM Said.

Simpang Pemuda Teater terletak di sebelah utara Stadion Manahan. Persimpangan itu punya dua jalan: RM Said dan MT Haryono.

Tak lama kemudian, tiga pria kekar turun dari mobil Mercy. Satu dari pintu kanan, dua lain dari pintu kiri. Satu orang kemudian menempeleng Eko. Yang ditempeleng kemudian berbalik arah ke MT Haryono seraya mengacungkan jari tengah.

“Saya enggak ngerti mereka cekcok apa,” kata Maria.

Mendapat acungan jari tengah, pria kekar itu muntab. Ia mengejar Eko. Dua kawannya yang lain masuk ke mobil. Setelah lampu hijau menyala, Maria jalan lurus menuju Jalan RM Said. Namun, ia kembali melihat Eko di Jalan Menteri Supeno, sekitar 500 meter dari MT Haryono. Maria melihat Eko seperti limbung dan bingung.

“Dia seperti mau cari tempat ngumpet,” kata Maria.

Eko kemudian masuk ke Pintu Utara Stadion Manahan, sedangkan Maria menuju KS Tubun. Beberapa saat kemudian, Maria memesan makan di sebuah warung yang terletak tepat di samping Polresta Surakarta. Di sana, ia melihat lagi Eko kembali cekcok dengan pengendara Mercy di ujung KS Tubun, tepat di bawah tiang CCTV Simpang Stadion Manahan.

Infografik HL Indepth Mercy Solo

Sebelum Eko Ditabrak

Wiryo, seorang pengemudi becak berusia 68 tahun, mendengar kekesalan Eko. Dari samping becak yang dikayuhnya, Eko berkata: “Nyupir kok biyayakan (ugal-ugalan).”

Beberapa detik setelah Eko mengucapkan kalimat itu, terdengar deru keras dari belakang. Lalu, braaaaak!

Bagian bemper depan sebelah kiri mobil Mercy yang dikendarai Iwan menabrak Eko hingga dia terbang, terpental ke aspal, sebelum akhirnya jatuh tengkurap.

“Suara gemuruh mesinnya keceng. Ngueeeeeng!!! Saya sampai ketakutan,” kata Wiryo, Rabu pertama September lalu.

Wiryo berkata bahwa Iwan, yang belakangan diketahui sebagai pemilik perusahaan cat Indaco, sempat menghindari tubuh Eko yang tergeletak di aspal sebelum pergi. Wiryo tak berani lama-lama di sana, apalagi menolong, karena penumpangnya ketakutan. Belakangan, Wiryo jadi saksi kunci yang memberikan keterangan kepada penyidik di Polresta Surakarta.

“Itu disengaja,” katanya, tegas.

Kabar Iwan Adranacus menabrak Eko Prasetio kemudian diunggah di laman Facebook "Info Cegatan Solo", komunitas warga Solo dan sekitarnya yang banyak menginformasikan kecelakaan, kehilangan barang, pencurian, hingga razia kendaraan motor. Di postingan itu, para saksi mata ikut berkomentar. Mereka memastikan bahwa peristiwa penabrakan itu bermula dari cekcok dan aksi pengejaran di Jalan MT Haryono.

Aksi Iwan yang diduga sengaja menabrak Eko ini membuat sejumlah koleganya berkomentar. Salah satunya Dika, 32 tahun, bukan nama sebenarnya, yang pernah bekerja Envitex, sebuah pabrik rintisan sebelum PT Indaco. Menurut mantan karyawan yang bekerja sekitar tahun 2005-2006 ini, Iwan memang reaktif dan gampang emosi ketika di jalan. Iwan, ujar Dika, memang terbiasa menyetir mobilnya sendiri walau dia punya supir.

“Saya dulu termasuk sering bepergian satu mobil dengan Pak Iwan keluar kota, selama ini dia sering reaktif kalau lagi di jalan raya. Pernah suatu kali ia disalip [didahului] di jalan raya. Pak Iwan ini emosinya tinggi dan mengejar orang yang menyalip dia,” ujar Dika kepada Tirto, Sabtu terakhir Agustus lalu.

Iwan kemudian ditangkap Satuan Reserse Kriminal Polresta Surakarta. Setelah diperiksa maraton, Iwan ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 338 tentang pembunuhan dan Pasal 351 ayat 3 tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian.

“Malamnya langsung kami tetapkan sebagai tersangka,” ujar Kepala Satreskim Polresta Surakarta Komisaris Fadli. “Alat buktinya sudah cukup.”

Baca juga artikel terkait KASUS MERCY MAUT DI SOLO atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nuran Wibisono