Menuju konten utama

Kasus Menteng & Ragam Penggusuran dengan Kekerasan di Era Anies

Berdasarkan data LBH Jakarta periode Januari-September 2018, terdapat 79 kasus penggusuran di Ibu Kota. Sekitar 52 persen di antaranya melibatkan aparat.

Kasus Menteng & Ragam Penggusuran dengan Kekerasan di Era Anies
Anak-anak Kampung Bayam bermain dan melakukan sebagian besar kegiatannya di puing-puing sisa penggusuran (9/3/2021). Sekitar 500 KK warga Kampung Bayam, Tanjung Priok, Jakarta Utara tergusur sebagai dampak dari proyek pembangunan Jakarta International Stadium (JIS). (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Gubernur DKI Anies Baswedan, melalui anak buahnya menggusur paksa terhadap warga di RT 001 RW 001 Kelurahan Menteng Dalam, Tebet Jakarta Selatan pada Senin, 30 Maret 2021 pukul 8 pagi.

Ratusan pasukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dibantu oleh pasukan TNI-Polri, tanpa memberikan surat perintah dalam bentuk apapun seketika membongkar dan menghancurkan rumah bangunan warga.

"Ratusan Aparat yang terlihat di lokasi secara bersama sama merangsek rumah warga dan menyerang warga," kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jakarta, Sabar Hutahaen sebagai Tim Advokasi melalui keterangan tertulisnya, Kamis (1/4/2021).

Tim Advokasi berupaya untuk mencegah terjadinya tindakan penggusuran paksa oleh aparat. Namun aparat terus menggusur paksa hingga menyebabkan satu warga, dua mahasiswa dan satu pengacara PBHI mengalami pemukulan. "Pascakejadian tersebut, seluruh korban telah memasukkan laporannya kepada Polda setempat," ucapnya.

Kata Sabar, warga telah tinggal daerah tersebut sejak 1937, mereka memiliki surat jual beli (SPJB) dan juga rutin membayarkan Pajak Bumi Bangunan (PBB). Kepala Satpol-PP Jakarta Selatan, Ujang Hermawan mengklaim bangunan itu berada di atas Saluran Kalibaru Barat, sehingga harus digusur.

Namun menurut warga bernama Husein, daerah tersebut tak pernah tergenang atau pun banjir kala hujan mengguyur Ibu Kota dalam intensitas ringan maupun berat. Bahkan keinginan untuk menggusur konyol, karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tak dilibatkan.

Penggusuran warga di Menteng Dalam merupakan salah satu dari rentetan peristiwa yang terjadi di era Gubernur Anies Baswedan. Penggusuran bahkan kerap kali melibatkan aparat dan melakukan tindak kekerasan.

Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta periode Januari-September 2018, terdapat 79 kasus penggusuran di Ibu Kota. 277 kepala keluarga dan 864 unit usaha jadi korban. Lantas, 81 persen penggusuran dilakukan secara sepihak tanpa musyawarah dengan warga terdampak; dan 77 persen berakhir tanpa solusi bagi korban.

LBH Jakarta menyimpulkan bahwa sebagian besar penggusuran minim proses musyawarah yang layak. "Akibatnya," tulis LBH Jakarta, "77 persen kasus penggusuran berakhir tanpa solusi bagi korban terdampak, baik berupa kehilangan tempat tinggal atau pun kehilangan pekerjaan."

Aparat tidak berwenang juga marak dilibatkan untuk mengintimidasi warga saat proses penggusuran, yaitu 25 persen pelibatan personel TNI dan 27 persen melibatkan Polri. Pengerahan aparat pun dilakukan dengan tidak proporsional dengan rata-rata rasio 1:3 korban dengan aparat yang menggusur.

Pada 9 Mei 2018, Kasubbag Humas Polres Jakarta Selatan, Kompol Purwanta mengatakan aksi penolakan penggusuran warga Asrama Kodam Jaya Tanah Kusir tersebut telah dilakukan warga karena merasa dirugikan akibat eksekusi penggusuran tersebut. Polisi menangkap empat orang dalam peristiwa sengketa lahan antara warga dan aparat Kodam Jaya, Rabu (9/5/2018) pagi.

Masih pada tahun yang sama, tanggal 5 dan 7 September Pemkot Jaktim melakukan penggusuran di Jalan Cakung-Cilincing, Jakarta Timur. Ia mengatakan, di kawasan yang akan digusur itu nanti akan dibangun saluran untuk mengatasi banjir.

Kemudian pada 16 November 2019, Anies menggusur puluhan warga yang tinggal di Jalan Sunter Agung Perkasa VIII, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Padahal, warga merupakan pendukung Anies saat Pilgub 2017 namun tetap digusur paksa. Warga pun mendesak Anies Baswedan untuk menepati janji kampanye sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Camat Tanjung Priok Syamsul Huda beralasan upaya dilakukan pemerintah bukan penggusuran, tetapi penataan dan penertiban bangunan yang tidak sesuai dengan fungsinya.

Memasuki pandemi COVID-19 mulai masuk Indonesia, pada 12 Maret 2020, puluhan rumah warga di RT 10 RW 11 Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing digusur untuk proyek pembangunan tol Cibitung-Cilincing, Kamis (3/12/2020).

Ketua RW 11 Kelurahan Semper Timur, Abu Bakar menyebut ada sekitar lebih dari 60 rumah warga yang diratakan tanah. Secara keseluruhan, kata Abu Bakar, ada 300 kepala keluarga yang kehilangan tempat tinggalnya karena proyek pembangunan tersebut.

Penggusuran paksa juga dilakukan Anies pada Agustus 2020 lalu di Kampung Bayam, Ancol, Jakarta Utara untuk membangun proyek Jakarta International Stadium (JIS). Pembangunan yang dimulai April 2019, memaksa sekitar 550 keluarga Kampung Bayam pindah mencari tempat lain untuk tinggal.

Sedangkan 50 keluarga yang masih bertahan berjuang menagih janji PT Jakarta Propertindo (Jakpro)—BUMD milik Pemprov DKI—sebagai pelaksana proyek agar menepati janjinya menyediakan hunian pengganti permanen bagi warga.

Memasuki tahun 2021, tepatnya tanggal 17, PT. Pertamina Training and Consulting (PTC) anak buah PT. Pertamina menggusur lahan warga Gang Buntuh II, Pancoran, Jakarta Selatan. Perusahaan plat merah itu menggunakan tenaga ormas Pemuda Pancasila (PP) untuk menggusur 2.000 warga yang menghuni lahan seluas 4,8 hektare, hingga melakukan tindak kekerasan.

Akibatnya, 28 orang yang terdiri dari warga yang bersolidaritas terluka, hingga empat diantaranya dilarikan ke rumah sakit.

Indikasi Pelanggaran HAM

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Charlie Albajili mengatakan ada tiga penyebab penggusuran di Jakarta yakni pembangunan untuk kepentingan umum, ketertiban umum, dan sengketa lahan. Faktor-faktor tersebut, menurutnya, jangan dijadikan dalih pemerintah untuk menggusur paksa warga setempat tanpa disertai solusi yang layak.

Apalagi, tambahnya, jika penggusuran ditambah dengan kekerasan oleh aparat atau ormas terhadap penduduk terdampak.

“Secara konsep HAM, tanggung jawab pemerintah di dalam undang-undang, (yaitu) pemerintah tidak boleh menggusur paksa secara langsung. Dia harus menghargai (warga), memastikan tidak menggusur paksa. Ini praktik yang ditemukan di pemerintahan sebelumnya, juga ditemukan di pemerintahan hari ini,” kata dia kepada Tirto, Kamis (1/4/2021).

Berkaitan dengan sengketa lahan, pemerintah berkewajiban untuk melindungi warga dari ancaman penggusuran pihak ketiga, misalnya korporasi. Tanggung jawab hukum itu tak dijalankan pemerintah, seperti dalam sengketa lahan Pancoran Buntu. Ketika ada kekerasan masif, belum ada peran dari perangkat pemerintahan untuk memastikan masyarakat bebas dari kekerasan cum mengupayakan proses layak seperti pemberian kompensasi.

“Pemerintah tidak bisa beralasan ini adalah sengketa perdata, ini jelas upaya pelanggaran hak asasi. Anies harusnya belajar dari Ali Sadikin,” sambung Charlie. Pembelajaran yang dimaksudkan adalah pemberian kompensasi kepada warga terdampak penggusuran oleh korporasi.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Julius Ibrani, berujar desakan pembangunan di Ibu Kota dan kondisi sosial tak berpilin.

Perkara penggusuran paksa belum juga diselesaikan oleh siapapun yang menjadi gubernur. Bila ingin penggusuran jauh dari intimidasi pun kekerasan, harus merampungkan masalah sosial.

“Kondisi sosial (itu) ada ekonomi, perumahan yang semrawut, pembagian dan peruntukan tanah yang tidak merata,” ucap dia kepada Tirto, Kamis. Jika hal-hal ketimpangan itu bisa kelar, maka dapat beranjak ke mekanisme penggusuran.

Dalam proses penyelesaian penggusuran, PBHI merujuk kepada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 perihal HAM, juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 ihwal Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan peraturan pemerintah.

“Penggusuran boleh, ada tata cara yang layak HAM. Yang tidak boleh adalah penggusuran paksa,” sambung Julius. Indikator ‘paksa’ yakni ketika tidak ada dialog, nihil partisipasi dan kesepakatan warga. Bahkan kekerasan, penggunaan aparat negara yang berlebihan dan tidak sesuai dengan peruntukkan, perampasan tanah oleh negara, itu lebih tinggi dari ‘paksa’ saja.

“Bila negara tidak melakukan (taat peraturan HAM), berarti begitu banyak regulasi yang dilanggar. Termasuk dalam hal ini adalah Pemprov DKI Jakarta,” tutur dia.

Sementara Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menyayangkan kasus penggusuran paksa yang dilakukan oleh Pemprov DKI, seperti di Menteng Atas, Jakarta Pusat baru-baru ini.

Menurutnya, apabila Pemprov DKI ingin menggusur lahan untuk upaya pengendalian banjir, seharusnya diselesaikan sesuai dengan mekanisme yakni melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) DKI terlebih dahulu agar warga diberikan solusi sesuai kesepakatan mereka.

Seperti yang dilakukan oleh pemerintah kepada Kampung Walang, Pademangan, Jakarta Utara yang terkena proyek sodetan anak kali.

"Tidak bisa solusi tunggal hanya selesai pada ditawarkan rusunawa. Sudah terlalu banyak studi bahwa pemindahan korban gusuran paksa ke rusunawa itu bukan solusi," kata Elisa kepada Tirto, Kamis (1/4/2021).

Baca juga artikel terkait PENGGUSURAN PAKSA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan & Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan & Adi Briantika
Penulis: Riyan Setiawan & Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri